APIDI BUKIT MENOREH EPS 230 Sutawijaya menarik nafas. Jawaban orang itu sama sekali tidak meyakinkannya. Memang kemungkinan yang paling dekat adalah, Daruka sekedar mencoba menyelamatkan dirinya. ♦ 15 Juli 2010 Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Nampaknya Kanthi telah menjadi benar-benar berputus-asa. Karena itu, kedatangan Rara Wulan merupakan sebuah harapan baru baginya, karena Kanthi merasa pernah mendapat perlindungan darinya. Sehingga dengan demikian, dekat dengan Rara Wulan dapat memberikan ketenangan baginya.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Kanthi. Namun kemudian Sekar Mirah itu pun berdesis, “Tetapi justru di sini Kanthi akan menjadi dekat dengan Prastawa. Anak muda yang pernah diangan-angankannya, Namun yang kemudian seakan-akan telah menghempaskannya ke dalam keputus-asaan.” “Aku sempat memperbincangkannya dengan Ki Jayaraga. Kami juga mencemaskan bahwa tiba-tiba tanpa disengaja Kanthi bertemu dengan Prastawa, sehingga membuat luka di hatinya menjadi parah kembali,” sahut Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Tetapi waktu itu kami berpendapat, bahwa untuk sementara kita harus menyelamatkan Kanthi lebih dahulu. Mungkin kita dapat menemui Prastawa dan memberitahukan tentang keadaan Kanthi, sehingga Prastawa jangan melintas lewat jalan di depan.” Sekar Mirah mengangguk-angguk, tetapi sebelum ia menjawab, terdengar langkah mendekati pintu dapur. Sejenak kemudian Rara Wulan bersama Kanthi telah masuk ke dapur. “O,” Sekar Mirah pun bangkit. Demikian pula Glagah Putih. Sementara Rara Wulan berkata, “Kanthi ingin ke pakiwan. Jika ia mandi, agaknya tubuhnya akan menjadi segar.” “Silahkan Kanthi,” sahut Sekar Mirah, “mandilah. Nanti kau akan dapat beristirahat dengan baik.” Diantar Rara Wulan, maka Kanthi pun telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Demikian Rara Wulan dan Kanthi keluar dari dapur untuk pergi ke pakiwan, maka Wacana telah masuk ke dalam dapur. Dengan kerut di kening Wacana itu bertanya, “Siapakah perempuan yang bersama Rara Wulan itu?” “Kanthi,” jawab Glagah Putih yang masih berada di dapur. “Jadi itukah Kanthi yang sering kalian bicarakan?” bertanya Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk. “Kanthi yang menjadi putus-asa dan kehilangan kendali itu?“ desak Wacana. “Ya,” Sekar Mirah mengangguk lagi. Wacana menarik nafas dalam-dalam Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa ia justru ikut kemari?“ “Pikirannya sedang kalut,” jawab Sekar Mirah, “ia telah mencoba membunuh diri sebelum Rara Wulan dan Glagah Putih kemarin sampai di Kleringan.” Wacana ternyata juga terkejut. Dahinya berkerut dalam. Namun kemudian sambil menunduk ia berdesis, “Kasihan. Ia memerlukan pertolongan yang dapat mengembalikannya bergairah memandang masa depannya.” “Ya,” jawab Sekar Mirah sambil mengangguk-angguk. Wacana tidak menjawab lagi. Tetapi iapun kemudian meninggalkan dapur itu. Glagah Putih dan Sekar Mirah saling berpandangan sejenak. Tetapi keduanya tidak berbicara lagi. Glagah Putih pun kemudian juga meninggalkan Sekar Mirah sendiri di dapur. Sekar Mirah yang kemudian tinggal di dapur seorang diri, termenung sambil menunggui api yang memanasi periuk. Namun angan-angannya telah menerawang mengamati jalan kehidupan Kanthi. Ketika kemudian Glagah Putih pergi ke serambi samping, maka dilihatnya Wacana termenung sendiri. Demikian Glagah Putih duduk di sebelahnya, maka Wacana itu pun berdesis, “Agung Sedayu menjadi cemas, bahwa kalian tidak pulang kemarin.” “Kami pulang lewat senja dari Kleringan,” jawab Glagah Putih. “Kalian tempuh perjalanan dari Kleringan semalam suntuk?” bertanya Wacana pula. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kami harus menyesuaikan diri dengan keadaan Kanthi. Ia tidak dapat berjalan cepat. Apalagi jalan yang turun naik lewat pegunungan. Bahkan di malam hari. Setiap kali kami harus beristirahat, kadang-kadang untuk waktu yang agak lama. Tetapi cara itulah yang terbaik yang dapat kita tempuh waktu itu.“ Wacana mengangguk-angguk. Ia memang dapat membayangkan perjalanan yang lambat dan sering berhenti beristirahat. Apalagi berjalan di malam hari dalam kegelapan. Sejenak kemudian, mereka pun telah mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Agung Sedayu yang telah berjanji untuk segera pulang, benar-benar telah memenuhi janjinya. Tetapi dahinya berkerut ketika ia melihat Glagah Putih dan Wacana menyongsongnya. Keduanya telah keluar lewat pintu seketheng, turun ke halaman depan. “Kau sudah kembali Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu. “Ya, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Kau membuat kami gelisah. Tetapi bukankah tidak terjadi sesuatu atas kalian?” bertanya Agung Sedayu pula. “Tidak, Kakang.” “Syukurlah. Dimana Ki Jayaraga sekarang?” bertanya Agung Sedayu lebih lanjut. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Mungkin ia sudah berada di dalam biliknya. Nampaknya Ki Jayaraga baru membenahi diri.” “Baiklah. Aku sudah berjanji kepada Mbokayumu untuk segera pulang dan menyusulmu ke Kleringan. Tetapi karena kalian sudah kembali, maka nanti aku akan kembali ke barak,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kami pulang sambil membawa Kanthi.” “Kanthi? Kenapa dengan Kanthi?” bertanya Agung Sedayu. Tetapi ketika Glagah Putih akan menjawabnya, Agung Sedayu pun berkata, “Baiklah. Nanti kita berbicara bersama-sama dengan semuanya. Aku akan menemui Mbokayumu. Dimana Mbokayumu?” “Tetapi Kakang,” berkata Glagah Putih, “sebelum Kakang bertemu dengan Kanthi, sebaiknya aku memberitahukan bahwa di rumahnya Kanthi telah mecoba untuk membunuh diri.” “O,“ Agung Sedayu pun terkejut pula. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Itukah agaknya, maka Kanthi ikut kemari?” “Antara lain, Kakang,” jawab Glagah Putih. “Baiklah. Aku akan berbicara dengan mbokayumu.” berkata Agung Sedayu sambil menuntun kudanya untuk diikat di sebelah pendapa. Agung Sedayu pun kemudian telah pergi ke dapur dan berbicara dengan Sekar Mirah, sementara Rara Wulan telah mengajak Kanthi ke biliknya. “Kita dapat berdua di sini,” berkata Kara Wulan. Kanthi mengangguk sambil berdesis, “Terima kasih atas kebaikanmu dan kebaikan kalian di sini.” Dalam pada itu, di dapur, Sekar Mirah telah menjelaskan kepada Agung Sedayu sebagaimana diceritakan oleh Glagah Putih tentang Kanthi. Sekar Mirah pun telah mengatakan pula bahwa Glagah Putih harus menemui Prastawa dan minta agar untuk sementara tidak melintas lewat di depan rumah mereka. Agung Sedayu mendengarkan pemberitahuan itu dengan saksama. Kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Nanti sore kita dapat duduk bersama dan berbicara bersama-sama.” “Kau akan berbicara tentang Kanthi dan niatnya membunuh diri?” bertanya Sekar Mirah. “Ah, tentu tidak,” jawab Agung Sedayu, “kita berbicara tentang rumah kita yang terasa menjadi semakin sempit.” Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Bagaimana jika semakin sempit? Apakah kita akan membangun lagi untuk memperbesar rumah ini?” Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Jika panen kita berlimpah selama sepuluh musim, maka tabungan kita akan dapat kita pergunakan untuk memperbesar rumah ini satu wuwung lagi.” Sekar Mirah pun tertawa pula. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian berkata pula, “Tetapi bukankah kita tidak jadi pergi ke Kademangan Kleringan?” “Untuk apa?” bertanya Sekar Mirah. “Barangkali kau sudah terlanjur berniat pergi,” jawab Agung Sedayu. “Ah, kau,“ desis Sekar Mirah. “Jika kita tidak jadi pergi, maka aku akan kembali ke barak lagi,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Kenapa? Bukankah Kakang sudah memberitahukan bahwa Kakang akan pulang, dan sudah memberikan pesan-pesan?” “Ya. Tetapi agaknya ada berita penting datang dari Mataram,” jawab Agung Sedayu. “Berita tentang apa?” bertanya Sekar Mirah. “Kanjeng Adipati Pati meningkatkan kesiagaan prajuritnya,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalan apa sebenarnya yang merenggangkan hubungan antara Mataram dan Pati?” “Sebab yang langsung dapat diketahui orang lain adalah peristiwa yang terjadi di Madiun itu,” jawab Agung Sedayu. “Apakah Kakang percaya bahwa itu adalah sebab satu-satunya sehingga Kanjeng Adipati Pati tidak lagi mau menyentuhkan kakinya di paseban Mataram?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Sulit untuk dapat mengatakannya sekarang. Tetapi mungkin sekali ada sebab-sebab lain, yang selapis demi selapis bertimbun menjadi beban yang tidak tertanggungkan lagi bagi Kanjeng Adipati di Pati.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Tetapi Sekar Mirah merasa bahwa persoalan itu adalah persoalan para pejabat tinggi di Mataram dan Pati. “Jika Kakang akan kembali ke barak, sebaiknya Kakang temui meskipun hanya sebentar, Rara Wulan dan Kanthi,” berkata Sekar Mirah kemudian. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bersama Sekar Mirah maka Agung Sedayu pun telah menemui Rara Wulan dan Kanthi. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu ketika Kanthi menangis lagi, “anggaplah rumah ini rumahmu sendiri. Kau akan merasa tenang di sini.” Kanthi mengangguk-angguk. Sambil mengusap air matanya ia berkata, “Terima kasih. Aku akan menjadi beban di sini.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng sambil tersenyum, “Tidak Kanthi. Kau justru akan dapat menemani Rara Wulan, yang selama ini sering melakukan kerja sendiri.” “Kerjaku lebih banyak mengurusi diriku sendiri Kanthi” potong Rara Wulan. “Jika demikian, kau akan banyak membantu mengurusi Rara Wulan,” Sekar Mirah-lah yang menyahut. “Ah,” desah Rara Wulan, sementara Kanthi yang matanya masih basah sempat juga tersenyum. “Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “aku masih harus kembali ke barak.” Sekar Mirah kemudian mengantar Agung Sedayu sampai ke tangga pendapa. Demikian pula Glagah Putih dan Wacana, juga berdiri tidak jauh dari Rara Wulan. “Sampai hari ini Adi Swandaru masih berada di Tanah Perdikan ini. Tetapi berita penting itu tentu juga akan sampai ke Jati Anom dan Kademangan Sangkal Putung,” berkata Agung Sedayu. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun hampir di luar sadarnya Glagah Putih berkata, “Mudah-mudahan Sabungsari mendapat kesempatan untuk menyelesaikan persoalannya dengan Raras, sebelum ia ditarik ke medan perang jika perang itu benar-benar pecah.” “Ya,” sahut Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Juga Prastawa.” “Bukankah Kakang Swandaru sengaja menunggu sampai persoalan Prastawa itu selesai?” bertanya Sekar Mirah. “Orang tua Anggreni akan memberitahukan keputusan mereka apakah lamaran Prastawa diterima atau tidak, meskipun sekedar pernyataan resmi saja,” berkata Agung Sedayu. “Tentu tidak akan terlalu lama lagi,” desis Glagah Putih. “Kita akan menjadi sibuk,“ berkata Sekar Mirah, “bagaimanapun juga kita akan terlibat, langsung atau tidak langsung, saat Prastawa menikah. Demikian pula Sabungsari.” Agung Sedayu mengangguk-angguk Katanya, “Ya. Aku berharap semuanya segera terjadi.” Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu itu pun telah berpacu di punggung kudanya kembali ke barak. Sepeninggal Agung Sedayu, maka seisi rumahnya telah kembali ke dalam kerja masing-masing. Glagah Putih setelah sibuk membelah kayu bakar di belakang rumah, telah berada di sanggar. Wacana yang telah menjadi semakin baik, telah berada di sanggar pula. Sementara Ki Jayaraga agaknya benar-benar ingin beristirahat. Meskipun demikian, Ki Jayaraga itu telah berada di dalam sanggar pula, meskipun hanya sekedar duduk di atas amben sambil memperhatikan Glagah Putih yang berlatih. Bahkan sekali-sekali Ki Jayaraga telah menguap dan terkantuk-kantuk. Orang tua itu benar-benar tidak terlibat latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih, salah seorang murid Ki Jayaraga, yang diharapkan akan menjadi muridnya yang tidak terjerumus ke dalam laku kejahatan sebagaimana murid-muridnya yang terdahulu, yang sama sekali tidak dikehendakinya. Glagah Putih memang sekali-sekali memperhatikan gurunya. Namun iapun hanya tersenyum saja. Ia tahu bahwa Ki Jayaraga benar-benar merasa letih. Bukan karena perjalanan itu sendiri, tetapi justru karena dalam perjalanan itu mereka terlalu banyak berhenti dan beristirahat. Kelelahan Ki Jayaraga bukan pada wadagnya, justru karena ia harus bersabar mengikuti dan mempertimbangkan Kanthi. Demikianlah, maka Glagah Putih itu berlatih sendiri. Namun kemudian Wacana pun telah mulai dengan latihan-latihan pula, meskipun masih harus mengingat perkembangan keadaan tubuhnya. Ketika keduanya kemudian beristirahat, maka Wacana yang duduk di amben bambu di sebelah Glagah Putih itu pun bertanya, “Apakah kau pernah melihat gadis yang bernama Anggreni yang telah dilamar oleh Prastawa?” “Pernah,” jawab Glagah Putih, “ia juga gadis Tanah Perdikan, meskipun semula mereka tinggal di Mangir.“ “Apakah gadis itu cantik sekali?” bertanya Wacana. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ia tidak segera menangkap maksud pertanyaan Wacana. Namun Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Aku tidak mengenal gadis itu terlalu banyak. Hanya karena kami tinggal di lingkungan yang sama, maka kami saling mengenal. Tetapi hanya sepintas. Bahkan aku mulai memperhatikannya justru setelah aku tahu bahwa gadis itulah yang akan menjadi istri Prastawa. Dan ternyata kemarin lusa keluarga Prastawa telah mengirim utusan untuk menemui keluarga Anggreni.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya, “Kenapa kau tanyakan kecantikan Anggreni itu?” Wacana termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian iapun berkata, “Aku memang mengira bahwa Anggreni adalah gadis yang sangat cantik. Bahkan seperti bidadari.” “Kenapa kau sebenarnya?” Glagah Putih menjadi heran. “Jika tidak demikian, maka Prastawa tentu tidak akan menolak Kanthi,” desis Wacana. “Kenapa?” desak Glagah Putih. “Bukankah kau lihat bahwa Kanthi seorang gadis yang cantik,” jawab Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia mengerti maksud Wacana. Jika Anggreni bukan seorarg gadis secantik bidadari, maka Prastawa tentu tidak akan mengesampingkan Kanthi. Sambil mengangguk-angguk Glagah Putih itu pun kemudian menjawab, “Ya. Menurut Prastawa tentu ada yang lebih menarik pada Anggreni daripada Kanthi. Tetapi pemilihan seseorang terhadap calon kawan hidupnya tidak semata-mata tergantung dari kecantikannya saja. Meskipun seseorang mendapat kesempatan untuk memilih yang lebih cantik, tetapi dapat saja ia memilih yang kurang cantik karena terdapat beberapa persesuaian dengan dirinya.” “Ya. Ya. Kau benar,” sahut Wacana dengan serta merta. Lalu katanya, “Jodoh memang tidak dapat diburu.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia menyadari bahwa Wacana pun pernah mengalami kekecewaan yang sangat, karena seorang gadis sama sekali tidak menyadari bahwa gadis itu telah dicintai oleh Wacana. Untuk beberapa saat merekapun kemudian terdiam. Glagah Putih mengusap keringatnya. Dilihatnya Ki Jayaraga bersandar dinding sambil memejamkan matanya. Namun ketika pembicaraan Glagah Putih dan Wacana yang tidak terlalu keras itu terdiam, maka Ki Jayaraga telah membuka matanya. “Aku memang merasa sangat letih,“ desis Ki Jayaraga. “Kenapa Guru tidak beristirahat di dalam bilik, dan barangkali dapat tidur lebih nyenyak?” bertanya Glagah Putih. “Di sini aku dapat tidur, justru karena aku mendengar derap kaki kalian berlatih, atau pembicaraan kalian yang lamat-lamat. Tetapi justru tidak di bilikku yang sepi,” jawab Ki Jayaraga dengan suara yang mengambang. Namun Ki Jayaraga pun kemudian telah bangkit dan berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Cepat bersiap. Kita akan berlatih bersama.” Glagah Putih tidak dapat menolah perintah gurunya. Ia segera bangkit dan bersiap untuk berlatih langsung bersama gurunya. Mula-mula gerakan mereka lamban saja. Namun semakin lama semakin cepat. Ketika tubuh Ki Jayaraga sudah menjadi panas, maka latihan itu pun menjadi semakin keras. Namun Glagah Putih memang bukan lagi pemula. Bahkan Glagah Putih telah mendapat kepercayaan dari gurunya untuk mewarisi ilmu Sigar Bumi. Karena itu, maka latihan itu pun kemudian rasa-rasanya telah mengguncang sanggar itu sendiri. Wacana telah sering melihat Glagah Putih berlatih. Iapun pernah melihat Ki Jayaraga berada di sanggar. Namun latihan itu telah membuat Wacana menjadi bingung. Dengan saksama ia mengikuti gerak keduanya. Namun kadang-kadang Wacana seakan-akan telah kehilangan satu dua unsur gerak yang terlampaui oleh pengamatannya. “Luar biasa,” desis Wacana, “aku ingin dapat berbuat lebih banyak, setidak-tidaknya ketrampilan dan kemampuan mengungkap tenaga dalam.” Sebenarnyalah bahwa Wacana juga memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi dengan menyaksikan Glagah Putih berlatih bersama gurunya, maka Wacana merasa dirinya menjadi kecil. Tetapi Wacana pun merasa bahwa ia mendapat kesempatan untuk meningkatkan kemampuannya. Glagah Putih telah mengatakan kepadanya bahwa anak muda itu sama sekali tidak berkeberatan untuk berlatih bersamanya, sehingga memungkinkannya mengenali berapa unsur baru yang berarti bagi ilmunya. Demikianlah, latihan yang dilakukan oleh Ki Jayaraga dan Glagah Putih justru telah mengungkapkan segala tenaga dan kemampuan mereka, namun tidak sampai merambah memasuki batas ilmu-ilmu puncak mereka. Beberapa saat kemudian, maka Ki Jayaraga telah memberi isyarat untuk menghentikan latihan. Dengan demikian maka keduanya pun telah mengambil jarak, mengurangi tenaga mereka dengan gerakan-gerakan khusus. Baru kemudian mereka melangkah menepi. Keduanya nampak berkeringat. Glagah Putih bahkan seperti orang yang baru saja membenamkan diri di belumbang dengan seluruh pakaiannya. Namun dengan nada ringan Ki Jayaraga berkata, “Nah, aku sudah tidak merasa letih, dan tidak kantuk lagi.” Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Yang terjadi padaku justru sebaliknya Guru. Aku menjadi sangat letih sekarang.” “Beristirahatlah,” berkata gurunya, “aku akan pergi ke pakiwan.” “Guru masih basah oleh keringat,” berkata Glagah Putih. “Aku tidak akan segera mandi,” jawab Ki Jayaraga. Demikian Ki Jayaraga keluar, maka Wacana pun berdesis, “Aku ingin berlatih bersamamu.” “Baik. Kapan saja kita mempunyai waktu. Tentu saja jika keadaanmu sudah pulih kembali,” jawab Glagah Putih. “Aku sudah merasa bahwa tenaga dan kekuatan serta daya tahanku telah pulih kembali.” “Kita dapat mulai sedikit demi sedikit,” jawab Glagah Putih, yang kemudian telah duduk di samping Wacana untuk mengeringkan keringatnya. Ketika kemudian mereka keluar dari sanggar, maka mereka memang melihat Ki Jayaraga sedang menarik senggot timba untuk mengisi jambangan di pakiwan. “Biarlah nanti aku isi, Guru,” berkata Glagah Putih yang mendekatinya. “Biar saja. Nanti aku kantuk lagi,” jawab Ki Jayaraga. Glagah Putih pun kemudian meninggalkan gurunya di pakiwan. Berdua mereka pergi ke serambi gandok. Namun Wacana telah mulai berbicara lagi tentang Kanthi. Demikianlah, maka sejak saat itu penghuni di rumah Agung Sedayu telah bertambah lagi. Di sore hari, seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka seisi rumah itu pun telah berkumpul. Tidak ada persoalan penting yang mereka bicarakan, namun pertemuan seperti itu dimaksudkan oleh Agung Sedayu untuk meningkatkan saling pengertian di antara seisi rumah itu. Agar masing-masing merasa bahwa mereka adalah satu keluarga. Saling mengerti dan saling mempedulikan yang satu dengan yang lain. Dalam pertemuan itulah Wacana menjadi semakin mengenal Kanthi. Demikian pula Kanthi mulai mengenalnya. Di hari-hari berikutnya, perkenalan Wacana dan Kanthi pun menjadi cepat akrab. Mereka berusaha untuk saling mengerti dan saling mempedulikan. Namun setiap kali perasaan Kanthi masih saja selalu dihambat oleh keadaannya. Bagaimanapun juga Kanthi itu sedang mengandung, yang tentu saja semakin hari menjadi semakin bertambah besar. Tetapi dengan sengaja Wacana memang sering menyinggungnya. Ia ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa ia sudah mengetahui keadaan Kanthi seutuhnya. Wacana ingin mengatakan kepada Kanthi bahwa sikapnya itu adalah sikap wajarnya, dan tidak akan dikejutkan lagi oleh kenyataan tentang diri Kanthi. Nampaknya hubungan Wacana dan Kanthi itu justru membuat Rara Wulan gembira. Gadis itulah yang paling banyak menaruh perhatian terhadap Kanthi yang menderita. Sementara itu, Glagah Putih memang sudah menemui Prastawa di rumah Ki Gede. Glagah Putih telah menceritakan apa yang telah terjadi di Kademangan Kleringan. Iapun telah menceritakan pula,bahwa Kanthi sekarang berada di rumah Agung Sedayu. Prastawa mendengarkan keterangan Glagah Putih itu sambil mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun juga hatinya telah diketuk oleh kenyataan pahit yang dialami oleh Kanthi. “Tetapi itu memang bukan salahmu,” berkata Glagah Putih. Lalu katanya selanjutnya, “Yang kami minta sekarang adalah pengertianmu, untuk tidak lewat di depan rumah Kakang Agung Sedayu untuk beberapa hari ini.” Prastawa mengangguk-angguk. Pandan Wangi yang ikut mendengarkannya berkata, “Kau harus mencoba untuk mengerti Prastawa. Meskipun Tanah Perdikan ini bebas kau jelajahi, apalagi mengingat tugas-tugasmu, namun kau sebaiknya membiarkan Kanthi mendapat ketenangan di Tanah Perdikan ini, sampai goncangan-goncangan jiwanya itu dapat terkendali.” Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Mbokayu. Tetapi kenapa Kanthi justru berada di Tanah Perdikan ini?” “Ia tidak memilih. Hatinya yang gelap itu seakan-akan mendapat seberkas sinar terang ketika Rara Wulan datang, sehingga langsung telah mengambil keputusan untuk mengikutinya,” sahut Glagah Putih. Prastawa memang dapat membayangkan gejolak perasaan Kanthi waktu itu, sehingga hampir saja Kanthi mengakhiri hidupnya dengan cara yang seharusnya tidak dilakukannya. Namun dalam pada itu Swandaru pun berdesis, “Tetapi besok sore, Paman Argajaya akan menerima utusan keluarga Anggreni yang akan menjawab lamarannya beberapa hari yang lalu. Jika kemudian ditentukan hari pernikahannya, apakah keramaian yang bakal diselenggarakan di Tanah Perdikan ini tidak terdengar oleh Kanthi, sehingga akan dapat membuat luka di hatinya terasa pedih lagi?” “Kanthi tidak pernah keluar dari halaman rumah, ia tidak pernah ikut Mbokayu Sekar Mirah ke pasar, dan bahkan tidak ke warung terdekat sekalipun,” jawab Glagah Putih. “Tetapi suatu saat Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan ikut menjadi sibuk,” berkata Swandaru, “tentu Kanthi bertanya-tanya, diucapkan atau tidak, kenapa Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah harus mengenakan pakaian yang tidak dikenakannya sehari-hari. Bahkan Sekar Mirah tentu ikut membantu kesibukan di rumah Paman Argajaya.” “Tetapi bukankah yang menjadi lebih sibuk adalah keluarga Anggreni?” bertanya Glagah Putih. “Tetapi tentu juga Paman Argajaya,” jawab Swandaru. “Katakan saja, Sekar Mirah mendapat tugas menyelenggarakan keramaian Merti Desa,” desis Pandan Wangi. Swandaru tersenyum. Katanya, “Memang bukan sesuatu hal yang sangat sulit. Tetapi aku kira sebaiknya Kanthi justru mengetahui, sehingga ia tidak merasa selalu dibayangi oleh kebohongan.” Tetapi Pandan Wangi menjawab, “Tetapi harus dicari saat yang paling tepat untuk mengatakannya.” Swandaru mengangguk-angguk, sementara Prastawa berkata, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk tidak mengganggu ketenangan Kanthi. Ia datang kemari untuk melupakan pedih hatinya. Kita memang harus membantunya.” Namun Glagah Putih ternyata juga mendapat pesan, agar Agung Sedayu besok sore berada di rumah Ki Argajaya karena utusan keluarga Anggreni akan datang memberikan jawaban atas lamaran Ki Argajaya, meskipun sebenarnya jawaban itu sudah diketahui. Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa pesan itu harus disampaikannya tanpa didengar oleh Kanthi. Namun perkenalan dan kemudian hubungan sehari-hari antara Kanthi dan Wacana nampak menjadi semakin akrab. Setiap kali Wacana berusaha untuk membantu apa saja yang dilakukan oleh Kanthi. Kanthi sendiri merasakan satu sikap yang lain dari Wacana. Anak muda itu sangat memperhatikannya. Ia banyak membantunya, dan sekali-sekali memberinya beberapa petunjuk tentang hidup dan kehidupan. Sebelumnya Kanthi sudah lama mengenal Prastawa. Bahkan ia pernah merasa betapa hatinya telah terjerat oleh anak muda itu. Tetapi Prastawa tidak memperhatikannya sebagaimana Wacana. Prastawa pun tidak memberinya petunjuk-petunjuk yang mendalam tentang hidup dan kehidupan. Jika Prastawa menemuinya di rumahnya, wajahnya memang nampak cerah. Senyumnya selalu menghiasi bibirnya. Tetapi ia lebih banyak berbicara tentang keadaan sehari-hari di Tanah Perdikan dan di Kademangan Kleringan. Pembicaraan yang tidak membekas, karena hanya sekedar menyentuh permukaan. Yang membekas di hati Kanthi adalah justru wajah dan senyum Prastawa yang ceria. Tetapi tidak demikian dengan Wacana. Anak muda ini lebih bersungguh-sungguh menanggapi hidup dan kehidupan. Menurut pendapat Kanthi, maka Wacana adalah salah satu sosok seorang laki-laki yang dapat menjadi pelindung bagi keluarganya. Namun setiap kali Kanthi terdampar pada kenyataan tentang dirinya. Setiap ia menyadari keadaan dirinya, maka ia segera merasa rendah diri, dan bahkan sekali-sekali melemparkannya ke dalam satu keadaan tiada berpengharapan. Namun Kanthi masih juga dibayangi oleh satu kebimbangan. Wacana telah mengetahui dengan pasti akan keadaannya. Tetapi sikapnya memberikan kehangatan atas satu pengharapan. Sementara itu, ketika tiba saatnya Ki Argajaya menerima utusan dari keluarga Anggreni, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi mereka berniat untuk berbenah diri di rumah Ki Gede. Bahwa Swandaru dan Pandan Wangi ada di rumah Ki Gede, akan dapat mengurangi keseganan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi, maka Kanthi memang bertanya tentang mereka. Tetapi Rara Wulan yang sudah mendapat pesan dari Sekar Mirah menjawab, “Mereka dipanggil oleh Ki Gede, sehubungan dengan peningkatan kesiapan Mataram menghadapi kemelut dengan Pati.” Kanthi hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak bertanya lebih lanjut. Tetapi justru timbul kecemasan bahwa akan timbul keadaan yang kurang baik oleh akibat peperangan, jika perang itu benar-benar terjadi kelak. Karena sedikit-sedikit Kanthi pernah mendengar hubungan antara Mataram dan Pati menjadi gelap. Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun seperti direncanakan telah berbenah diri di rumah Ki Gede. Mereka berterus terang bahwa mereka sengaja menghindari pertanyaan Kanthi. “Jika kau perlakukan Kanthi seperti itu, maka ia tentu akan menjadi sangat manja,” berkata Swandaru. “Tentu tidak seterusnya. Kakang,“ Pandan Wangi-lah yang justru menyahut, “Kanthi baru saja tergoncang jiwanya, bahkan setelah ia mencoba membunuh diri. Sekarang ia sedang berusaha mencapai keseimbangan perasaan dan penalarannya kembali.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku akan berusaha untuk mengerti.” Tetapi Pandan Wangi justru bertanya, “Apakah kira-kira usaha Kakang itu berhasil?” Swandaru terkejut mendengar pertanyaan itu. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Aku akan berhasil.” Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Agung Sedayu pun tersenyum pula. Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah pergi ke rumah Ki Argajaya. Bahkan Ki Gede pun berkenan pergi pula, karena Prastawa selain kemenakannya maka ia adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Sore itu, beberapa orang tamu telah datang ke rumah Ki Argajaya. Mereka adalah orang-orang yang dituakan oleh keluarga Anggreni, dengan beberapa orang pengiringnya. Sebenarnya memang tidak ada masalah apa-apa. Segalanya sudah dapat diketahui, bahwa keluarga Anggreni datang untuk menerima lamaran Ki Argajaya, bahwa Anggreni akan diperistri oleh Prastawa. Tetapi ketika Ki Argajaya bertanya apakah keluarga Anggreni sudah mempunyai ancar-ancar waktu, maka utusan keluarga Anggreni itu menjawab, “Sama sekali belum Ki Argajaya. Segala sesuatunya kami serahkan kepada Ki Argajaya.” “Tetapi bukankah ajang peralatan itu nanti berada di rumah calon pengantin perempuan?” bertanya Ki Gede. “Benar Ki Gede, tetapi segala sesuatunya kami menunggu perintah dari sini.” “Tentu bukan perintah,” sahut Ki Argajaya, “kita akan membicarakan bersama.” “Bagaimana kalau sepekan lagi?“ tiba-tiba Swandaru memotong, “Jika hanya sepekan, aku akan menunggu.” “Ah,” Pandan Wangi berdesah. Tetapi iapun segera terdiam. Ia sadar bahwa ia tidak berwenang untuk menjawab. Ternyata utusan keluarga Anggreni yang dituakan itu-lah yang menjawab, “Maafkan Ngger. Jika sepekan lagi, maka kami akan menjadi sangat tergesa-gesa.” Ki Jayaraga yang mendahului Agung Sedayu dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya itu pun tertawa pula. Katanya, “Tentu tidak mungkin. Jika pernikahan itu harus diselenggarakan sepekan lagi, maka mulai besok keluarga calon penganten itu harus sudah berbelanja, mulai memasak, dan jika Prastawa harus memakai upacara ngenger, malam nanti Prastawa harus berangkat.” Swandaru pun tertawa. Katanya, “Nampaknya aku terlalu memikirkan diri sendiri.” Ki Argajaya-lah yang kemudian berkata, “Sebaiknya, kami serahkan rencana saat pernikahan itu kepada keluarga calon pengantin perempuan. Hari, pasaran, tanggal dan bulan baik, dan waktunya, apakah pagi, siang atau sore hari. Kami akan menyesuaikan diri, karena kesibukan itu akan berlangsung di rumah calon pengantin perempuan. Untuk itu kami cukup diberitahukan saja.” Utusan keluarga calon pengantin perempuan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Nanti kami akan membicarakannya dengan seluruh keluarga. Dalam sepekan ini kami akan memberitahukan hasilnya.” “Sebelum akhir pekan,” sahut Swandaru, “aku hanya tinggal sepekan berada di Tanah Perdikan ini. Sebelum kami pulang, hendaknya kami sudah tahu kapan kami harus datang kembali kemari. Mudah-mudahan kami tidak sedang berada di medan perang.” “Tentu tidak,” jawab Ki Gede, “jika perang terjadi sebelum hari pernikahan, maka pernikahan itu tentu dengan sendirinya akan tertunda.” Demikianlah, pembicaraan itu pun segera berakhir. Tetapi untuk beberapa saat para tamu itu masih duduk berbincang-bincang tentang banyak hal yang menyangkut padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan. Namun akhirnya para tamu itu pun telah mohon diri meninggalkan rumah Ki Argajaya. Sepeninggal para tamu utusan keluarga calon pengantin perempuan, maka Ki Gede pun telah minta diri pula. Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan singgah di rumah Ki Gede untuk berganti pakaian, sebagaimana mereka berangkat dari rumah. Ki Jayaraga yang keluar dari rumah tidak bersama mereka dan langsung pergi ke rumah Ki Argajaya, akan langsung pulang. Swandaru memang masih mentertawakan mereka, seakan-akan seisi rumah itu telah dikendalikan oleh kehadiran Kanthi. Tetapi Pandan Wangi pula yang berkata, “Apa salahnya menjaga perasaan seseorang? Jika Ki Jayaraga berangkat dan pulang bersama-sama dengan Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka Kanthi akan dapat bertanya-tanya. Jika saja pertanyaan itu terucapkan, maka akan dapat diberikan penjelasan meski-pun harus berbohong. Tetapi jika pertanyaan itu disimpan di dalam hatinya, maka pertanyaan itu akan dapat mengganggu keseimbangan jiwanya yang sudah mulai membaik.” Swandaru masih tertawa sambil mengangguk-angguk, “Ya. Ya. Aku mengerti.” Sementara itu di rumah, Glagah Putih masih sedang berada di kandang kuda. Sementara Rara Wulan berada di dapur untuk menjerang air. Kanthi ternyata juga berada di dapur membantu Rara Wulan. “Sudahlah Kanthi,” berkata Rara Wulan, “kau tidak boleh terlalu banyak melakukan sesuatu.” “Bukankah aku tidak berbuat apa-apa selain menunggui api agar tetap menyala?” sahut Kanthi. “Tetapi tidak baik bagimu untuk duduk terlalu lama di atas dingklik yang rendah itu,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi memang bangkit. Tetapi ketika ia melihat air di gentong yang sudah tinggal sedikit, maka iapun telah mengambil klenting untuk mengisi gentong. Untunglah Rara Wulan melihatnya, sehingga cepat-cepat ia mencegahnya, “Jangan. Biarlah nanti orang lain yang mengisinya. Biasanya Kakang Glagah Putih atau anak itu.” “Aku tidak melihat Kakang Glagah Putih,” sahut Kanthi, “Sukra agaknya juga sedang pergi.” Rara Wulan mengerutkan dahinya. Ia justru bertanya, “Siapa yang kau maksud dengan Sukra?” “Anak itu,” jawab Kanthi. “Anak yang mana?” desak Rara Wulan. “Anak yang di sini. Tentu anak yang kau maksudkan untuk mengisi gentong itu.” “O,“ Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. “Kenapa?” bertanya Kanthi. “Namanya bukan Sukra,” jawab Rara Wulan. “Siapa? Aku dengar Kakang Glagah Putih pernah memanggilnya Sukra.” Rara Wulan Tersenyum. Katanya, “Aku juga pernah bingung memanggil anak itu, sehingga aku pernah menanyakannya. Menurut Kakang Agung Sedayu, nama sebenarnya adalah Gatra Bumi. Tetapi anak itu malu setiap kali ia mendengar namanya sendiri. Nama itu merupakan beban yang terlalu berat. Karena itu ia lebih senang dipanggil dengan nama apa saja. Bahkan jarang sekali anak itu dipanggil dengan sebuah nama.” “Jadi?” bertanya Kanthi. “Karena anak itu senang sekali ikan tambra, maka Kakang Glagah Putih sering memanggilnya Tambra. Sering pula dipanggilnya Kampret, atau nama apapun. Tetapi lebih sering dipanggil dengan Thole,” jawab Rara Wulan. Kanthi mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Tetapi nampaknya anak itu tidak berkeberatan aku panggil Sukra. Biarlah aku memanggilnya Sukra untuk seterusnya.” Rara Wulan tertawa. Katanya, “Yang lain tentu tidak berkeberatan. Kakang Glagah Putih, Kakang Agung Sedayu dan yang lain tentu tidak berkeberatan pula.” Ternyata ketika Glagah Putih kemudian masuk ke dapur, Rara Wulan pun telah mengatakan kepadanya, bahwa anak yang ada di rumah itu sebaiknya dipanggil dengan sebuah nama. Glagah Putih pun tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepada anak itu. Jika ia tidak berkeberatan, maka jadilah namanya Sukra.” Ketika senja kemudian menjadi gelap, maka Ki Jayaraga pun telah pulang lebih dahulu. Tetapi baik Glagah Putih maupun Rara Wulan tidak bertanya sama sekali kepada Ki Jayaraga tentang kepergiannya. Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kembali pula. Kanthi memang tidak melihat sesuatu yang perlu dipertanyakan kepada Ki Jayaraga atau kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Sementara itu Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak membicarakan rencana pernikahan Prastawa. Malam itu, Glagah Putih telah mengajak anak yang tinggal di rumah itu untuk berlatih. Setelah beberapa saat anak itu beristirahat setelah makan malam, maka Glagah Putih membawanya untuk melakukan latihan-latihan ringan di kebun belakang. Namun sebelum mereka mulai berlatih, Glagah Putih pun berkata, “He, Kampret, kau sekarang mempunyai sebuah nama.” “Jangan panggil namaku,” jawab anak itu, “menurut orang tua-tua, nama yang menjadi beban terlalu berat, akan dapat membuat seseorang menjadi sakit-sakitan.” “Tidak. Kau mempunyai nama baru. Kanthi yang memberikannya,” berkata Glagah Putih. “Kanthi orang baru itu?” bertanya anak itu. “Ya. Nampaknya kau sangat menarik perhatiannya. Baginya kau adalah anak yang rajin dan mengerti tugas-tugas yang harus kau lakukan. Karena itu ia ingin memberimu nama, agar ia dapat memanggilmu dengan mudah,” berkata Glagah Putih. “Kenapa tiba-tiba namaku menjadi persoalan? Bukankah selama ini tidak ada masalah apapun dengan namaku?” bertanya anak itu. “Kau akan selalu dipanggil Sukra. Ceritakan kepada kawan-kawanmu yang memanggilmu Kampret, bahwa namamu adalah Sukra,” berkata Glagah Putih kemudian. Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Nama itu memang lebik baik.” Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian katanya, “Nah, marilah. Kita akan mulai berlatih. Kita akan berlatih di udara terbuka kali ini. Kita lihat apakah nanti kita perlu pindah ke sanggar atau tidak. Latihan ini memang memerlukan tempat yang agak luas.” Anak itu mengangguk kecil. Ia tidak lagi berani bersikap seenaknya lagi kepada Glagah Putih. Demikianlah, Glagah Putih pun telah mulai dengan latihan-latihan dasar olah bela diri. Glagah Putih telah memperkenalkan anak itu dengan langkah-langkah panjang. Langkah-langkah yang akan dapat memberikan arti bagi ketahanan tubuh dan pernafasannya. Dengan sungguh-sungguh anak itu mengikuti segala petunjuk Glagah Putih. Anak itu benar-benar ingin dapat menguasai dasar-dasar ilmu bela diri. Dengan demikian maka anak itu mampu menguasai beberapa unsur gerak dalam waktu yang terhitung cepat. Menjelang tengah malam, anak itu pun telah nampak mulai menjadi letih. Karena itu Glagah Putih pun kemudian telah mengakhiri latihan-latihan itu. “Kau tidak usah terlalu memaksa diri, karena justru dengan demikian akan dapat mengganggu perkembangan kewadaganmu.” Anak itu tidak berani lagi membantah. Ketika Glagah Putih minta ia meletakkan ungkapan tenaganya dengan mengatur pernafasannya dengan cara yang telah diajarkannya, maka anak itu pun segera melakukannya. Setelah beristirahat dan setelah membersihkan dirinya dan berganti dengan pakaian yang tidak basah oleh keringat, maka Glagah Putih pun telah pergi ke serambi gandok. Ternyata Wacana juga belum tidur. Iapun duduk di amben bambu di serambi gandok pula. “Kau belum tidur,” bertanya Glagah Putih yang kemudian duduk di sebelahnya. “Kau juga belum,” sahut Wacana. “Aku baru saja berlatih bersama anak itu,” jawab Glagah Putih, “nampaknya ia bersungguh-sungguh ingin menguasai kemampuan bela diri.” Wacana mengangguk-angguk. Tetapi agaknya ia tidak begitu tertarik mendengarnya. Namun tiba-tiba saja di luar dugaan Glagah Putih, Wacana itu bertanya, “Setelah beberapa hari berada di sini, bagaimana pendapatmu tentang Kanthi?” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Dengan agak ragu ia bertanya, “Maksudmu?” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Untuk beberapa saat anak muda itu merenung. Namun kemudian betapapun ia ragu-ragu, namun iapun berkata, “Glagah Putih. Kanthi membutuhkan seseorang yang bersedia menjadi sisihannya. Dengan demikian ia akan dapat dibebaskan dari penderitaan batin saat anaknya lahir.” Di luar sadarnya Glagah Putih memandangi wajah Wacana dengan dahi yang berkerut. Dengan nada rendah ia berkata, “Benar Wacana. Tetapi tentu dibutuhkan seseorang yang mau menerimanya secara utuh.” “Tentu Glagah Putih. Orang yang bersedia menjadi suaminya harus orang yang sudah mengetahui keadaannya, menerima tanpa syarat,” jawab Wacana. “Ya. Jika tidak, maka pada saat bayinya akan lahir, maka perasaan dan penalarannya yang kini mulai menjadi seimbang akan terguncang lagi. Bahkan mungkin lebih keras. Anak itu baginya akan menjadi beban yang tidak akan dapat diletakkannya.” “Aku sependapat, Wacana,” berkata Glagah Putih, “tetapi tentu diperlukan seseorang yang bersedia melakukannya dengan penuh kesadaran.” “Glagah Putih,” suara Wacana merendah, “aku sudah mengetahui keadaan Kanthi. Tetapi aku juga mengetahui bahwa ia memerlukan seseorang yang membantunya mengatasi goncangan-goncangan perasaannya di saat bayi lahir.” “Maksudmu?” bertanya Glagah Putih. “Aku bersedia menjadi orang yang dapat membantunya itu.” berkata Wacana sambil memandang ke kejauhan. Glagah Putih menarik nafas panjang. Ia tidak terkejut karena ia sudah menduganya. Meskipun demikian, Glagah Putih itu pun kemudian berkata, “Wacana. Apakah tegasnya kau bersedia menikah dengan Kanthi? Begitu maksudmu?” “Ya,” jawab Wacana. “Aku kagum akan kebesaran jiwamu. Meskipun demikian, maka kau sebaiknya memikirkannya lagi. Jika sebuah perkawinan hanya didasari karena rasa belas kasihan, maka perkawinan itu tidak berdiri di atas alas yang kokoh. Pada suatu saat, keadaan yang menimbulkan rasa belas kasihan itu tidak nampak lagi. Jika hidup menjadi tegar kembali serta harapan semakin cerah di masa datang, masa rasa kasihan itu akan berangsur hilang. Pada saat yang demikian perkawinan itu akan menjadi goncang.” “Glagah Putih,” berkata Wacana dengan nada berat, “jika aku bersedia menjadi suaminya, dasarnya bukan semata-mata belas kasihan. Setelah aku mengenalnya dari dekat, maka aku yakin bahwa Kanthi adalah seorang perempuan yang baik. Ia akan menjadi seorang yang setia dan mengerti akan tugasnya. Terus terang Glagah Putih, aku seakan -akan telah menemukan apa yang pernah hilang dari padaku beberapa waktu yang lalu.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi kau harus ingat, bahwa di dalam diri Kanthi terdapat seorang yang kelak akan dapat mengingatkanmu tentang keadaan Kanthi sekarang ini.” “Aku sudah memikirkannya berulang kali Glagah Putih. Aku tentu akan dapat melupakannya. Aku akan dapat menganggapnya sebagai anakku sendiri, justru karena aku sudah mengetahui sebelumnya. Aku akan merasa tersiksa kelak jika aku sebelumnya tidak mengetahuinya,“ jawab Wacana. Glagah Putih kemudian bergumam, “Aku sangat menghargai sikapmu Wacana. Apakah kau pernah berbicara dengan Kanthi, langsung atau tidak langsung?” “Belum Glagah Putih. Aku takut,” jawab Wacana. “Kenapa takut?” bertanya Glagah Putih. “Kanthi akan dapat menjadi salah paham. Seperti katamu, ia dapat mengira aku hanya sekedar mengasihaninya,” jawab Wacana. “Jadi, bagaimana mungkin Kanthi mengetahuinya jika kau tidak mengatakannya?” bertanya Glagah Putih. Wacana tidak menjawab. Tetapi wajahnya justru tertunduk lesu. Sekali-kali diusapnya keringat yang membasah di kening. “Wacana,” berkata Glagah Putih kemudian, “jika aku boleh bertanya, bukankah kau sudah menjadi semakin akrab dengan Kanthi dalam waktu yang singkat? Dengan demikian agaknya kau sudah dapat menjajaginya, bagaimana sikap dan perasaan Kanthi terhadapmu.” Wacana termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Glagah Putih. Nampaknya Kanthi sangat dekat dengan Rara Wulan. Seakan-akan ada ikatan dan bahkan ketergantungan perempuan itu kepada Rara Wulan. Karena itu, aku minta tolong kepadamu Glagah Putih. Katakan kepada Rara Wulan persoalanku ini. Jika yang menyampaikan hal itu kepada Kanthi adalah Rara Wulan sendiri, maka tanggapan Kanthi tentu akan berbeda.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia menyahut, “Aku mengerti Wacana. Biarlah Rara Wulan mengatakannya.” “Terima kasih, Glagah Putih. Tetapi aku mohon Rara Wulan berhati-hati, agar Kanthi tidak menjadi salah paham,” desis Wacana. “Baiklah. Mudah-mudahan niat baik yang memancar dari kebesaran jiwamu itu dapat terlaksana. Semuanya akan ikut bergembira. Tentu saja Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah akan menyambut dengan gembira. Demikian juga Ki Jayaraga. Menurut pendapatku, yang juga akan menyambut dengan sepenuh hati adalah Prastawa. Ia akan merasa terlepas dari satu himpitan perasaan bersalah, meskipun sebenarnya ia tidak bersalah.” “Ya. Prastawa memang tidak bersalah,” desis Wacana. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat jalan keluar yang baik bagi Kanthi. Namun demikian, Glagah Putih berniat untuk berbicara dengan Agung Sedayu dan lebih dahulu, sebelum ia minta kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepada Kanthi. Malam itu, Wacana dapat tidur nyenyak. Ia merasa bahwa sebagian bebannya telah diletakkannya. Ia berharap bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan benar-benar bersedia membantunya. Pagi berikutnya, Glagah Putih benar-benar telah menyampaikannya kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Ketika Sekar Mirah meletakkan minuman hangat di ruang dalam, maka Glagah Putih telah minta untuk berbicara sejenak. “Apa yang akan kau bicarakan?” bertanya Sekar Mirah. Glagah Putih berdesis, “Penting. Tentang Wacana. Dimana kita dapat berbicara bersama Kakang Agung Sedayu?” Sekar Mirah pun kemudian menyampaikannya kepada Agung Sedayu, yang sedang berbenah diri dan mengenakan pakaian keprajuritan di dalam biliknya. “Panggil Glagah Putih kemari,” desis Agung Sedayu. Di dalam bilik Agung Sedayu, Glagah Putih telah menyampaikan persoalan Wacana dalam hubungannya dengan Kanthi. “Bukan sekedar karena belas kasihan,” berkata Glagah Putih kemudian. “Aku percaya kepada Wacana,” desis Agung Sedayu, “ia merasa menemukan kembali apa yang pernah hilang dari padanya, meskipun sudah tentu bobotnya tidak sama. Tetapi akupun melihat bahwa Kanthi akan dapat menjadi seorang istri yang baik. Pengalaman pahit yang pernah terjadi atas dirinya akan membantu membuatnya lebih berhati-hati melintas langkah-langkah kehidupan.” “Menurut pendapatku, pada dasarnya Kanthi adalah anak yang baik,” sahut Sekar Mirah, “tetapi bagaimana dengan anak yang dikandungnya?” “Wacana menyadari sepenuhnya akan kehadiran seorang anak segera setelah pernikahannya. Tetapi menurut Wacana, justru karena hal itu sudah diketahuinya, maka tidak akan menjadi beban yang berlebihan baginya kelak.” “Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak berkeberatan.” “Apakah Mbokayu juga tidak berkeberatan?” bertanya Glagah Putih. “Aku juga tidak berkeberatan,” jawab Sekar Mirah. Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, aku akan berbicara dengan Rara Wulan nanti.” “Katakanlah. Mudah-mudahan Kanthi tidak menjadi salah paham. Atau justru karena ia merasa rendah diri dan bersalah sehingga ia merasa tidak berhak untuk menerima uluran tangan itu,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa apa yang harus dilakukan oleh Rara Wulan bukan satu hal yang mudah. Justru karena persoalannya langsung menyentuh dasar hatinya yang paling dalam. Ketika kemudian sesudah makan pagi Agung Sedayu berangkat ke barak, maka Glagah Putih telah berbicara pula dengan Ki Jayaraga tentang maksud Wacana, dan pertimbangan Agung Sedayu serta Sekar Mirah. Tetapi Ki Jayaraga kemudian berkata, “Sebaiknya Rara Wulan menyampaikan pesan Wacana itu bersama Angger Sekar Mirah. Angger Sekar Mirah yang sudah lebih luas pengalaman hidupnya akan dapat memberikan beberapa pertimbangan, jika Kanthi menjadi salah paham terhadap niat baik Wacana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta kedua-duanya.” Demikianlah, di luar pengetahuan Kanthi, Glagah Putih telah berbicara dengan Rara Wulan dan Sekar Mirah. Ketika Glagah Putih menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan pun tidak terkejut lagi. Seperti Glagah Putih, iapun telah menduga bahwa pada suatu saat Wacana akan sampai pada sikapnya itu. Meskipun demikian, titik-titik air telah mengembun di pelupuk mata Rara Wulan. Dengan nada sendat ia berkata, “Aku berdoa dengan sungguh-sungguh, agar niat itu dapat terlaksana. Wacana dan Kanthi yang hatinya sama-sama pernah terluka itu, akan dapat saling mengisi untuk menemukan hari depan yang ceria.” Ternyata Sekar Mirah pun tidak berkeberatan pula. Keduanya telah sepakat untuk berbicara dengan Kanthi sesudah makan malam. Hari itu juga Glagah Putih telah berbicara dengan Wacana. Glagah Putih memberitahukan, bahwa Rara Wulan tidak berkeberatan untuk menyampaikan pesan Wacana. Bahkan bersama dengan Sekar Mirah. “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih,” desis Wacana. “Mudah-mudahan niat baikmu itu dapat berakhir dengan baik pula,” sahut Glagah Putih. Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku benar-benar berharap, agar aku tidak akan merasa kehilangan untuk kedua kalinya.” “Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan, Wacana,” desis Glagah Putih kemudian. Namun dengan demikian Glagah Putih pun menjadi cemas. Jika terjadi salah paham, maka hati kedua-duanya akan menjadi semakin terluka. Hari itu tiba-tiba saja menjadi hari yang gelisah bagi seisi rumah Agung Sedayu, kecuali Kanthi yang masih belum tahu apa yang sedang direncanakan oleh seisi rumah itu. Mereka dibayangi oleh berbagai kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin Kanthi akan merasa berbahagia. Tetapi mungkin justru terjadi salah paham. Tetapi baik Sekar Mirah, maupun Rara Wulan berusaha untuk tidak menampakkan kegelisahannya kepada Kanthi, yang sudah terbiasa membantu mereka di dapur. Menjelang matahari sepenggalah, Ki Jayaraga sudah siap untuk pergi ke sawah. Sambil menjinjing cangkul ia berkata kepada anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, “He, Sukra. Nanti jangan terlambat mengirim makan ke sawah.” Anak itu memandang Ki Jayaraga dengan kerut di kening. Dengan senyum kecil Ki Jayaraga berkata, “Bukankah kau sekarang bernama Sukra? Nama yang sangat baik bagimu.” Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku bernama Sukra. Aku senang pada nama itu.” “Yang penting, jangan terlambat,” berkata Ki Jayaraga kemudian. Demikian Ki Jayaraga pergi ke sawah, maka Wacana, yang agaknya juga menjadi gelisah, berkata kepada Glagah Putih, “Aku akan ikut Ki Jayaraga ke sawah.” Glagah Putih tersenyum. Ia melihat kegelisahan yang terbayang di wajah Wacana. “Baiklah,” berkata Glagah Putih, “sebentar lagi aku juga akan pergi menemui para pengawal di rumah Ki Gede.” Melihat Glagah Putih tersenyum, maka Wacana pun tersenyum pula meskipun agak tertahan. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Jangan gelisah Wacana. Seisi rumah ini akan berusaha membantu kalian berdua.” “Terima kasih,“ desis Wacana, yang segera menyusul Ki Jayaraga. Seperti Ki Jayaraga, Wacana pun membawa cangkul pula di pundaknya. Sementara itu, Glagah Putih pun telah bersiap pula untuk pergi ke rumah Ki Gede menemui para pemimpin pengawal Tanah Perdikan, yang merupakan bagian dari tugas-tugasnya di Tanah Perdikan. “Aku tidak terlalu lama Mbokayu,” berkata Glagah Putih ketika ia minta diri. Ketika Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, maka ia melihat di pendapa beberapa orang telah berkumpul. Ki Gede nampaknya sedang memimpin sebuah pertemuan para bebahu Tanah Perdikan, termasuk Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal. Ketika Ki Gede melihat Glagah Putih, maka iapun berkata, “Nah, kebetulan kau datang Ngger. Tadi pagi hampir saja Prastawa lupa akan datang memanggilmu ke rumah. Untunglah ia segera teringat dan membatalkannya. Tetapi kemudian ia terlupa untuk tidak menyuruh orang lain datang memanggilmu. Baru saja seorang pengawal aku perintahkan pergi ke rumahmu. Tetapi agaknya ia tentu bertemu dengan kau di jalan.” “O,” Glagah Putih mengangguk. Ia memang bertemu seorang pengawal di luar regol. Tetapi Glagah Putih tidak begitu menghiraukannya ketika pengawal itu berbalik dan berkata kepadanya, “Kebetulan, kau sudah datang.” Demikianlah, Glagah Putih pun telah ikut duduk pula bersama para bebahu dan pemimpin pengawal Tanah Perdikan. Bahkan Swandaru pun ada di antara mereka. “Kami sedang membicarakan perintah dari Mataram,” berkata Ki Gede. Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Mataram memerintahkan agar kita meningkatkan kewaspadaan. Nampaknya hubungan Mataram dan Pati menjadi semakin buram. Segala upaya telah ditempuh, namun belum ada tanda-tanda bahwa keadaan akan mereda. Kedua belah pihak berpegang kepada sikapnya masing-masing, karena masing-masing merasa berpijak kepada kebenaran.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Perintah serupa telah diterima pula oleh Agung Sedayu sebagai Lurah Prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun Swandaru pun kemudian berdesis, “Agaknya perintah seperti ini juga disampaikan kepada Panglima pasukan Mataram di Jati Anom, dan tentu juga kepada pasukan pengawal Sangkal Putung.” “Kakang Agung Sedayu juga sudah menerima perintah itu,” berkata Glagah Putih. “Jika demikian, nampaknya sulit untuk mempertemukan lagi kedua orang yang semula diharapkan dapat membina keutuhan wilayah Pajang. Bayangan perang agaknya telah benar-benar menghantui rakyat Mataram dan Pati,” desis Ki Gede. Tetapi Swandaru berkata, “Jika sudah tidak ada upaya lain yang dapat dilakukan, maka perang itu-lah yang akan menentukan.” “Perang selalu membawa akibat buruk kedua belah pihak,” desis Ki Gede. “Tetapi sebagai rakyat Mataram, maka kita tidak dapat berbuat lain. Apabila Panembahan Senapati memerintahkan, maka perang itu akan terjadi dengan segala macam akibatnya.” “Benar Ngger. Tetapi penglihatan wajar kita dapat mengatakan bahwa perang akan mengesampingkan peradaban yang sudah terbina berbilang abad.” Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Aku mengerti. Tetapi sikap ini akan dapat membuat rakyat Mataram dan bahkan para prajurit menjadi ragu-ragu. Sementara itu prajurit Pati dengan tekad yang tinggi siap bertempur melawan Mataram. Tekad bagi para prajurit mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam pertempuran. Prajurit yang ragu-ragu, bimbang dan memikirkan terlalu banyak pertimbangan, tidak akan mencapai hasil yang setinggi-tingginya. Akibatnya, justru senjata lawan akan menikam jantungnya sendiri.” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia dapat mengerti pula jalan pikiran Swandaru. “Baiklah,” berkata Ki Gede kemudian, “yang penting bagi kita sekarang adalah melaksanakan perintah Panembahan Senapati. Kita harus meningkatkan segala persiapan menghadapi segala kemungkinan. Meskipun tidak mengurangi tekad kita untuk melaksanakan perintah Panembahan, namun sudah tentu bahwa segala upaya untuk memecahkan persoalan tanpa mempergunakan kekerasan masih harus tetap dilaksanakan.” Swandaru tidak menjawab lagi. Tetapi di hadapan para pengawal Sangkal Putung, Swandaru tentu akan bersikap lain. Demikianlah, menghadapi perkembangan keadaan, Prastawa yang menunggu saat-saat pernikahannya itu telah mendapat perintah untuk mempersiapkan para pengawal Tanah Perdikan dalam kesiagaan tertinggi. Sedangkan Glagah Putih telah mendapat tugas untuk sejauh dapat dilakukan dalam kesempatan yang sempit, meningkatkan kemampuan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede pun memerintahkan kepada para bebahu untuk mempersiapkan persediaan kebutuhan yang mungkin harus disediakan Tanah Perdikan Menoreh untuk mendukung pertempuran yang mungkin terjadi. Persediaan bahan makanan, kelengkapan-kelengkapan lain yang diperlukan, termasuk mempersiapkan mereka yang memiliki kemampuan di bidang pengobatan. Setiap pemimpin kelompok harus memeriksa kelengkapan para pengawal. Terutama senjata mereka, apakah cukup memadai. Mereka tidak hanya akan sekedar menghadapi segerombolan penjahat, tetapi mereka akan menghadapi sepasukan prajurit Pati yang mempunyai kemampuan yang tinggi, apabila perang benar-benar pecah. Demikianlah, ketika pertemuan itu berakhir, serta setelah para bebahu dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan meninggalkan pendapa rumah Ki Gede, Prastawa dan Glagah Putih masih tinggal dan duduk bersama Ki Gede dan Swandaru. “Nah, kau harus cepat menyelesaikan persoalanmu sendiri, Prastawa,” berkata Swandaru sambil tersenyum. Tetapi Prastawa itu pun menjawab, “Tidak terlalu mendesak, Kakang. Jika perlu, persoalan pribadi itu akan dapat ditunda sampai keadaan menjadi tenang.” “Tidak. Jika keadaan menjadi semakin suram, kau justru harus mempercepat dari pernikahanmu itu. Apapun yang terjadi kemudian, tetapi segala-galanya sudah jelas.” Tetapi Prastawa tersenyum. Katanya, “Kami tidak tergesa-gesa Kakang.” “Mungkin kalian tidak tergesa-gesa. Tetapi semisal bisul, hendaknya sudah pecah, dan tidak lagi terasa menyengat-nyengat.” Prastawa justru tertawa. Ki Gede pun tertawa pula. Katanya, “Tetapi menurut perhitunganku, perang tidak akan segera pecah. Maksudku tidak dalam beberapa pekan ini. Tetapi tentu masih berbilang bulan.” Swandaru pun tersenyum pula. Katanya, “Mudah-mudahan kau tidak memilih hari pernikahanmu di saat perang sudah meletus, dan menyelenggarakan upacara pernikahan itu di medan dengan minta agar para prajurit Pati beristirahat selama upacara berlangsung.” Ki Gede dan Glagah Putih pun tertawa pula. Sementara Prastawa sendiri tertawa berkepanjangan. Namun yang kemudian ditanyakan oleh Ki Gede kepada Glagah Putih, langkah-langkah apa yang telah diambil oleh Agung Sedayu menanggapi perintah dari Mataram. “Agaknya Kakang Agung Sedayu sudah meningkatkan kesiagaan para prajuritnya. Menurut pendengaranku, ijin para prajurit yang ingin meninggalkan barak menengok keluarganya, semakin dibatasi.” Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita semuanya akan meningkatkan kesiagaan. Tetapi aku masih berharap bahwa persoalan Prastawa dapat diselesaikan lebih dahulu daripada perang.“ “Aku akan menepati rencanaku. Tetapi setelah sepekan aku tentu tidak akan dapat menundanya lagi. Namun setidak-tidaknya aku sudah tahu, kapan aku harus datang lagi kemari. Tentu dengan pertimbangan, jika keadaan masih memungkinkan,” sahut Swandaru. Prastawa mengangguk-angguk. Katanya, “Dalam dua tiga hari ini, keluarga Anggreni akan mengirimkan utusan mereka untuk memberitahukan beberapa kemungkinan yang dapat dipilih untuk menentukan hari-hari perkawinan.” Swandaru mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih pun berkata, “Kau akan berpacu dengan Kanthi. Kami seisi rumah juga berharap agar Kanthi pun segera mendapat jalan keluar.” Prastawa mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia berkata, “Semoga. Aku juga berdoa, agar Kanthi menemukan jalan keluar yang terbaik bagi dirinya.” Dengan demikian, maka sejak hari itu tugas Glagah Putih memang bertambah. Latihan-latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan telah ditingkatkan, disesuaikan dengan meningkatnya kesiagaan Mataram menghadapi Pati, yang nampaknya sulit untuk mendapatkan penyelesaian yang lebih lunak dari perang. Prastawa dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan telah menentukan waktu latihan bagi para pemimpin kelompok di setiap padukuhan. Sementara Glagah Putih berjanji, agar latihan-latihan itu berjalan lebih baik, untuk minta agar Agung Sedayu bersedia mengirimkan beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus, membantu memberikan latihan-latihan kepada para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok terpilih pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, di samping latihan-latihan yang akan diberikan oleh Glagah Putih serta para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu. Ketika Glagah Putih kemudian kembali dari rumah Ki Gede, maka yang tinggal di rumah hanyalah Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Ki Jayaraga dan Wacana ternyata masih berada di sawah, sementara anak yang kemudian dipanggil Sukra itu sedang pergi ke sawah pula untuk mengirim minuman dan makanan bagi Ki Jayaraga dan Wacana. Kepada Sekar Mirah, Rara Wulan dan Kanthi. Gilagah Putih menceritakan peningkatan kesiagaan sebagaimana dilakukan oleh Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. “Bagaimana jika Mbokayu juga diminta untuk memberikan latihan khusus bagi para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan, atau kelompok-kelompok khusus?” bertanya Glagah Putih. “Ah, bukankah kerjaku hanya di dapur?” sahut Sekar Mirah. “Tetapi Mbokayu pernah menjadi pelatih pula, justru di barak pasukan khusus itu,” berkata Glagah Putih kemudian. “Kita akan melihat keadaan, dan sudah tentu kita harus berbicara dengan Kakang Agung Sedayu. Aku kira, jika Kakang Agung Sedayu dapat mengirim empat atau lima orang prajurit pilihan, jumlah pelatih itu sudah akan mencukupi. Dengan latihan-latihan yang tertib dan teratur, maka kemampuan para pemimpin kelompok dan kelompok-kelompok khusus pengawal itu akan meningkat.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak menjawab lagi, namun menurut pendapat Glagah Putih, dalam keadaan yang mendesak diperlukan pelatih yang baik sebanyak-banyaknya, untuk meningkatkan latihan-latihan yang sudah diadakan sebelumnya, yang dianggap kurang memadai untuk menghadapi suasana yang menjadi semakin panas. Ketika kemudian Ki Jayaraga dan Wacana kembali dari sawah, Glagah Putih telah menceritakan pula pertemuan di rumah Ki Gede, serta usaha meningkatkan kesiagaan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Ki Jayaraga berkata, “Banyak orang berilmu tinggi yang nampaknya mendukung atau bahkan memanfaatkan sikap Kanjeng Adipati Pati dengan pamrih pribadi. Itulah yang justru lebih berbahaya dari sikap Kanjeng Adipati sendiri.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga pun berkata, “Aku kira Angger Swandaru, maksudku Sangkal Putung, juga menerima perintah yang sama. Demikian pula Angger Untara sebagai Panglima pasukan Mataram di Jati Anom.” “Agaknya memang demikian,” sahut Glagah Putih, “Kakang Swandaru juga berpendapat demikian. Sebenarnya Kakang Swandaru juga ingin segera kembali ke Sangkal Putung. Tetapi nampaknya Mbokayu Pandan Wangi masih ingin tinggal untuk tiga empat hari lagi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Semua orang yang dianggap mampu memberikan latihan-latihan keprajuritan atau latihan-latihan olah kanuragan, akan dimohon untuk membantu.” Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tentu masih banyak tenaga-tenaga muda yang dapat melakukannya. Tetapi jika perlu, maka empat atau lima orang pemimpin kelompok dapat datang ke rumah ini di sore hari, untuk sekedar bermain-main.” Glagah Putih pun tersenyum pula. Katanya, “Itu sudah cukup. Semakin banyak orang yang memberikan latihan, maka semakin luas-lah wawasan dan pengalaman para pemimpin kelompok itu. Tetapi seandainya para pemimpin kelompok itu berlatih pada orang-orang tertentu, maka berbagai macam kemampuan dasar para pemimpin kelompok itu akan memberikan warna yang lain bagi para pengawal Tanah Perdikan.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Warna yang berbeda-beda itu memang dapat membuat lawan mereka bertanya-tanya, karena bagi para prajurit, terutama yang tidak bersumber dari anak-anak padepokan, memiliki kesatuan sifat dan watak kemampuan dasar mereka, karena mereka mendapat tempaan dengan garis kemampuan dasar yang sama.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun menurut perhitungannya, di Tanah Perdikan itu terdapat cukup banyak orang yang berkemampuan untuk memberikan latihan-latihan dasar pada tataran yang lebih tinggi kepada para pemimpin kelompok. Demikianlah, hal yang sama telah diberitahukannya pula ketika Agung Sedayu kembali dari barak. Dengan nada dalam Agung Sedayu berkata, “Tentu semua pihak yang dianggap berkepentingan sudah mendapat perintah yang sama pula.” “Apakah perang itu benar-benar akan meletus?” bertanya Glagah Putih. “Agaknya memang sulit dihindarkan. Tetapi masih juga usaha-usaha dari kedua belah pihak untuk menemukan jalan keluar tanpa peperangan,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi kalau masing-masing tetap berdiri tegak pada pendiriannya, maka jarak di antara keduanya tentu tidak akan dapat dipertautkan. Apalagi masing-masing merasa berdiri di atas kebenaran,” desis Glagah Putih. “Peristiwa itu akan dapat memperkaya pengertian kita tentang satu keyakinan terhadap kebenaran, serta kebenaran itu sendiri,” berkata Agung Sedayu kemudian. Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia merenungi kata-kata Agung Sedayu itu. Tentang sudut pandang atas kebenaran. Namun kemudian Glagah Putih telah menggeser pembicaraannya. Hampir bergumam Glagah Putih berkata, “Nanti malam, Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan akan berbicara dengan Kanthi.” “Keduanya memang harus segera dipertautkan. Aku yakin bahwa perasaan yang sama telah tumbuh pada keduanya,” desis Agung Sedayu. Seperti yang direncanakan, ketika malam turun, setelah mereka makan malam, maka Sekar Mirah dah Rara Wulan masih duduk di ruang dalam bersama Kanthi. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk di pendapa, sedangkan Glagah Putih dan Wacana berada di serambi gandok. Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak langsung menyampaikan pesan Wacana kepada Kanthi. Tetapi mereka berbicara tentang banyak hal yang menyangkut perkembangan keadaan yang menjadi semakin hangat. Sebagai istri prajurit, maka kemungkinan perang itu juga membayangi ketenangan Sekar Mirah. Tetapi karena Sekar Mirah sendiri memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, maka agaknya ia dapat sedikit meredam kegelisahannya itu. Namun akhirnya Sekar Mirah mulai mengarahkan pembicaraan mereka kepada persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Dengan hati-hati Sekar Mirah kemudian berkata, “Kanthi. Sebenarnya ada hal yang penting yang ingin disampaikan oleh Rara Wulan kepadamu. Sejak semula Rara Wulan selalu berusaha untuk menolongmu, melindungimu, dan bahkan kemudian berusaha untuk dapat membantu mencarikan jalan keluar bagimu.” Kanthi mengerutkan keningnya. Ia belum tahu maksud Sekar Mirah. Namun sebenarnya Kanthi tidak ingin berbicara tentang keadaannya. Ia ingin melupakannya. Setelah ia berada di rumah Sekar Mirah itu beberapa lama, ia merasakan bahwa hatinya mulai menjadi tenang. Meskipun demikian, ia tidak dapat ingkar, bahwa di saat-saat ia teringat akan kandungannya, maka kegelisahan itu rasa-rasanya telah mengguncang perasaannya lagi. Namun kehadiran Rara Wulan dan Sekar Mirah di dekatnya, rasa-rasanya dapat membuat hatinya tentang kembali. Namun tiba-tiba kini ia dihadapkan pada satu pembicaraan tentang dirinya itu. Kanthi memang menjadi gelisah. Ada beberapa hal yang membayang di angan-angannya. Kanthi memang merasa bahwa kehadirannya dapat menjadi beban bagi keluarga Agung Sedayu. Dengan demikian, setelah beberapa saat ini tinggal di rumah itu serta gejolak jiwanya mulai mereda, maka mungkin sekali Sekar Mirah akan mengirimkannya pula kembali ke Kleringan. Rara Wulan yang melihat kegelisahan di wajah Kanthi itu pun ke mudian berkata, “Kanthi. Aku melihat bahwa setelah aku berada di rumah ini beberapa saat, hatimu mulai menjadi tenang. Tetapi sudah tentu hal ini belum merupakan penyelesaian yang tuntas bagimu. Aku masih sering melihat kau merenung. Dan akupun mengerti, apa yang sedang kau pikirkan.” Kanthi menjadi semakin gelisah. Wajahnya menunduk dalam-dalam. Tetapi tidak sepatah kata pun keluar dari mulutnya. “Kanthi,” berkata Rara Wulan Kemudian, “aku minta maaf bahwa aku terlalu dalam mencampuri persoalan pribadimu. Tetapi hal itu aku lakukan, karena aku ingin membantumu memecahkan kesulitanmu sampai tuntas.” Kanthi masih tetap berdiam diri. Meskipun sekali-sekali ia mengangkat wajahnya memandang sepasang mata Rara Wulan yang redup, namun kemudian iapun segera menunduk kembali. Titik-titik air bahkan mulai menetes dari sepasang matanya yang basah. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan nada lembut, “bukankah seumur kita ini, menurut gelar lahiriah, masih akan menempuh jalan yang panjang?” Kanthi masih belum tahu arah pembicaraan Ran Wulan, tetapi ia mengangguk kecil. “Karena itu, Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “kita tidak boleh terpancang pada keadaan kita sekarang ini.” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. “Sebaiknya kau lupakan keadaanmu Kanthi. Kau lihat kedalaman perasaanmu. Perasaanmu sebagai seorang perempuan dalam hubungannya dengan seorang laki-laki, sesuai dengan kewajaran tingkah laku kita dalam kehidupan ini.” Kanthi mengerutkan dahinya. Sejenak ia mengangkat wajahnya. Dipandanginya Rara Wulan dan Sekar Mirah sekilas tanpa mengucapkan sepatah katapun. Rara Wulan memang menjadi berdebar-debar. Namun didorongnya lidahnya untuk berkata, “Kanthi. Aku membawa pesan bagimu. Kau telah mendapat lamaran dari seseorang.” Kanthi terkejut. Ketika ia mengangkat wajah sekali lagi, maka wajah itu nampak kemerah-merahan. Sejenak Kanthi justru bagaikan membeku. “Kanthi,” Sekar Mirah pun berdesis dengan nada dalam, “aku harap kau menanggapinya dengan hati yang bening. Kau timbang dengan saksama dan kau tinjau dari segala sisi.” Kanthi tidak segera menyahut. Namun tiba-tiba terdengar Kanthi itu terisak. “Kenapa kau menangis Kanthi?” bertanya Rara Wulan yang matanya juga mulai menjadi basah. “Rara,” desis Kanthi disela-sela isaknya, “kau tahu tentang keadaanku. Kau tahu apa yang telah terjadi atasku. Jika ada seseorang yang melamarku, bukankah itu hanya satu bayangan mimpi yang akan segera lenyap jika aku mulai terbangun? Atau justru sebuah ejekan yang sangat menyakitkan hati di saat luka di dalam dadaku mulai sembuh, atau sebuah lelucon yang kasar tanpa menghiraukan bahwa akibatnya akan sangat parah bagiku?” “Tidak. Tidak Kanthi,“ Rara Wulan mulai memeluk Kanthi yang isaknya semakin mengeras, “kau percaya kepadaku bukan?” Kanthi mengangguk kecil. “Jika kau pereaya kepadaku, Kanthi, dengarlah kata-kataku,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk pula. “Kanthi,” berkata Rara Wulan dengan sangat berhati-hati, “apakah kau tidak merasa bahwa selama ini, seseorang sangat memperhatikanmu? Seseorang yang menganggap bahwa kau adalah seorang perempuan yang akan dapat mengisi kekosongan hatinya.” “Tetapi setelah orang itu mengetahui keadaanku, maka ia akan menganggap bahwa aku adalah sampah yang tidak pantas untuk dijamah,” desis Kanthi sambil terisak. “Tidak, Kanthi,” jawab Rara Wulan, “orang itu tahu pasti, siapakah kau dan apa yang sedang kau sandang.” “Tentu hanya didasari oleh perasaan belas kasihan. Rara, aku memang pantas untuk dikasihani. Tetapi aku tidak menginginkannya sama sekali,” jawab Kanthi. “Bukan Kanthi, bukan karena belas kasihan. Tetapi ia memang berharap bahwa kau akan dapat menjadi seorang yang akan bersama-sama membina sebuah keluarga,” berkata Rara Wulan. “Tidak. Itu tidak benar. Mungkin ia mengasihaniku. Tetapi mungkin ia justru ingin memanfaatkan keadaanku, sehingga pada suatu saat kelak akan dapat selalu menjadi landasan mengungkit keadaanku dalam setiap kesempatan, agar ia dapat memaksakan kehendaknya kepadaku.” “Kanthi,” berkata Sekar Mirah dengan suara yang sareh, “kau jangan terlalu curiga kepada semua orang. Mungkin hal semacam itu dapat dilakukan oleh orang-orang sejenis Wiradadi. Tetapi menurut pendapatku, tidak bagi orang yang melamarmu. Ia memang bukan seorang yang mempunyai banyak kelebihan dari orang lain. Ia dapat khilaf. Dapat kecewa, marah dan perasaan-perasaan lain sebagaimana kita. Ia bukannya orang yang tidak mempunyai cacat. Tetapi sikapnya terhadapmu Kanthi, aku tahu dan yakin, bahwa ia menyatakannya dengan tulus hati.” “Bagaimana aku dapat meyakininya Mbokayu? Aku adalah orang yang tidak berharga sama sekali. Dalam kewajaran, semua orang akan memalingkan wajahnya jika melihat aku. Jika ada orang yang berniat melamarku, itu justru tentu ada niat-niat yang tersembunyi di dalam hatinya.” “Kanthi,“ Rara Wulan yang juga mulai terisak, “apa kau juga tidak percaya bahwa sikapku terhadapmu, sikap Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Agung Sedayu, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga, sebagai sikap yang wajar?” “Aku percaya Rara. Aku percaya, “jawab Kanthi dengan serta merta. “Nah, Kanthi. Bagaimana perasaanmu terhadap Wacana?” bertanya Rara Wulan kemudian. Jantung Kanthi berdesir. Ia mempunyai penilaian tersendiri terhadap anak muda itu. Anak muda yang sikapnya menunjukkan kedewasaannya berpikir dan berbuat. Ketika nama itu disebut, Kanthi menundukkan kepalanya. Isaknya masih saja mengguncang tubuhnya, sementara Rara Wulan memeluknya semakin erat. “Kanthi,” desis Rara Wulan, “Wacana minta kepada Kakang Glagah Putih agar aku bersedia menyampaikan perasaannya itu kepadamu. Jika kau tidak berkeberatan, tentu Wacana akan datang menemui orang tuamu.” “Tidak,“ suara Kanthi bagaikan meledak di sela-sela isaknya, “ia akan tersiksa di sepanjang hidupnya. Ia orang yang baik. Karena itu, aku tidak pantas menyakiti hatinya untuk waktu yang panjang tanpa batas.” “Tidak Kanthi,” jawab Rara Wulan, “ia sudah mengetahui keadaanmu seluruhnya.” Kanthi justru menangis. Pada dasar hatinya yang paling dalam, ia merasa bahagia mendengar pengakuan Wacana itu. Bahkan Kanthi justru sangat mengharapkannya. Tetapi di sisi yang lain, ia merasa tidak berhak lagi menanggapi perasaan Wacana itu, karena ia sudah ternoda. Bahkan Kanthi merasa dirinya tidak lebih dari sampah yang tidak berharga. Namun Sekar Mirah pun berkata, “Kanthi. Aku mengerti perasaanmu. Rara Wulan juga mengerti sepenuhnya. Bahkan Wacana pun mengerti pula. Itulah sebabnya, ia minta tolong kepada Rara Wulan untuk menyampaikannya kepadamu, karena kau percaya kepada Rara Wulan.” Sekar Mirah berhenti sejenak. Sementara itu isak Kanthi menjadi semakin keras. Baru sejenak kemudian ia berkata, “Kepada Glagah Putih, Wacana telah mengatakannya, bahwa ia akan menerimamu seutuhnya. Justru karena ia tahu akan keadaanmu, maka ia tidak akan merasa kecewa, apalagi tersiksa di kemudian hari. Ia tahu bahwa kau akan melahirkan pada saatnya. Tetapi Wacana berjanji akan menganggap anak itu sebagai anaknya sendiri.” “Sekarang ia dapat berkata seperti itu, Mbokayu. Tetapi apakah ia dapat berkata demikian pula nanti, jika seorang bayi yang bukan anaknya itu lahir?” “Tentu,” jawab Sekar Mirah, “Wacana sudah lama berada di sini. Ia bukan seorang yang palsu dan berpura-pura. Namun yang barangkali perlu kau ketahui, ia tidak ingin kehilangan untuk yang kedua kalinya.” Sejenak Kanthi mengangkat wajahnya. Dengan suara sendat ia berkata, “Maksud Mbokayu?” “Wacana juga pernah mengalami kekecewaan yang hampir saja membuatnya gila. Bahkan ia seakan-akan dengan sengaja membunuh dirinya dalam sebuah perang tanding. Tetapi ia ternyata tetap hidup. Lawannya memang bukan seorang pembunuh.” “Apakah ia pernah ditinggalkan oleh seorang gadis yang kemudian memilih laki-laki lain?” bertanya Kanthi. “Gadis itu tidak pernah merasa meninggalkannya. Gadis itu sama sekali tidak mengetahui bahwa Wacana mencintainya. Ketika ia menjatuhkan pilihannya, maka Wacana kehilangan keseimbangannya, sehingga ia telah mengambil langkah yang tidak sewajarnya.“ Kanthi menunduk lagi. Ia merenung dalam-dalam. Merenungi dirinya sendiri, dan ia mencoba membayangkan apa yang telah terjadi dengan Wacana. “Kanthi,” berkata Rara Wulan kemudian, “menurut Wacana, ia menemukan yang hilang itu ketika kau datang ke rumah ini. Yang hilang itu diketemukannya pada dirimu. Apa yang terjadi atasmu, dapat dimengertinya, karena Wacana juga pemah menjadi kehilangan akal. Tetapi karena ia seorang laki-laki, maka ia tidak akan dapat mengalami sebagaimana kau alami.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi ia mulai merenung. “Kanthi,” berkata Sekar Mirah, “sebagaimana kau tidak ingin dikasihani, maka Wacana pun juga tidak ingin dikasihani. Yang dimintanya adalah hubungan yang wajar antara seorang laki-laki dan seorang perempuan, dengan segala yang ada di dalam dirinya. Keduanya hendaknya dapat menerima dengan ikhlas, dengan harapan di masa datang yang cerah. Bagi Wacana dan kau Kanthi, yang terpenting adalah hari depan kalian. Kalian tidak boleh selalu digayuti beban persoalan-persoalan di masa yang telah lewat.” Kanthi masih belum menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa tangisnya justru mereda. “Kanthi,” berkata Rara Wulan, “jika kau tidak dapat menjawab hari ini, maka aku akan minta Wacana menunggu satu dua hari ini. Tetapi kau tahu bahwa menunggu adalah satu kerja yang sangat menggelisahkan. Meskipun demkian, aku yakin bahwa Wacana akan bersedia menunggu satu dua hari lagi.” Yang tidak diduga oleh Rara Wulan dan Sekar Mirah adalah bahwa Kanthi itu justru telah menangis. Tetapi tangisnya tidak tertahan-tahan lagi. Ia menangis seakan-akan menuangkan segenap beban di jantungnya. Rara Wulan yang memeluknya merasa bahwa tangisnya berbeda dengan tangis Kanthi sebelumnya. Meskipun demikian Rara Wulan berusaha untuk menenangkannya, meskipun matanya sendiri juga menjadi basah. “Sudahlah Kanthi. Beristirahatlah. Kau sempat memikirkannya. Kau dapat berpikir dengan bening. Melihat bukan hanya ke masa lalu, tetapi justru ke masa depan yang masih panjang. Mudah-mudahan kau mendapat terang di hatimu dari Yang Maha Agung,” berkata Rara Wulan kemudian. Kanthi mengangguk. Bukan karena terpaksa. Tetapi nampaknya Kanthi telah menemukan jawaban di dalam dirinya, meskipun masih sempat membuatnya ragu. “Besok sore aku ingin mendengar jawabanmu. Dengan demikian Wacana tidak akan terlalu lama menunggu. Hatinya tentu masih saja dibayangi oleh saat-saat yang pahit, ketika ia sadar bahwa ia telah kehilangan.” Kanthi mengangguk. Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Meskipun Kanthi belum menjawab, tetapi Rara Wulan dan Sekar Mirah dapat berpengharapan bahwa permintaan Wacana itu akan diterima oleh Kanthi. Meskipun keduanya sadar, bahwa hati Kanthi masih belum benar-benar mapan sehingga setiap saat masih dapat berubah. Bahkan mungkin perubahan itu sangat mengejutkan. Tetapi keduanya berharap, bahwa hati Kanthi sudah tidak terguncang-guncang lagi. Malam itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan memang tidak memaksa Kanthi untuk memberikan jawaban, meskipun mereka tahu bahwa Wacana tentu menunggu. Bahkan Rara Wulan pun kemudian berkata, “Baiklah Kanthi. marilah kita beristirahat. Mungkin setelah kau tidur, besok kau menemukan jawab yang paling baik atas pernyataan Wacana itu. Tentu saja bahwa kami semuanya, maksudku Kakang Agung Sedayu, Mbokayu Sekar Mirah, Kakang Glagah Putih, Ki Jayaraga dan aku sendiri berharap, agar Wacana tidak menjadi kecewa karenanya.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi tangisnya telah mereda. Bahkan isaknya tinggal satu-satu. Namun sekali-sekali Kanthi masih mengusap matanya yang basah dengan lengan bajunya. Demikianlah, sejenak kemudian Kanthi pun telah berada di dalam bilik bersama Rara Wulan. Ketika mereka kemudian berbaring, maka Kanthi tiba-tiba saja bertanya di luar sadarnya, “Rara, bagaimana anggapanmu tentang kejujuran Wacana?” Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku percaya kepadanya, Kanthi. Ia sendiri pernah mengalami sebagaimana kau alami. Karena itu ia tentu dapat merasakan, sebagaimana kau rasakan. Dalam keadaan yang demikian, ia tentu tidak akan memikirkan untuk memanfaatkan keadaanmu, atau sikap-sikap licik yang lain.” Kanthi tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan merasakan bahwa perasaan Kanthi menjadi lebih tenang. Nafasnya mulai teratur dan tubuhnya yang terbaring diam terasa bahwa Kanthi benar-benar telah menjadi tenang. Rara Wulan hanya dapat berdoa di dalam hati, mudah-mudahan niat baik Wacana itu dapat diterimanya. Sementara itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk di pendapa. Sementara Glagah Putih dan Wacana sudah tidak ada lagi di serambi gandok. Ternyata mereka telah berada di dalam sanggar. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu, yang kemudian disebut Sukra, telah berada di dalam sanggar pula. Bersama Glagah Putih ia berlatih dasar-dasar ilmu bela diri. Setiap kali ia mengulangi unsur-unsur gerak yang telah dipelajarinya. Namun kemudian sedikit demi sedikit Glagah Putih telah menambah unsur yang baru pula. Wacana yang sedikit demi sedikit sudah mulai berlatih pula, malam itu hanya menunggui dan melihat bagaimana Sukra meningkatkan kemampuannya setapak demi setapak. Namun ternyata anak itu telah berlatih dengan sungguh-sungguh. Bahkan rasa-rasanya tidak mengenal lelah. Meskipun ia telah pernah dibuat jera oleh Glagah Putih, namun kadang-kadang ia masih tampak kecewa jika latihan diakhiri, meskipun ia tidak lagi berani membantah. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih merasa puas pula melihat perkembangan kemampuan Sukra. Namun Glagah Putih juga merasa bertanggung jawab atas tingkah laku Sukra selanjutnya, setelah ia merasa memiliki dasar-dasar kemampuan bela diri. “Anak itu tidak boleh kehilangan kekang diri,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Karena itu, setiap kali Sukra akan berlatih, maka Glagah Putih selalu memberinya beberapa petunjuk agar Sukra menjadi orang yang berguna bagi sesamanya. Bukan sebaliknya. Lebih dari itu, Sukra sama sekali tidak boleh melupakan Sumber Hidupnya. Dengan berpegangan pada Sumber Hidupnya, maka seseorang akan selalu mawas diri dalam segala tingkah lakunya. Malam itu, Glagah Putih mengakhiri latihannya menjelang tengah malam. Tubuh anak itu seluruhnya telah basah oleh keringat. Dadanya yang terbuka nampak menjadi basah kuyup, seolah-olah Sukra baru saja berendam di dalam belumbang. Wacana yang menyaksikan latihan itu, sejenak telah melupakan persoalan dirinya sendiri. Ia juga merasa kagum terhadap Sukra yang masih sangat muda itu. Tetapi kemauannya agaknya telah membakar gairahnya untuk segera menguasai dasar-dasar kemampuan bela diri. Namun, meskipun gairahnya untuk berlatih tidak menyusut, tetapi tujuannya menguasai dasar-dasar kemampuan ilmu bela diri perlahan-lahan telah bergeser. Karena pengaruh petunjuk dan nasehat-nasehat Glagah Putih yang terus menerus diberikan setiap Sukra akan berlatih, telah membuat Sukra semakin mengerti arti dari kemampuan yang sedikit demi sedikit telah dimilikinya. Dengan demikian, maka sikap Sukra kepada kawan-kawannya sedikit berubah. Sukra menjadi lebih sabar dan penalarannya pun menjadi semakin terang. Malam itu, setelah berlatih serta setelah membersihkan dirinya di pakiwan, rasa-rasanya Sukra masih juga ingin melihat pliridannya yang telah dibuka sejak menjelang senja. Sementara Glagah Putih dan Wacana telah pergi ke serambi gandok, maka Sukra justru mengemasi alat-alatnya untuk dibawa ke sungai. Wacana dan Glagah Putih tidak terlalu lama duduk di serambi. Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke pakiwan pula untuk membenahi dirinya. Ketika tubuhnya terasa menjadi segar, maka iapun telah pergi ke biliknya pula. Wacana memang tidak segera dapat tidur. Ia harus menanti jawaban Kanthi. Namun Wacana pun sadar, bahwa bagaimanapun juga, agaknya Kanthi memerlukan waktu untuk berpikir. Dalam pada itu, ketika Sukra turun ke sungai, ia terkejut melihat beberapa orang anak berkerumun di tepian. Demikian Sukra turun, maka serentak anak-anak itu segera menyesuaikan diri dengan memanggilnya Sukra pula. Sukra yang tertegun itu pun kemudian bertanya, “Kenapa kalian berkumpul di sini? Bukankah ini bukan waktunya? Saat menutup pliridan yang pertama sudah lewat, sementara masih ada beberapa waktu lagi untuk menutup pliridan yang kedua.” “Baru saja aku akan pergi memanggilmu,” berkata seorang anak yang bertubuh gemuk. “Apa yang terjadi?” bertanya Sukra. “Anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng,” jawab anak itu. “Kenapa?” bertanya Sukra. “Mereka telah datang mengganggu kami. Mereka lewat menelusuri sungai ini, berusaha merusak beberapa pliridan tanpa sebab.” “Kenapa tiba-tiba mereka menjadi liar seperti itu?” bertanya Sukra. “Kami tidak tahu. Ketika mereka lewat, hanya ada dua orang kawan kita yang sedang bersip-siap menutup pliridannya.” “Siapa?” bertanya Sukra. “Aku dan Beja,” jawab seorang anak yang kekurus-kurusan. Sementara itu anak yang rambutnya dicukur gundul dan bernama Beja menyahut, “Mereka memukuli aku dan Siwar.” “Sekarang mereka pergi kemana?” bertanya Sukra. “Mereka justru pergi ke arah selatan,” jawab Siwar. “Bukankah Wadas Ireng terletak di sebelah utara Tanah Perdikan ini?” “Ya.” jawab Beja, “tetapi mereka pergi ke selatan. Karena itu, kami kumpulkan kawan-kawan. Mungkin mereka akan kembali lagi menyusuri sungai ini.” “Tetapi tidak terbiasa mereka berbuat seperti itu. Bukankah kita kenal beberapa orang anak dari Wadas Ireng?” desis Sukra. “Ya. Tetapi agaknya anak-anak Wadas Ireng ada yang baru dan ada yang tidak baik, seperti anak-anak Tanah Perdikan ini pula,” sahut anak yang agak gemuk itu. “Tetapi bukankah mereka atau orang tua mereka pernah mendengar tentang Tanah Perdikan ini?” bertanya Sukra. “Ya. Anak-anak itu justru menantang. Mereka mengatakan agar kita melaporkan kepada orang-orang tua kami yang katanya berilmu tinggi,” berkata Siwar. “Ini tentu tidak biasa,” berkata Sukra, “tentu ada sesuatu yang telah terjadi di Kademangan Wadas Ireng.” “Maksudmu?” bertanya anak yang agak gemuk itu. “Seperti yang terjadi di Kademangan Kleringan. Sekelompok anak muda telah terjerumus ke dalam kebiasaan minum tuak. Mereka menjadi mabuk di kedai-kedai yang menyediakan tuak dan bahkan di jalan-jalan. Mereka mengganggu orang-orang lewat, dan bahkan sama sekali tidak terkendali. Aku mendengar dari Glagah Putih, yang meskipun tidak langsung berbicara kepadaku.” “Apakah anak-anak Wadas Ireng juga mulai minum tuak?” bertanya Beja, “Mereka masih anak-anak seperti kita.” “Kalau mereka masih kanak-kanak seperti kita sudah mulai bergerombol-gerombol dan bertindak tidak wajar, apa jadinya nanti jika mereka sudah menjadi lebih besar?” desis Siwar. “Karena itu, tentu sesuatu sudah terjadi,” berkata Sukra sambil mengangguk-angguk. Gayanya menirukan gaya orang-orang dewasa yang sedang membicarakan satu persoalan bersungguh-sungguh. “Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang?” bertanya anak yang agak gemuk. “Kita tunggu sejenak, jika mereka lewat kita tidak usah mengganggunya. Kecuali jika mereka mengganggu kita.” Kawan-kawan Sukra mengangguk-angguk. Namun ketika Sukra mengatakan bahwa ia akan menutup pliridannya, maka Siwar itu pun berkata, “Pliridanmu dibuka tidak saja bagian atasnya, tetapi juga bagian bawahnya.” “Jadi mereka juga merusak pliridanku?” bertanya Sukra. “Ya. Semua pliridan telah dibuka,” jawab Siwar. Sukra memang menjadi marah. Tetapi perasaannya justru sudah mulai terkendali. Ia tidak segera menghentak sambil mengepalkan tinjunya. Namun Sukra hanya berkata dengan nada geram, “Kita akan menunggu mereka. Tetapi ingat, kita tidak akan mulai.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Meskipun Sukra bukan anak yang terbesar di antara mereka, tetapi tiba-tiba saja Sukra dengan diam-diam telah mereka anggap sebagai pemimpin mereka. Sementara sambil menunggu, maka anak-anak itu telah memperbaiki pliridan yang telah rusak. Pliridan Sukra, pliridan Beja dan Siwar dan satu pliridan lagi milik anak yang agak gemuk itu. Ketiga pliridan itu berjarak masing-masing beberapa puluh langkah, sehingga anak-anak itu pun kemudian telah tersebar. Sedangkan berjarak beberapa puluh langkah ke arah udik, terdapat pula pliridan. Tetapi karena tempatnya yang agak jauh, maka mereka tidak melihat apakah pliridan itu juga dirusak. Sebenarnyalah sekelompok anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng telah berjalan menelusuri sungai itu. Mereka adalah anak-anak yang meningkat remaja. Seorang di antara mereka yang berpengaruh, ternyata telah berbuat hal-hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh anak-anak remaja. Pergaulannya dengan anak-anak muda yang lebih besar daripadanya, telah membuatnya melangkah lebih jauh dari umurnya. Remaja itu telah mengenal minuman yang disebut tuak. Bahkan tingkah laku yang kurang pantas dan sikap yang tidak terpuji. Orang-orang tua di Kademangan Wadas Ireng telah dibuat pening oleh tingkah laku beberapa orang anak muda. Mereka bahkan dibayangi oleh pertanyaan, kenapa tingkah laku yang tidak wajar itu menghinggapi anak-anak muda di beberapa Kademangan, hampir merupakan satu ledakan yang bersamaan? Bahkan kemudian anak-anak remaja pun telah dihinggapi pula cacat yang menular dari tataran usia yang lebih tua. Malam itu, anak-anak Wadas Ireng dipimpin oleh seorang remaja, yang mulai terpengaruh oleh kebiasaan buruk sekelompok kecil anak-anak muda di Kademangan Wadas Ireng, telah menelusuri sungai yang melewati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya anak-anak itu belum mampu membuat penilaian tentang Tanah Perdikan Menoreh. Mereka hanya sekedar menuruti kesenangan mereka dan gejolak jiwa petualangan yang tidak terarah. Seperti yang diduga anak-anak Tanah Perdikan Menoreh, maka anak-anak dari Wadas Ireng itu benar-benar kembali lewat sungai itu pula. Bahkan mereka masih saja bertingkah laku tidak sewajarnya. Mereka melemparkan batu-batu sebesar telur ayam, dan bahkan mereka berbicara yang satu dengan yang lain dengan keras, tanpa menghiraukan suasana malam di sebelah-menyebelah sungai itu. Ketika anak-anak Tanah Perdikan mendengar sekelompok anak-anak Wadas Ireng itu kembali, maka mereka pun segera berkumpul. Anak-anak Tanah Perdikan itu pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Beja dan Siwar yang telah mengalami perlakuan buruk, telah bersiap untuk membalas. “Kau tidak boleh mendendam,” desis Sukra. “He?” Beja dan Siwar heran mendengar kata-kata itu, “Maksudmu?” “Jika mereka nanti tidak berbuat apa-apa, kita juga tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika mereka mendahului mengganggu kita, kita akan mempertahankan diri.” Beja dan Siwar mengerutkan dahinya. Sementara Beja berkata, “Ketika mereka lewat, kami hanya berdua saja. Mereka telah memukul kami. Kepalaku yang gundul telah ditamparnya.” “Kita harus berjiwa besar,” Sukra menirukan nasehat Glagah Putih, “tetapi seperti yang aku katakan, jika mereka mendahului, maka kita akan mempertahankan diri. Kita tidak mau dipukuli apapun alasannya.” “Jika mereka tidak memukul kita lagi?” bertanya Siwar. “Biarlah mereka lewat,” jawab Sukra. “Tetapi mereka sudah memukuli aku dan Beja,” desak Siwar. “Lupakan itu. Bukankah kita orang baik yang berjiwa besar?” jawab Sukra. Anak-anak Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berdesis, “Ya. Kita orang baik dan berjiwa besar.” Demikianlah, sejenak kemudian, dalam keremangan malam mereka melihat sekelompok anak-anak yang menyusuri sungai. Mereka sudah mendengar gemercik air yang didera oleh kaki-kaki kecil. Sekali-sekali mereka mendengar gemerasak pohon-pohon perdu yang terkena lemparan bebatuan di tepi sungai itu. Bahkan suara tertawa riang, dan kemudian percakapan yang simpang siur. Anak-anak Tanah Perdikan berdiri berjajar di tepian. Nampaknya mereka tidak ingin melanggar pesan Sukra, agar mereka menjadi anak yang baik dan berjiwa besar. Ternyata anak-anak Wadas Ireng itu menyadari, bahwa di hadapan mereka berdiri sekelompok anak-anak Tanah Perdikan, yang rata-rata sebaya dengan mereka dan jumlahnya pun tidak terpaut banyak. Tiba-tiba seorang yang paling berpengaruh di antara mereka tertawa. Katanya, “Bagus. Kita akan mendapat kawan bermain.” Anak-anak itu memang menjadi gembira. Berlari-lari mereka mendekati anak-anak Tanah Perdikan yang sudah bersiap. Untuk beberapa saat mereka berdiri dalam dua kelompok yang saling berhadapan. Tetapi untuk beberapa saat, keduanya masih saling berdiam diri. Namun kemudian anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu bertanya, “He, apakah kalian sengaja mencegat kami?” Yang menjawab adalah Sukra, “Tidak.” “Kenapa kalian berkumpul di sini?” bertanya anak itu. “Kami ingin melindungi kawan-kawan kami dari kenakalan anak-anak dari padukuhan yang lain. Kami tidak mau ada kawan-kawan kami yang menjadi sasaran pemukulan,” jawab Sukra. Anak itu tertawa. Katanya, “Kami sudah memukuli dua anak di sini tadi. Seorang di antaranya anak gundul.” “Sekarang tidak lagi,” jawab Sukra, “tidak ada yang boleh dipukuli.” “Menarik sekali memukuli anak yang kepala gundul. He, berikan anak itu. Aku ingin memukulinya lagi.” “Itu namanya menantang,” jawab Sukra, “kau memang mencari persoalan.” “Kepala gundul itu menyenangkan,” jawab anak itu. “Kami sebenarnya tidak ingin berkelahi. Kami berusaha melupakan bahwa kau sudah memukuli kawan kami, karena kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar. Tetapi jika kalian akan mulai lagi, maka justru aku akan menantang berkelahi seorang lawan seorang,” berkata Sukra, “aku akan mewakili kawan-kawanku.” Sejenak anak-anak Kademangan Wadas Ireng itu terdiam. Namun tiba-tiba anak yang terbesar di antara mereka itu pun tertawa. Katanya di sela-sela suara tertawanya, “Agaknya kau memang suka bergurau. Aku senang mendengarnya. Tetapi itu tidak akan mengurungkan niat kami menampar kepala gundul itu.” “Aku tidak bergurau,” berkata Sukra, “aku menantangmu. Itu pun belum menjamin bahwa kau akan dapat menampar kepala gundul itu. Jika kalah, maka kawan-kawanku akan melindunginya, sehingga kalian harus berkelahi dahulu. Jika kami semua sudah kalian kalahkan, maka barulah kalian dapat memukuli kepala gundul itu.” Anak itu mengerutkan keningnya, namun kemudian ia berkata, “Aku setuju. Seorang di antara kita masing-masing akan berkelahi seorang melawan seorang. Aku akan mewakili kawan-kawanku. Tetapi kalian harus diwakili oleh anak yang terbesar di antara kalian.” “Tidak,” jawab Sukra, “aku yang akan mewakili kawan-kawanku. Kalian tidak berhak menentukan. Siapapun yang akan mewakili kami, itu adalah urusan kami.” “Kau akan menyesal,” berkata anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu. Anak yang terbiasa bergaul dengan sekelompok kecil anak-anak muda yang mulai menempuh jalan sesat. Tetapi Sukra menjawab, “Tidak. Aku tidak akan menyesal. Apapun yang terjadi, itu sudah aku kehendaki.” “Bagus,” sahut anak itu, “bersiaplah.” Sukra memberi isyarat kawan-kawannya untuk mundur. Demikian pula anak Wadas Ireng yang akan mewakili kawan-kawannya itu. Kedua kelompok anak-anak itu membentuk lingkaran di tepian. Sementara Sukra dan anak yang terbesar di antara anak-anak Wadas Ireng itu berada di tengah. “Siapa namamu?” tiba-tiba anak Wadas Ireng itu bertanya. “Namaku Sukra. Siapa namamu?” Sukra ganti bertanya. “Namaku Lugu. Anak-anak sebayaku, bahkan anak yang lebih besar dari aku, takut kepadaku. Apalagi anak seperti kau. Kau tentu akan segera berjongkok minta ampun di hadapanku.” “Bagus,” jawab Sukra, “kita akan berkelahi. Jika ada seorang di antara kelompok kita masing-masing yang membantu, maka ia dianggap kalah. Jika paugeran ini dilanggar, maka kita akan berkelahi bersama-sama meskipun sebenarnya tidak kami kehendaki, karena sebenarnyalah bahwa kami adalah anak-anak yang baik dan berjiwa besar.” “Cukup! Bersiaplah!“ anak itu tiba-tiba membentak. Sukra tidak menjawab. Tetapi iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sejenak kemudian keduanya bergeser beberapa langkah. Namun Lugu itu pun segera meloncat menyerang dengan ayunan tangannya. Sukra yang sudah bersiap itu pun segera mengelak. Tangan itu terayun deras. Tetapi tidak menyentuh sasarannya. Tetapi Lugu tidak membiarkan Sukra luput dari jangkauan serangannya. Iapun segera meloncat menerkam dengan kedua tangannya yang langsung mengarah ke leher. Sukra terkejut melihat serangan itu. Serangan itu baginya tidak terlalu berbahaya. Tetapi bahwa anak itu langsung berusaha mencengkam leher adalah pertanda betapa garangnya, bahkan akibatnya akan dapat menjadi sangat mengerikan. Sukra berkisar ke samping. namun ia sempat berkata, “Kenapa kau berkelahi dengan kasar? Jika kau berhasil mencengkam leherku, apa yang akan kau lakukan?” “Mencekikmu,” jawab Lugu. “Aku dapat mati karenanya,” berkata Sukra kemudian. “Aku tidak peduli. Dalam satu perkelahian yang disepakati seorang lawan seorang, mati adalah akibat wajar, yang membunuh tidak dapat dianggap bersalah. Bahkan ia pantas mendapat kehormatan sebagai seorang pahlawan.” “Gila,” geram Sukra, “siapa yang telah meracuni otakmu dengan sikap seperti itu?” Lugu berhenti menyerang. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau menjadi ketakutan?” “Tidak. Kau tidak berbahaya bagiku. Tetapi kau adalah barbahaya bagi anak yang lain. Kau benar-benar dapat membunuh dengan caramu berkelahi itu. Apakah membunuh bagimu dapat menjadi satu kebanggaan, sementara seseorang yang telah membunuh sesamanya akan selalu dikejar oleh penyesalan?” “Para prajurit membunuh di medan perang,” jawab Lugu. “Membunuh dan berperang itu tidak sama,” jawab Sukra. “Lidahmu yang agaknya bercabang seperti lidah ular. Tetapi aku tidak perduli. mungkin kau memang akan mati dalam perkelahian ini. Tetapi sekali lagi aku katakan, mati adalah akibat yang sangat wajar.” “Bagaimana jika kau yang mati?” bertanya Sukra. Anak itu tertawa, katanya, “Hanya anak bintang yang turun dari langit yang dapat mengalahkan apalagi membunuh aku.” Namun jawab Sukra, “Bagus. Aku adalah anak bintang.” Lugu itu mengerutkan dahinya. Namun Sukra pun berkata, “Bersiaplah kau anak bayangan kegelapan. Sudah saatnya anak bintang turun dari langit.” Sikap hati Lugu membuat Sukra menjadi marah. Meskipun demikian, ia tidak pernah melupakan pesan Glagah Putih agar tidak kehilangan kendali diri. Demikianlah, sejenak kemudian Lugu sudah mulai menyerang lagi. Ia mengira bahwa Sukra menjadi takut melihat kedua tangannya yang terjulur mengarah ke lehernya. Karena itu, maka ketika serangan kakinya tidak mengenai sasaran karena Sukra menghindar, maka Lugu itu pun telah mengulangi serangannya dengan kedua tangannya terjulur ke arah leher Sukra. Namun Sukra benar-benar menjadi marah melihat serangan yang berbahaya itu. Bahkan menurut pendapat Sukra, serangan itu sangat berlebihan bagi perselisihan anak-anak. Apabila sikap Lugu bahwa ia sama sekali tidak menghargai nyawa orang lain dalam persoalan yang sebenarnya tidak berarti itu. Karena itu, ketika Sukra melihat tangan yang terjulur itu, maka iapun menggeram marah. Dengan cepat ia meloncat ke samping. Namun kemudian kakinya terayun mendatar dengan derasnya mengenai lambung. Lugu terdorong beberapa langkah ke samping, bahkan kemudian anak itu terjatuh di atas pasir tepian. Namun anak itu segera bangkit kembali. Lugu memang menyeringai menahan sakit pada lambungnya. Namun tidak lama. Sejenak kemudian iapun telah bersiap untuk berkelahi lagi. Bahkan dengan lantang iapun berkata, “He, kau telah menyakiti aku. Akibatnya akan sangat buruk bagimu.” Sukra tidak menghiraukannya. Iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi lawannya yang lebih besar daripadanya itu. Demikianlah, Lugu itu telah menyerang dengan garangnya. Tangan dan kakinya terayun-ayun dengan kerasnya. Tetapi dengan tangkas Sukra menghindar. Namun sekali-sekali Sukra terpaksa menangkis serangan-serangan itu. Dalam benturan-benturan yang terjadi, maka Sukra harus mengakui bahwa kekuatan Lugu lebih besar dari kekuatannya, sehingga kadang-kadang Sukra terdorong surut. Namun Sukra yang telah mempelajari dasar-dasar kemampuan bela diri dengan tekun, memiliki kesempatan lebih baik. Lugu kadang-kadang merasa kehilangan lawannya yang berloncatan. Namun tiba-tiba Sukra telah menyerang dengan derasnya, sehingga Lugu-lah yang terdorong surut. Lugu menjadi semakin marah ketika serangan-serangan Sukra semakin lama semakin sering mengenai tubuhnya. Sekali dua kali, Lugu yang memiliki tubuh dan daya yang sangat kuat itu tidak menghiraukannya. Tetapi semakin sering Sukra mengenainya, maka perasaan sakit itu menjadi semakin terasa menyengat tubuhnya dimana-mana. Dalam pada itu, anak-anak dari Kademangan Wadas Ireng dan anak-anak padukuhan induk Tanah Perdikan itu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebaran. Sekali-sekali anak-anak Tanah Perdikan yang bersorak, namun di kesempatan lain, anak-anak Wadas Ireng-lah yang bersorak-sorak. Orang-orang yang sedang meronda di padukuhan induk, mendengar suara-suara ramai di tepian meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi mereka menyangka bahwa anak-anak sedang bermain sambil menutup pliridan mereka di sungai. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa anak-anak di tepian itu sedang menonton Sukra dan Lugu yang sedang berkelahi. Sementara itu Lugu masih mampu berkelahi dengan garangnya. Ia benar-benar menjadi keras dan bahkan kasar. Namun Sukra dengan tangkas mengimbanginya. Latihan-latihan yang berat membuatnya mampu bergerak cepat untuk mengatasi kekuatan Lugu yang sangat besar bagi anak-anak. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dibandingkan dengan Sukra. Meskipun demikian, ternyata semakin lama Lugu semakin mengalami kesulitan. Hanya karena daya lahannya yang tinggi serta kekuatannya yang besar sajalah yang membuatnya masih dapat bertahan terus. Sementara itu, meskipun Sukra lebih kecil dan lebih muda, tetapi tenaganya sudah terlatih. Sukra itu mampu memperhitungkan agar ia tidak kehabisan tenaganya. Dalam pada itu, semakin lama Sukra menjadi semakin sering mengenai tubuh Lugu dengan serangan-serangannya yang cepat. Tetapi perlawanan Lugu masih belum menjadi susut. Meskipun beberapa kali Lugu terdorong dan jatuh di atas pasir tepian, namun ia segera bangkit dan siap untuk berkelahi lagi. Sukra-lah yang justru mulai merasa bahwa tenaganya seakan-akan telah terlepas untuk mengimbangi kekuatan dan daya tahan lawannya yang tinggi. Karena itu, Sukra mulai merasa bahwa tenaganya telah menyusut. Karena itu, maka Sukra harus mulai mempertimbangkan benar-benar tata geraknya, agar ia tidak menjadi kelelahan dan kehabisan tenaga sebelum Lugu dapat ditundukkannya. Itulah sebabnya maka Sukra mulai memperhitungkan benar-benar sasaran serangannya. Sukra mulai mengarahkan serangan-serangannya pada bagian tubuh lawannya yang lemah, tetapi tidak membahayakannya. Dengan demikian maka Sukra semakin sering berusaha menyerang dan mengenai lambung lawannya. Tidak saja dengan tumit kakinya, tetapi dengan jari-jarinya yang terbuka dan merapat. Pada kesempatan itu, sisi telapak tangan Sukra telah menghantam pundak Lugu, sehingga sebelah tangan anak itu rasa-rasanya untuk beberapa saat telah melemah. Pada kesempatan itu, Sukra telah mengarahkan serangannya pada sisi yang lemah itu. Beberapa kali kakinya terjulur mengenai lengan dan bahu yang rasa-rasanya menjadi semakin kesakitan. Lugu mengumpat dengan kasar. Namun serangan-serangan Sukra datang beruntun seperti banjir yang mengalir tidak putus-putusnya. Serangan disusul dengan serangan, sehingga Lugu tidak sempat menangkis dan menghindar. Karena itu, Lugu itu pun telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian kawan-kawannya yang melingkarinya harus menyibak ketika Lugu terhuyung-huyung beberapa langkah mundur. Sukra tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sebelum Lugu sempat memperbaiki kedudukannya, Sukra itu melenting menyerang dada Lugu dengan kakinya yang terjulur menyamping. Serangan Sukra cukup keras meskipun sebenarnya tenaganya sudah mulai menyusut. Apalagi pada saat-saat terakhir, Sukra harus mengerahkan kemampuannya untuk mengakhiri perlawanan Lugu sebelum ia sendiri kehabisan tenaga. Sukra memang menyadari, jika usahanya terakhir itu gagal sementara ia sudah kehabisan tenaga, maka Lugu-lah yang akan menguasainya, dan ia akan mengalami perlakuan yang sangat buruk. Tetapi dengan perhitungan yang baik, Sukra yakin akan dapat menundukkan lawannya itu sebelum tenaganya habis. Serangan kaki Sukra itu ternyata telah melemparkan Lugu beberapa langkah. Serangan yang cukup keras itu membuat Lugu kehilangan keseimbangannya. Karena itu, maka tubuh Lugu itu telah terdorong dan jatuh menggelepar di dalam air. Lugu memang berusaha untuk bangkit agar air sungai itu tidak terlalu banyak masuk ke dalam mulut dan hidungnya. Meskipun kemudian Lugu itu berhasil untuk berdiri, tetapi hanya sesaat. Tubuhnya yang merasa sakit dimana-mana, nafasnya yang menjadi sesak demikian dadanya terkena serangan kaki Sukra, serta tenaganya yang juga terkuras, membuat Lugu benar-benar tidak mampu lagi mempertahankan keseimbangannya. Ketika ia mencoba melangkah ke tepian, iapun telah terjatuh lagi. Tetapi Lugu telah berhasil keluar dari air sungai yang mengalir tidak terlalu deras itu. Sukra berdiri termangu-mangu. Kawan-kawannya telah bersorak meneriakkan kemenangan. Beberapa orang kawan Lugu telah berlari memburunya. Mereka berusaha untuk menolong Lugu dengan mengangkat tubuhnya dan membantunya berdiri. Lugu kemudian memang dapat berdiri. Tetapi dua orang kawannya harus membantunya. Namun Lugu masih belum mengakui kekalahannya. Dengan lantang ia berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak kalah. Kita akan membuat anak-anak yang licik itu menjadi jera. Kita akan berkelahi bersama-sama.” Sukra yang nafasnya masih terengah-engah itu menjadi berdebar-debar. Meskipun menurut perhitungannya anak-anak Padukuhan induk Tanah Perdikan itu tidak akan kalah, namun ia sendiri memerlukan untuk beristirahat barang beberapa saat. Karena itu, Sukra itu pun kemudian berdiri bertolak pinggang sambil berkata, “He, apakah kalian akan berkelahi beramai-ramai?” “Kalian akan dihancurkan,“ geram Lugu yang masih belum dapat berdiri tegak. “Kalian tanpa Lugu tidak akan berarti apa-apa bagi kami. Sementara itu, kalian lihat bahwa Lugu sudah tidak berdaya. Jika aku mempunyai landasan pikiran seperti Lugu, maka aku sudah mencekiknya. Menurut Lugu, jika dalam perkelahian seseorang terlanjur mati, maka yang membunuh tidak dapat dipersalahkan.” Anak-anak Wadas Ireng itu terdiam. Ternyata ketika ancaman itu ditujukan kepada mereka, maka mereka pun menjadi sangat ngeri. Bahkan Lugu sendiri merasa ngeri mendengarnya. Namun ternyata Lugu itu masih belum juga mengakui kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka iapun berkata, “Kau tidak perlu menakut-nakuti kami. Kau kira aku tidak dapat berkelahi lagi? Sebentar lagi tenagaku akan pulih. Aku akan memilin leher anak-anak padukuhan ini. Seorang demi seorang. Dan kau adalah anak yang pertama akan kuhancurkan.” Tetapi Sukra tertawa. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Pernafasannya sangat membantu memulihkan kekuatannya. “Kau masih juga mengigau, Lugu. Berdiripun kau sudah tidak mampu lagi. Apalagi memilin leher kami.” “Persetan kau,” geram Lugu. Tetapi ketika ia melangkahkan kakinya, maka ia masih saja terhuyung-huyung. Kawan-kawannya yang membantunya berdiri, dengan cepat menahannya agar Lugu itu tidak terjatuh. Meskipun demikian, ia masih berteriak, “Ayo kawan-kawan, kita hancurkan anak-anak yang licik itu!” Tetapi sekali lagi Sukra tertawa keras-keras. Katanya, “Sebenarnya kau mau apa, Lugu? Melangkah pun kau sudah tidak mampu lagi.” “Anak-anak Wadas Ireng bukan anak-anak cengeng!“ bentak Lugu. Lalu katanya sekali lagi kepada kavan-kawannya, “Cepat! Selesaikan mereka!” Namun tiba-tiba Sukra itu pun menggeram, “Mari. Siapa yang ingin aku patahkan lengannya? Kau lihat, aku berkata sebenarnya. Dan aku pun mampu melakukannya. Berbeda dengan Lugu. Ia hanya dapat berteriak-teriak dan membentak-bentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.” Anak-anak Wadas Ireng itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi Lugu itu membentak lagi, “Cepat! Siapa yang tidak mau melakukannya, aku besok akan menghukumnya. Hukuman yang belum pernah aku berikan kepada kalian sebelumnya.” Anak-anak Wadas Ireng itu menjadi bingung. Mereka merasa ngeri untuk berkelahi, apalagi melawan Sukra. Tetapi mereka pun menjadi ketakutan mendengar ancaman Lugu. Jika mereka menolak untuk melakukan perintah Lugu, maka nasib mereka akan menjadi buruk untuk waktu yang lama. Kemarahan Lugu tidak hanya akan terbatas dalam satu dua hari. Tetapi ia adalah pendendam yang berkepanjangan. Sukra yang melihat anak-anak Wadas Ireng itu ragu-ragu berkata lantang, “He, apakah kalian merasa sulit untuk memilih? Berkelahi melawan kami, atau dimusuhi Lugu dan bahkan menerima hukumannya?” “Cukup! Aku koyak mulutmu!“ teriak Lugu. Tiba-tiba saja darah Sukra naik sampai ke kepala. Dengan kecepatan yang tinggi ia meloncat ke arah Lugu. Satu ayunan tangannya telah menampar mulut yang baru saja terkatup itu. Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya menjadi pecah dan darah mulai mengalir duri luka di bibirnya itu. “Ayo, berteriaklah sekali lagi!“ bentak Sukra. Lugu memang bergeser mundur. Dua orang yang membantunya berdiri ikut bergeser pula. Tetapi keduanya menjadi gemetar melihat sikap Sukra. Bahkan Sukra itu berkata selanjutnya dengan nada marah, “Aku dapat mencekikmu, Lugu. Mengerti? Mulutmu jangan kau buka sekali lagi. Aku akan memukulimu sampai kau terdiam.” Namun ternyata harga diri Lugu itu cukup tinggi. Meskipun mulutnya terasa sakit dan bibirnya rasa-rasanya-menjadi semakin tebal bergayut di mulutnya, namun ia masih menjawab, “Kau tidak berhak memerintah aku.” Ternyata Sukra tidak hanya menggertak. Karena anak itu membuka mulutnya lagi, maka Sukra pun benar-benar memukul mulut Lugu. Sekali lagi Lugu berteriak kesakitan. Bibirnya yang berdarah menjadi semakin berdarah. Bahkan hampir saja Lugu tidak dapat menahan tangisnya. Kedua kawannya yang membantunya berdiri menjadi semakin gemetar. Tetapi Lugu benar-benar terdiam. “Jika kau tidak mau diam, maka kedua anak yang membantumu berdiri itu pun akan aku pukuli, supaya melepaskanmu. Aku akan membenamkan kepalamu ke dalam air sehingga perutmu menjadi kembung. Aku tidak peduli apakah kau akan mati atau tidak.” Lugu benar-benar terdiam. Sementara Sukra berkata sambil melangkah hilir mudik. Tangannya bergerak-gerak mengikuti irama kata-katanya yang meluncur dari mulutnya. Sukra memang sengaja menirukan sikap Agung Sedayu, yang dianggapnya lebih tua dari Glagah Putih, “Aku bersungguh-sungguh sekarang.” Tidak seorang pun yang menyahut. Namun tiba-tiba Sukra itu berhenti melangkah. Dipandanginya anak-anak Wadas Ireng yang masih berkerumun di sekitar Lugu yang kesakitan. Dipandanginya anak-anak itu dengan tatapan mata yang tajam. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa kalian menjadi demikian takut kepada Lugu?” Anak-anak itu masih tetap berdiam diri. “Seharusnya kalian tidak takut. Mungkin kalian seorang-seorang tidak berani melawan Lugu. Tidak seorangpun di antara kalian yang dapat mengalahkannya. Tetapi jika kalian bersepakat untuk melawannya, batapapun kuatnya anak itu, tetapi kekuatannya tidak akan melebihi empat orang anak di antara kalian. Atau barangkali lima orang. Jika jumlah kalian sepuluh atau lebih, maka Lugu bukan apa-apa bagi kalian,” berkata Sukra. Anak-anak itu saling berpandangan. Namun mereka tidak mengucapkan sepatah katapun. Yang kemudian bertanya adalah justru anak padukuhan induk itu, “Bagaimana kalau Lugu mengancam anak-anak Wadas Ireng seorang demi seorang?” “Anak-anak Wadas Ireng itu bersama-sama mengancam Lugu. Jika ada satu saja di antara kawan-kawannya yang disakiti Lugu, maka Lugu akan dihajar beramai-ramai tanpa ampun. Nah, dengan demikian Lugu tidak akan pernah mengancam siapapun di Kademangan Wadas Ireng.” Anak-anak Wadas Ireng itu saling berpandangan. Kata-kata Sukra itu nampaknya dapat mereka pahami. Namun seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika ada yang berkhianat? Mungkin karena keuntungan yang didapatinya, mungkin Lugu memberinya uang atau makanan atau apa saja, sehingga beberapa orang justru membantunya?” “Jumlah anak-anak yang baik tentu berlipat,” jawab Sukra. Seorang anak padukuhan induk yang lain berteriak, “Yang berkhianat akan dihukum lebih berat dari Lugu sendiri.” Wajah Lugu menjadi merah padam. Hampir saja ia berteriak oleh kemarahan yang menyesakkan dadanya. Namun baru saja ia bergeser, maka Sukra berkata, “Ingat Lugu. Jika sepatah kata saja keluar dari mulutmu, maka kedua bibirmu akan rontok.” Lugu benar-benar menjadi ketakutan oleh ancaman Sukra yang nampaknya memang tidak main-main. Namun tiba-tiba seorang anak padukuhan induk yang lain bertanya, “Bagaimana jika Lugu minta bantuan anak-anak yang lebih besar, yang agaknya menjadi latar belakang pengaruh Lugu?” “Di Kademangan Wadas Ireng terdapat banyak sekali anak-anak muda yang baik. Jauh lebih banyak dari mereka yang bertabiat buruk. Jika mereka segan turut campur, maka ada Ki Bekel di setiap padukuhan. Ada Ki Demang, para bebahu, terutama Ki Jagabaya.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai mengangguk-angguk. Sukra yang merasa bahwa kata-katanya mulai mengusik perasaan anak-anak Wadas Ireng itu pun kemudian berkata, “Pulanglah. Bawa Lugu pulang. Tetapi jangan dipukuli sepanjang jalan. Tetapi jika pada suatu saat ia mulai melakukan perbuatan yang buruk lagi, kalian dapat mencegahnya. Jangan takut. Ia bukan anak yang tidak terkalahkan. Kau lihat, ia tidak berdaya sekarang.” Anak-anak Wadas Ireng itu berpaling kepada Lugu yang masih sangat lemah. Pandangan mata mereka telah berubah. Anak-anak itu tidak lagi menganggap Lugu sebagai panutan yang harus diikuti segala perbuatan dan tingkah lakunya. “Pulang!“ tiba-tiba Sukra membentak, “Ingat kata-kataku. Dalam keadaan yang paling sulit bagi kalian, datanglah mengadu kepada Ki Jagabaya. Lugu dan kawan-kawannya tentu akan mendapat peringatan, dan bahkan jika perlu hukuman.” Anak-anak Wadas Ireng itu mulai beranjak. Dua orang anak yang membantu Lugu hampir saja melepaskannya. Tetapi Sukra berkata, “Bantu ia berjalan. Hati-hati.” Sejenak kemudian, maka anak-anak Wadas Ireng itu pun beringsut meninggalkan tepian. Dua orang anak masih membantu Lugu berjalan di tepian berpasir. Namun Sukra yakin bahwa kata-katanya berpengaruh terhadap anak-anak Wadas Ireng, sehingga mereka akan berani menentang setiap niat buruk Lugu, yang sebelumnya sangat berpengaruh atas anak-anak Wadas Ireng itu. Demikian anak-anak Wadas Ireng itu meninggalkan tepian, maka anak-anak padukuhan induk itu menarik nafas panjang. Mereka tidak perlu berkelahi untuk mengusir anak-anak nakal itu. Dada Sukra pun menjadi lapang. Sebenarnya ia masih merasa letih. Lugu ternyata seorang anak yang memiliki kekuatan dan daya tahan yang sangat besar. Apalagi Lugu memang lebih tua dan lebih besar dari Sukra. Namun dalam pada itu, Sukra itu pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita tidak perlu berkelahi. Bukankah kita orang baik dan berjiwa besar?” Tetapi seorang anak bertanya, “Tetapi kau sendiri berkelahi, Sukra.” Sukra termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Jika aku tidak berkelahi, maka kalian semua akan berkelahi. Maka menurut pendapatku, lebih baik aku berkelahi seorang diri daripada kalian semuanya.” Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Sementara Sukra berkata, “Apakah pekerjaan kita memperbaiki pliridan sudah selesai?” “Hampir,” jawab seseorang. “Kita akan menyelesaikannya sebentar. Kemudian kita akan pulang. Kita tentu tidak akan dapat menutup pliridan di dini hari ini,” berkata Sukra. Anak-anak itu pun kemudian melakukan sebagaimana dikatakan oleh Sukra. Baru setelah pekerjaan itu selesai, maka anak-anak itu pun meninggalkan tepian, naik memanjat tebing dan melintasi tanggul, pulang ke rumah masing-masing. Beberapa di antara orang tua mereka bertanya, kenapa mereka terlalu lama bermain-main di sungai. Seorang ayah dengan marah bertanya, “Apa yang kalian lakukan sampai dini hari? Bagi mereka yang mempunyai pliridan, masih dapat dimengerti seandainya mereka menunggui pliridannya atau sengaja menutup pliridannya sekali lagi. Tetapi kau tidak mempunyai pliridan lagi.” “Kami membantu memperbaiki pliridan kawan-kawan, Ayah,” jawab anak-anak itu. Tetapi ia sama sekali tidak mengatakan bahwa mereka hampir saja terlibat dalam perkelahian melawan anak-anak Wadas Ireng. Sukra yang kemudian dengan diam-diam masuk lewat pintu butulan yang langsung menuju ke biliknya, memang tidak perlu membangunkan siapapun juga. Justru karena anak itu sering pergi ke sungai, maka Agung Sadayu sengaja membuat bilik baginya dengan pintu butulan tersendiri. Ketika kemudian fajar menyingsing, anak itu sudah sibuk sebagaimana biasanya. Iapun tidak mengatakan kepada Glagah Putih, apa yang telah terjadi di tepian. Namun ternyata kemudian peristiwa itu tersebar juga di antara anak-anak, dan bahkan akhirnya terdengar juga oleh orang-orang tua. Satu dua orang pengawal yang meronda, yang mendengar suara riuh di tepian, mengira bahwa suara itu sekedar suara anak-anak yang bermain dengan pliridan di sungai. Namun baru kemudian mereka ketahui bahwa hampir saja terjadi perkelahian antara anak-anak padukuhan induk itu dengan anak-anak Kademangan Wadas Ireng. Glagah Putih yang kemudian juga mendengarnya ketika ia berada di antara para pengawal, telah memanggil Sukra demikian ia pulang dari banjar. “Kau berkelahi?” bertanya Glagah Putih. Jawab anak itu tegas, “Ya. Tetapi jika aku tidak berkelahi, maka anak-anak yang berkumpul di tepian itu akan berkelahi semuanya.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi jika kau masih melihat kemungkinan yang lain, maka kau tidak boleh berkelahi.” Sukra mengangguk. Tetapi sikapnya terhadap Glagah Putih memang sudah berubah. Dengan urut Sukra kemudian bercerita tentang apa yang telah terjadi di tepian. Menurut pendapatnya, jika Lugu telah dikalahkan, maka yang lain masih akan mungkin dicegah. Glagah Putih menepuk bahunya sambil berkata, “Baiklah. Kau memang mempunyai alasan yang kuat, kenapa kau harus berkelahi.” Sukra mengangguk kecil. Sukra memang merasa lega bahwa ia tidak dianggap bersalah. Ternyata peristiwa itu telah mendorong Sukra untuk berlatih lebih bersungguh-sungguh. Ia merasa bahwa ilmunya akan berarti, justru untuk mencegah kekerasan yang lebih luas. Sementara itu, pada hari itu Kanthi nampak lebih banyak merenung. Ia memang sedang mengangkat beban baru di dalam hatinya. Ia harus menjawab pernyataan Wacana yang disampaikan lewat Rara Wulan. Meskipun Kanthi berusaha untuk tetap bersikap wajar sebagaimana sikapnya sehari-hari, namun orang lain masih dapat menangkap betapa Kanthi sedang mencari-cari jawab. Wacana sendiri juga merasa tegang. Hari itu Wacana berusaha untuk tidak bertemu dengan Kanthi. Dilakukannya pekerjaan apa saja di kebun belakang. Kemudian ikut Ki Jayaraga ke sawah, dan demikian ia pulang, maka ia telah menenggelamkan dirinya di dalam sanggar. Namun Kanthi sempat juga melihat kegelisahan dan ketegangan yang mencengkam perasaan anak muda itu. Karena itu, ia sadar bahwa ia tidak boleh terlalu lama memberikan jawaban. Di malam hari setelah makan malam, sementara Agung Sedayu dan Ki Jayaraga duduk-duduk di pendapa dan Wacana bersama Glagah Putih berada di serambi gandok, Sekar Mirah dan Rara Wulan setelah membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor serta membersihkan ruang dalam, telah duduk pula sambil berbincang. Dengan hati-hati Rara Wulan memang mencoba memancing apakah Kanthi sudah mempunyai jawaban atas pernyataan Wacana. “Tentu Wacana tidak tergesa-gesa, Kanthi, karena ia tidak akan pergi kemana-mana. Tetapi nampaknya Wacana selalu dibayangi oleh kegelisahannya menunggu jawabmu,” berkata Rara Wulan kemudian, meskipun dengan agak ragu. Sementara itu Sekar Mirah bertanya pula, “Apakah masih ada yang harus dipikirkan? Kanthi. Jika kau sudah mengiakannya, maka sudah tentu Wacana akan melamarmu kepada orang tuamu. Bukan harus Wacana sendiri yang datang, tetapi bukankah ada Kakang Agung Sedayu. Ada pula Ki Jayaraga, yang agaknya mempunyai pekerjaan baru, melibatkan diri dalam persoalan anak-anak muda dalam hubungannya dengan gadis-gadis.” Rara Wulan tersenyum, sementara Kanthi pun berusaha menyembunyikan senyumnya itu. Namun desakan-desakan Rara Wulan dan Sekar Mirah itu memang mempercepat perenungan Kanthi menanggapi pesan Wacana itu. Karena itu, maka Kanthi tidak merasa perlu lagi menunda-nunda jawabannya, karena iapun kemudian sadar bahwa semakin cepat persoalan itu selesai dengan tuntas, akan semakin baik baginya. Karena itu, sambil menundukkan wajahnya, Kanthi akhirnya mengangguk kecil sambil berdesis, “Aku akan menganggap baik mana yang Mbokayu Sekar Mirah dan Rara Wulan menganggap baik.” Wajah Rara Wulan-lah yang tiba-tiba menjadi ceria. Namun Sekar Mirah masih mendesaknya, “Aku ingin mendengar jawabmu Kanthi. Bukankah kau menerima Wacana untuk kelak bersama-sama memasuki dunia kekeluargaan?” Kanthi masih saja menunduk dalam-dalam. Sambil mengangguk pula ia menjawab, “Ya, Mbokayu.” Tiba-tiba saja Rara Wulan memeluknya. Ternyata gadis itulah yang lebih dahulu menitikkan air mata. Namun titik-titik air mata itu telah memancing air mata Kanthi pula. Sekar Mirah-lah yang kemudian tersenyum sambil berkata, “Kau telah menapak maju menjelang hari depanmu yang lebih baik, Kanthi.” Kanthi masih menunduk, sementara Rara Wulan mengguncangnya, “Tersenyumlah Kanthi. Kau akan menjadi semakin cantik.” Kanthi memang mencoba tersenyum. Tetapi justru titik air di mata Rara Wulan menjadi semakin deras, sehingga Kanthi pun tidak dapat menahan isaknya lagi. “Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “kita memang harus memandang hari depan dengan tengadah.” “Nanti aku akan menyampaikannya kepada Kakang Glagah Putih. Wacana harus segera mendengar jawaban ini. Aku sendiri yang akan mengatakannya kepada Wacana,” berkata Rara Wulan. Kanthi mengangguk kecil. Sementara Sekar Mirah berkata, “Katakanlah dengan hati-hati Rara.” Rara Wulan yang kemudian melepaskan Kanthi pun telah mengusap matanya. Kemudian iapun bangkit sambil berkata, “Aku akan menemui Kakang Glagah Putih. Ia tentu berada di serambi gandok.” “Atau di sanggar,” desis Sekar Mirah. “Agaknya belum, Mbokayu. Bukankah Kakang Glagah Putih baru saja selesai makan bersama kita?” sahut Rara Wulan. Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang belum.” Rara Wulan pun kemudian segera beranjak dari tempatnya. Ia tidak keluar lewat pringgitan, karena ia tahu Agung Sedayu dan Ki Jayaraga sedang duduk-duduk di pendapa untuk mendapatkan udara yang sejuk. Lewat pintu seketheng, Rara Wulan langsung menuju ke serambi gandok. Ketika Rara Wulan melihat Glagah Putih sedang duduk bersama Wacana, maka tiba-tiba saja timbul niatnya untuk langsung menyampaikan jawaban Kanthi saat itu juga. Tetapi lebih dahulu Rara Wulan ingin berbicara dengan Glagah Putih. Karena itu, maka ketika ia turun dari pintu seketheng, iapun kemudian mendekati kedua orang itu sambil berkata, “Kakang Glagah Putih, Mbokayu Sekar Mirah ingin berbicara sebentar. Hanya sebentar.” Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Namun Rara Wulan kemudian berkata kepada Wacana, “Kakang Wacana. Jangan pergi.” Wacana mengerutkan dahinya. Namun iapun mengangguk sambil menjawab, “Aku akan menunggu.” Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan hilang di balik seketheng, maka Wacana pun menjadi gelisah. Ia sudah menduga, bahwa Rara Wulan akan memberikan pesan-pesan Kanthi kepada Glagah Putih. Di dalam seketheng, Rara Wulan tidak mengajak Glagah Putih menemui Sekar Mirah. Tetapi ia langsung mengatakannya, bahwa Kanthi telah memberikan jawaban. “Apakah kau sependapat, jika aku sekarang menyampaikan jawaban Kanthi itu langsung kepada Wacana?” bertanya Rara Wulan. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia kemudian berdesis, “Apakah tidak ada keseganan pada Wacana jika kau langsung mengatakan kepadanya?” “Bukankah itu lebih baik daripada harus lewat orang lain? Aku dapat menjelaskan pancaran perasaan Kanthi pada saat ia mengatakan jawabannya. Jika Wacana bertanya tentang Kanthi, maka aku akan dapat menyampaikannya langsung kepadanya.” Glagah Putih mengangguk-angguk lagi. Katanya, “Baiklah. Tetapi hati-hatilah. Kau harus menjaga perasaannya.” “Perasaan Wacana tentu lebih mapan dari perasaan Kanthi,” sahut Rara Wulan. “Agaknya memang demikian,” desis Glagah Putih. Demikianlah, keduanya telah kembali keluar lewat seketheng. Rara Wulan memang berniat langsung bertemu dan berbicara dengan Wacana. Di pendapa, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga masih duduk menghirup udara segar di ujung malam. Lampu minyak yang berkeredipan disentuh angin mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri membeku. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melihat Rara Wulan kemudian duduk bertiga bersama Glagah Putih dan Wacana. Mereka pun melihat Rara Wulan berbicara dengan bersungguh-sungguh. Sementara Wacana yang mendengarkannya nampak menjadi tegang. Sementara itu, Rara Wulan atas persetujuan Glagah Putih telah menyampaikan langsung jawaban Kanthi atas pesan Wacana. Ternyata Kanthi dapat menerima Wacana untuk kelak mengarungi gelombang kehidupan keluarga bersama-sama. Namun Rara Wulan itu pun berkata, “Tetapi kau harus menerimanya dengan ikhlas seperti apa adanya, Kakang Wacana. Kau sudah mengetahui sejak semula bahwa Kanthi sudah mengandung. Hendaknya hal ini tidak menjadi persoalan kelak, jika pada suatu saat sedang terjadi sedikit singgungan pada hati kalian berdua.” “Aku mengerti, Rara. Ketika tumbuh niatku untuk melamarnya, aku memang sudah mengetahuinya. Sehingga persoalan ini tidak akan menjadi sebab pertengkaran sehingga akan selalu diungkit-ungkit kembali, jika sedikit terjadi masalah di antara kami.” “Syukurlah,“ Rara Wulan mengangguk-angguk, “jika kedua belah pihak sudah mengetahui latar belakang kehidupan masing-masing, maka masing-masing akan dapat mengendalikan dirinya.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Aku mengucapkan selamat Wacana. Tetapi kesempatan ini bukan merupakan bagian akhir dari kehidupan masa depanmu, sehingga jalan yang akan kalian lalui berdua selanjutnya tidak selalu jalan datar yang halus dan rata. Tetapi kau dan Kanthi akan memasuki gejolak gelombang yang mengguncang hari-harimu.” “Ah, kau,” desis Rara Wulan, “darimana kau ketahui hal itu, Kakang?” Glagah Putih terkejut mendengar pertanyaan itu. Tiba-tiba saja ia tersenyum sambil berdesis, “Aku pernah menghadiri upacara pernikahan. Seorang yang berambut dan berjanggut putih telah memberikan nasehat kepada sepasang pengantin. Nah, sebagian aku tirukan nasehat itu.” Rara Wulan tertawa. Wacana yang tegang itu pun sempat tersenyum pula. “Jika hanya menirukan saja, semua orang dapat juga mengucapkannya,“ desis Rara Wulan kemudian. Wacana yang sudah tersenyum itu justru berkata, “Baiklah Glagah Putih. Aku akan mengingat nasenat itu baik-baik. Pada saatnya, aku akan menasehatkannya kepadamu kelak.” Ketiga orang itu tertawa hampir tidak tertahankan. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga yang duduk di pendapa melihat ketiga orang yang tertawa di serambi itu. Sambil tersenyum Agung Sedayu berdesis, “Apa saja yang mereka bicarakan itu?” Ki Jayaraga tersenyum pula. Katanya, “Tentu persoalan yang menyangkut Wacana dan Kanthi. Agaknya mereka telah mendapatkan kesepakatan.” “Mudah-mudahan,” sahut Agung Sedayu, ”jika benar-benar keduanya sepakat, maka jalan itu adalah jalan yang terbaik bagi Wacana dan Kanthi.” Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita ikut mengucapkan syukur. Dua hati yang terluka, semoga dapat sembuh bersama-sama.” Agung Sedayu pun mengangguk-angguk pula. Nampaknya keduanya ikut merasa berbahagia menyertai Wacana dan Kanthi, yang hampir saja kehilangan jalan ke masa depanya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga itu pun kemudian berkata, “Tetapi dalam waktu yang dekat ini, Angger Agung Sedayu akan disibukkan oleh pernikahan beberapa orang. Angger Prastawa, Angger Sabungsari dan kemudian Angger Wacana.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mudah-mudahan tidak bersamaan waktunya dengan waktu yang diperlukan oleh Pati.” Ki Jayaraga tertawa pendek. Katanya, “Semuanya harus dilakukan segera. Jika tidak, maka waktunya memang akan diambil Kanjeng Adipati Pati.” Sementara itu, maka Wacana yang sudah mendapat jawaban dari Kanthi itu hatinya mulai mekar. Sekali-sekali memang terlintas wajah Raras yang menganggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri. Betapa ia merasa hatinya yang pepat karena ia telah menginginkan Raras untuk menjadi sisihannya. Tetapi semuanya itu sudah lewat. Kini hatinya telah hinggap pada seorang gadis yang pernah mengalami nasib yang buruk. Namun dalam pada itu, Wacana yang masih duduk di serambi bersama Glagah Putih dan Rara Wulan itu berkata, “Tetapi siapakah yang akan pergi melamar kepada orang tua Kanthi? Keluargaku tinggal di tempat yang jauh. Ada pamanku di Mataram. Tetapi bukankah bagi keluarga Kanthi akan sama saja artinya, jika yang datang melamar itu bukan orang tuaku dan bukan pula pamanku? Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, misalnya?” “Aku kira sama saja, apalagi bagi Kanthi yang memerlukan waktu yang tidak terlalu panjang karena keadaannya,” jawab Glagah Putih. “Ya,” sahut Rara Wulan, “semakin cepat, semakin baik.” “Apakah kalian tahu, kapan Prastawa akan menikah?” bertanya Wacana. “Belum,” jawab Glagah Putih, “keluarga Anggrenilah yang akan menentukannya. Kakang Swandaru juga menunggu sampai kabar itu datang. Agaknya dalam dua tiga hari ini keluarga Anggreni akan memberikan ketentuan waktu itu.” “Apakah kau akan mengambil ancar-ancar dari hari pernikahan Prastawa?” bertanya Rara Wulan. “Tentunya jangan sampai terjadi pada hari yang bersamaan, meskipun dalam suasana yang jauh berbeda,” jawab Wacana. “Maksudmu?” bertanya Rara Wulan. “Prastawa adalah kemanakan Kepala Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan aku adalah orang kabur kanginan. Mungkin pernikahan Prastawa akan dilaksanakan dengan upacara adat selengkapnya serta keramaian yang meriah. Tetapi sudah tentu aku tidak akan demikian. Aku akan datang ke rumah Kanthi hanya dengan membawa tubuhku saja. Seperti kau lihat, di sini aku tidak mempunyai apa-apa.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Memang ada hal yang dapat dipertentangkan pada Wacana. Ia harus dengan cepat menyelesaikan ikatan pernikahannya dengan Kanthi. Tetapi sesudah itu, apa yang akan dilakukannya? Bagaimana Wacana akan dapat hidup dan menghidupi keluarganya, meskipun keluarga baru? Agaknya Wacana dapat membaca persoalan yang tumbuh di hati Glagah Putih itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Glagah Putih. Sudah tentu setelah pernikahan, aku tidak dapat berada di sini sebagaimana sekarang ini, tanpa mempunyai landasan penghidupan sama sekali. Tetapi orang tuaku mempunyai beberapa kotak sawah yang dapat aku kerjakan untuk alas sebuah keluarga kecil yang sederhana.” Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun sebuah pertanyaan lain justru timbul di dalam hatinya, “Lalu aku sendiri bagaimana? Apakah aku juga harus menyebut beberapa kotak sawah Ayah di Banyu Asri, jika saatnya aku berkeluarga, sementara Ayah sendiri berada di padepokan yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing?” Namun pertanyaan yang timbul itu segera diredamnya di dalam hati. Demikianlah, Glagah Putih itu pun kemudian berkata pada Rara Wulan,“ Rara. Temuilah Kanthi, katakan apa yang telah kita bicarakan di sini.” Rara Wulan mengangguk. Sementara itu Wacana berkata, “Segala sesuatunya akan aku serahkan kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Setelah semuanya selesai, aku akan segera pergi menemui keluargaku. Aku yakin bahwa tidak akan timbul masalah.” “Apakah aku juga harus menyampaikan kepada Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih. “Bagaimana menurut pertimbanganmu?” Wacana justru bertanya pula. “Sebaiknya besok kita bersama-sama menemuinya,” berkata Glagah Putih kemudian. Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Besok kita temui Ki Lurah Agung Sedayu. Aku memang tidak dapat berbuat lain daripada menyerahkan segala-galanya kepada Ki Lurah.” Demikianlah, Rara Wulan pun kemudian telah meninggalkan serambi gandok, masuk ke ruang dalam tidak lewat pringgitan, tetapi masuk seketheng melewati longkangan dan masuk melalui pintu bululan untuk menemui Kanthi. Ternyata Kanthi masih duduk di ruang dalam bersama Sekar Mirah. Wajah Kanthi tidak lagi nampak muram. Sekali-sekali sebuah senyuman telah menghiasi bibirnya. bersambung Posted in Buku 291 - 300 ♦ Seri III Tagged Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Pandan Wangi, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wacana Seri Api Di Bukit Menoreh. Halaman: 100 Halaman. Agung Sedayu digambarkan sebagai seorang pemuda yang sangat penakut, bukannya pengecut. Karena bahkan melewati sebuah pohon raksasa di malam haripun dia tidak berani. Karena terlalu dimanjakan ibunya, Sedayu berubah menjadi penakut, apalagi dia selalu berlindung di bawah
♦ 15 Juli 2010 Agung Sedayu tidak dapat segera melihat dengan jelas apa yang terjadi dengan pasukan Pati. Namun menurut pendapat Agung Sedayu, induk pasukan Pati di bawah pimpinan langsung Kanjeng Adipati Pati telah berada di sebuah padukuhan yang cukup besar tetapi kosong. Para penghuninya yang sejak semula telah mengungsi, masih belum kembali ke padukuhan mereka. “Apakah Kanjeng Adipati Pati benar-benar terlepas dari tangan prajurit Mataram?“ bertanya seorang prajurit yang menyertai Agung Sedayu. “Agaknya demikian. Ketika kita berangkat dari benteng perkemahan, Kanjeng Adipati tidak dijumpai di antara mereka yang tertawan. Tetapi melihat besarnya pasukan yang berhasil meloloskan diri, maka Kanjeng Adipati tentu ada di antara mereka.” Prajurit itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lagi. Beberapa puluh patok di hadapan mereka, kelompok demi kelompok pasukan Pati berdatangan. Di padukuhan itu agaknya mereka ingin menyusun kekuatan mereka kembali. Malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Agung Sedayu masih tetap berada di tempatnya, untuk melihat apa yang terjadi dengan para prajurit Pati itu. Dari kejauhan Agung Sedayu melihat cahaya api yang menerangi dedaunan yang mencuat melampaui tingginya dinding padukuhan itu. Dengan demikian maka Agung Sedayu dapat menduga bahwa para prajurit Pati itu telah memasang oncor-oncor di beberapa tempat di padukuhan itu. “Perapian,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis. “Mungkin sekali,“ jawab prajuritnya, “pasukan itu tentu letih dan lapar.” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Pasukan kecilnya juga letih dan lapar. Tetapi Agung Sedayu telah memerintahkan beberapa orang dari para prajuritnya untuk mengusahakan pangan bagi pasukan kecil itu. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah membawa dua orang prjurit yang telah dipilihnya dari antara prajurit dari Pasukan Khusus itu, untuk mendekati perkemahan para prajurit Pati. Dengan sangat berhati-hati, mereka merayap mendekat. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa para prajurit Pati itu tentu juga meletakkan beberapa orang pengawas di luar padukuhan itu. Namun Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya itu berhasil mendekati dinding padukuhan. Bahkan kemudian bertiga telah meloncat masuk dengan sangat berhati-hati. Ternyata seperti yang mereka duga, para prajurit Pati itu memang telah menyalakan beberapa buah oncor di belakang gerbang padukuhan dan di beberapa regol halaman rumah. Namun yang menarik perhatian Agung Sedayu dan kedua orang prajuritnya adalah, bahwa para prajurit Pati itu telah membuat sebuah dapur yang cukup besar untuk menyediakan makan bagi prajurit-prajurit yang lapar itu. “Ternyata padukuhan ini memang disiapkan untuk menampung pasukan Pati jika mereka bergerak mundur,“ desis Agung Sedayu. “Agaknya pasukan Pati mundur lewat jalur yang mereka lewati ketika mereka berangkat ke Prambanan,“ desis seorang prajuritnya, “ternyata di padukuhan ini telah tersedia bahan pangan bagi mereka.” “Ada dua kemungkinan,“ sahut Agung Sedayu, “padukuhan ini memang merupakan lumbung persediaan bahan makanan bagi pasukan Pati.” “Tetapi padukuhan ini bukan Ngaru-Aru. Bukankah Ngaru-Aru sudah dihancurkan?” “Menurut yang aku dengar, lumbung pangan di Ngaru-Aru memang sudah dihancurkan. Tetapi justru karena itu, maka Pati telah mempersiapkan lumbung yang lain, yang semula hanya merupakan tempat pemberhentian arus bahan pangan itu,“ berkata Agung Sedayu pula. “Nampaknya Pati memang tidak yakin bahwa mereka akan berhasil menembus sampai ke Mataram. Ternyata mereka telah mempersiapkan landasan pertahanan jika mereka terpaksa mundur.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng, “Bukan karena ketidak-yakinan itu. Sudah aku katakan, padukuhan ini dapat saja merupakan lumbung bahan pangan darurat setelah Ngaru-Aru dihancurkan, dengan persediaan pangan seadanya. Tetapi seandainya tempat ini merupakan landasan pertahanan kedua pun agaknya memang wajar sekali. Setiap persiapan bagi perang yang besar, tentu disiapkan pula landasan pertahanan kedua. Bahkan ketiga, sebagai landasan untuk memukul mundur lawan yang mungkin mengejarnya. Setidak-tidaknya untuk mengurangi keadaaan yang lebih parah lagi bagi pasukan yang bergerak mundur.” Kedua orang prajurit Agung Sedayu itu mengangguk. Tetapi mereka tidak bertanya lagi. Mereka masih melihat kelompok-kelompok prajurit Pati yang datang dalam keadaan letih. Ada di antara kelompok-kelompok itu yang membawa kawan-kawan mereka yang luka, dan bahkan parah. Agung Sedayu memperhatikan pasukan yang semakin banyak berkumpul itu dengan saksama. Namun dengan demikian Agung Sedayu mengetahui bahwa pasukan Pati memang dalam keadaan parah. Jika Kanjeng Adipati tidak segera memerintahkan pasukannya menarik diri dari benteng perkemahan itu, maka keadaaannya tentu akan menjadi semakin buruk. Bahkan mungkin buruk pula bagi Kanjeng Adipati sendiri. Namun agaknya para prajurit Pati tidak terlalu lama berada di tempat itu. Setelah beristirahat, makan dan minum secukupnya, terdengar isyarat yang memanggil semua pemimpin kesatuan untuk berkumpul. Meskipun Agung Sedayu tidak dapat menyaksikan dan mendengarkan pembicaraan itu, tetapi Agung Sedayu dapat menduga bahwa para pemimpin Pati itu sedang membicarakan langkah-langkah yang akan diambil. Sebenarnyalah, Kanjeng Adpati Pati sendiri telah memimpin pertemuan itu. Selain mendengarkan laporan para pemimpin kesatuan di dalam pasukan Pati yang besar itu, Kanjeng Adipati juga memberikan perintah-perintah kepada mereka. Dari para Senapati, Kanjeng Adipati Pragola mendengar bahwa keadaan pasukannya memang parah. Sebagian dari para prajurit masih belum sampai ke tempat itu. Mungkin mereka kehilangan arah, tersesat atau bahkan tertangkap oleh pasukan Mataram. Tetapi Kanjeng Adipati tidak dapat menunggu lebih lama lagi. Untuk menjaga segala kemungkinan, maka pasukannya harus segera meninggalkan tempat itu sebelum dini hari. “Kita tidak tahu apakah pasukan Mataram itu memburu kita atau tidak. Dalam keadaan seperti ini, sulit bagi kita untuk bertahan,“ berkata Kanjeng Adipati Pragola. Dengan demikian, maka Kanjeng Adipati Pragola memang harus menarik pasukannya ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Demikianlah, Agung Sedayu menyaksikan pasukan yang masih terhitung besar tetapi dalam keadaan luka itu, bergerak lagi menuju ke utara. Agung Sedayu menyaksikan iring-iringan pasukan yang letih itu bergerak perlahan-lahan di dini hari. Sementara itu, dengan cepat pula para petugas yang menyiapkan makan dan minum mereka mengemasi alat-alat yang ada. Namun alat-alat itu segera disimpan di dalam sebuah rumah yang terhitung besar. Mereka tidak lagi menghiraukan sisa bahan pangan yang masih ada. Tidak seorang pun tinggal di padukuhan itu. Jika agaknya sebelumnya ada sekelompok petugas yang ada di padukuhan itu, maka mereka telah hanyut pula dalam iring-iringan pasukan yang menarik diri itu. Sepeninggal prajurit Pati itu, Agung Sedayu sempat melihat-lihat keadaan di padukuhan itu. Masih ada sisa bahan makanan di padukuhan itu. Masih tertinggal alat-alat dapur dan perlengkapan lainnya. Bahkan masih ada setumpuk senjata di sebuah rumah yang juga terhitung besar. Agaknya setelah Ngaru-Aru, maka padukuhan ini menjadi landasan dan penyimpanan persediaan bahan pangan. Namun Agung Sedayu harus segera menyembunyikan diri, ketika kemudian datang lagi sekelompok kecil prajurit Pati. Orang-orang yang dengan lemah memasuki padukuhan itu. Namun mereka menjadi kecewa bahwa mereka sudah tidak menemukan kawan-kawan mereka lagi. Dari bekas-bekas yang mereka lihat serta beberapa oncor yang masih menyala, mereka mengetahui bahwa kawan-kawan mereka telah meninggalkan tempat itu beberapa saat sebelumnya. Namun mereka menjadi sedikit terhibur ketika mereka masih menemukan beberapa bakul nasi hangat. Meskipun mereka tidak menemukan lauk-pauk lagi, tetapi mereka masih mendapatkan sekuah sayur yang masih hangat. Orang-orang yang letih dan lapar itu pun telah makan dengan lahapnya. Mereka tidak lagi memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Mereka tidak lagi memperhitungkan kemungkinan hadirnya prajurit Mataram di tempat itu. “Kekuatan mereka kecil,“ desis prajurit pengawal Agung Sedayu, “pasukan kita dapat menghancurkan mereka.” Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Biarlah mereka tetap hidup. Jika kita menghancurkan mereka, akibat yang timbul tidak akan banyak pengaruhnya. Sementara itu kita telah menebas harapan yang telah tumbuh di hati mereka.” Kedua pengawal Agung Sedayu itu pun terdiam. Mereka sebenarnya sudah menduga, bahwa mereka akan mendengar jawaban seperti itu dari mulut Agung Sedayu. Kelompok kecil itu tidak terlalu lama berada di padukuhan itu. Sejenak kemudian, mereka pun telah berangkat pula, meninggalkan nasi yang masih cukup banyak. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah membawa kedua orang prajurit pengawalnya kembali ke pasukan kecilnya. Ternyata tiga orang di antara mereka telah berhasil mendapatkan seonggok beras dari padukuhan yang sepi di sebelah. Nampaknya jalur yang cukup luas telah dikosongkan ketika pasukan Pati mulai bergerak ke tempat yang lebih aman. Menjelang fajar, Agung Sedayu telah membawa pasukannya untuk bergerak pula. Mereka harus yakin bahwa pasukan Pati yang mengundurkan diri itu benar-benar menarik pasukannya sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Jarak antara pasukan kecil yang dipimpin Agung Sedayu itu dengan pasukan Pati memang agak jauh. Tetapi mereka tidak pernah kehilangan jejak. Agung Sedayu tahu pasti sampai dimana pasukan Pati itu bergerak. Agung Sedayu sendiri dengan kedua orang prajurit terpilihnya selalu berusaha mengamati langsung pasukan Pati itu. Ketika di malam hari pasukan Pati itu berhenti sejenak untuk beristirahat di tempat-tempat yang memang berada di jalur gerak pasukannya, Agung Sedayu selalu berusaha untuk mendekat. Demikianlah, Agung Sedayu baru akan menghentikan pengamatannya jika pasukan Pati itu telah benar-benar berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Kepada pasukan kecilnya Agung Sedayu memerintahkan untuk beristirahat satu hari, untuk meyakinkan bahwa pasukan Pati itu benar-benar bergerak terus ke utara. Sementara itu, Agung Sedayu mengijinkan prajurit-prajuritnya untuk berburu ke dalam hutan terdekat, sementara Agung Sedayu sendiri mengamati gerak pasukan Pati sehingga benar-benar hilang di utara Pegunungan, memasuki lembah yang luas, menyusuri jalan yang berkelok seperti ular yang merambat di antara hijaunya pepohonan. Baru kemudian Agung Sedayu berniat untuk membawa pasukan kecilnya itu kembali ke Prambanan. Jarak yang cukup panjang, sehingga perjalanan sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu merupakan perjalanan yang berat, karena mereka tidak membawa bekal sama sekali. Agung Sedayu dan kedua orang prajurit pengawalnya yang baru kembali dari pengamatannya atas prajurit Pati yang bergerak ke utara terkejut, ketika ia melihat dua orang yang tidak dikenalnya berada didalam pasukan kecilnya. “Inilah Ki Lurah Agung Sedayu. Pemimpin kelompok ini,“ berkata seorang prajurit yang diserahi pimpinan jika Agung Sedayu dan kedua orang pengawalnya memisahkan diri. Kedua orang itu bangkit dan dengan hormatnya mengangguk kepada Agung Sedayu. “Maaf, Ngger,“ berkata orang itu. Seorang tua yang berjanggut pendek keputih-putihan, “Aku datang tanpa mohon ijin lebih dahulu.” “Siapakah Ki Sanak berdua?” bertanya Agung Sedayu. “Kami penghuni padepokan Tlaga Kuning, Ngger,“ jawab orang berjanggut pendek itu, “orang memanggilku Kiai Tambak Gede.” “Apakah maksud Kiai datang ke tempat ini?” bertanya Agung Sedayu. “Ki Lurah,“ berkata orang itu, “kami ingin sekali mempersilahkan sekelompok pasukan kecil ini untuk singgah di padepokan kami. Kami ingin sekali mempersilahkan para prajurit yang gagah berani ini untuk sekedar beristirahat barang satu malam. Kami ingin memberikan satu penghormatan atas keberhasilan para prajurit ini melaksanakan tugas.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kiai Tambak Gede. Kami mengucapkan banyak terima kasih atas perhatian Kiai terhadap pasukan kami. Tetapi Kiai jangan menilai bahwa kami sudah berhasil melaksanakan tugas kami.” “Kenapa belum berhasil? Bukankah kalian bertugas mengikuti pasukan Pati yang mengundurkan diri sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng? Sekarang, pasukan Pati itu sudah berada di sebelah utara Pegunungan Kendeng. Nah, bukankah dengan demikian berarti bahwa tugas kalian sudah berhasil?” “Kami tidak bertugas mengikuti pasukan Pati itu Kiai,“ jawab Agung Sedayu. Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Jadi apakah tugas kalian?” “Kami bertugas untuk menemukan seseorang di jalur perjalanan pasukan Pati. Tetapi kami gagal, kelompok-kelompok prajurit Pati yang terlambat yang telah kami sergap dan kami hancurkan, tidak terdapat orang yang harus kami temukan. Mungkin orang itu justru sudah berada di induk pasukan bersama Kanjeng Adipati Pragola.” “Jika demikian, bukankah itu bukan kesalahan Ki Lurah?” bertanya Kiai Tambak Gede. “Memang bukan salahku, Kiai. Tetapi tugasku telah gagal. Karena itu, tidak pantas aku menerima undangan Kiai Tambak Gede.” “Jangan berpikir terlalu jauh, Ngger. Sekarang, sisihkan segala macam persoalan. Aku mengundang Angger dan prajurit-prajurit Angger untuk singgah di padepokanku.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian,ia-pun menjawab, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Tetapi aku mohon maaf Kiai, bahwa aku tidak dapat memenuhi undangan Kiai. Bahkan kami mohon diri untuk kembali, menyerahkan diri untuk mendapatkan hukuman atas kegagalan kami.“ Para prajurit dari Pasukan Khusus itu termangu mangu. Mereka tidak tahu apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi mereka tanggap, bahwa Agung Sedayu agaknya berkeberatan untuk singgah di padepokan Kiai Tambak Gede. Namun Kiai Tambak Gede itu pun berkata, “Ki Lurah, jangan terlalu tertekan karena tugas-tugas Ki Lurah. Apapun yang terjadi, biarlah terjadi. Namun aku mohon, Ki Lurah sempat melupakan beban itu barang satu malam saja.” Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Sekali lagi aku mohon maaf. Kiai. Tetapi aku ingin datang pada satu kesempatan yang lain.” Orang berjanggut putih itu mengerutkan dahinya. Dari sorot matanya terpancar kekecewaan hatinya yang mendalam. Namun Agung Sedayu tidak dapat mengubah keputusannya untuk segera meninggalkan tempat itu. Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kalanya dengan nada rendah, “Apaboleh buat. Jika Angger tidak bersedia singgah, maka apa yang telah kami lakukan tidak berarti sama sekali.” “Apa yang telah Kiai lakukan?“ bertanya Agung Sedayu. “Anak-anak, maksudku para cantrik, telah memotong tidak hanya seekor kambing. Tetapi beberapa ekor. Aku tidak tahu, untuk apa daging sebanyak itu.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Bukankah para cantrik di padepokan Kiai akan dapat menyelesaikannya?” “Tetapi yang membuat kami kecewa adalah bahwa pasukan Mataram ini tidak sempat singgah di padepokan kami. Adalah satu kebanggaan bagi kami, bahwa padepokan kami pernah menjadi tempat pasukan Mataram singgah.” “Sekali lagi aku minta maaf Kiai, dan sekali lagi aku mengucapkan terima kasih,“ sahut Agung Sedayu. Beberapa orang prajurit yang mendengar pembicaraan itu sebenarnya memang menjadi kecewa. Jika mereka sempat singgah, maka mereka akan mendapat kesempatan beristirahat dengan tenang, sambil menikmati hidangan yang tentu lebih baik dari daging rusa yang mereka panggang di atas perapian, di padukuhan yang kosong. Tetapi tidak seorang pun yang berani mengatakannya. Demikianlah, Kiai Tambak Gede dan seorang pengiringnya itu pun kemudian telah minta diri. Ia masih saja menyatakan kekecewaannya bahwa Ki Lurah Agung Sedayu tidak bersedia singgah barang sebentar di padepokan Kiai Tambak Gede. Demikian Kiai Tambak Gede meninggalkan mereka, Agung Sedayu segera memerintahkan pasukan kecilnya bersiap untuk kembali ke Prambanan. “Kita berangkat sekarang juga,“ berkata Agung Sedayu. Namun kemudian ia masih juga sempat bertanya, “Bagaimana mungkin kedua orang itu dapat menemukan kalian?” “Kami tidak tahu, Ki Lurah. Yang kami ketahui tiba-tiba saja keduanya telah menemui kami di sini, untuk menyatakan keinginannya agar kami bersedia singgah.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku tidak senang bahwa ada orang yang tiba-tiba saja ada di antara kita.” Para prajuritnya dapat mengerti sikap Ki Lurah Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Orang yang menyebut dirinya Kiai Tambak Gede itu tahu benar apa yang sedang kita lakukan. Tentu bukan secara kebetulan atau sekedar dugaan. Tetapi orang itu tentu sudah mengamati gerak-gerak kita sebelumnya.” Prajurit yang diserahi memimpin pasukan kecil itu jika Agung Sedayu sedang mendekati gerak pasukan Pati dengan nada berat berkata, “Ya. Seharusnya kami menghindari pengamatan orang lain. Tetapi kami ternyata tidak menghindarkan diri dari pengamatan Kiai Tambak Gede.” “Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “kita berangkat sekarang. Secepatnya.” Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Mereka memang tidak membawa perlengkapan lain kecuali senjata mereka masing-masing. Beberapa saat kemudian, pasukan kecil itu mulai bergerak kembali ke Prambanan. Namun kecurigaan Agung Sedayu membuat pasukan itu menjadi sangat berhati-hati. Sementara itu, malam yang turun pun menjadi semakin dalam. Udara yang dingin menyapu bulak-bulak panjang yang membentang di hadapan mereka. Tetapi Agung Sedayu yang berjalan di paling depan telah memberi isyarat kepada pasukan kecilnya itu untuk berhenti. “Berhati-hatilah,“ desis Agung Sedayu. “Ada apa Ki Lurah?“ bertanya seorang prajurit. Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia mulai mengetrapkan ilmunya Sapta Pandulu, untuk dapat melihat lebih jauh dan lebih tajam meskipun di gelapnya malam. “Aku melihat bayangan yang bergerak di balik gerumbul-gerumbul perdu di belakang simpang empat itu.” Prajuritnya mengerutkan dahinya. Beberapa orang mencoba untuk mempertajam penglihatan mereka. Meskipun mata mereka cukup terlatih, tetapi mereka tidak segera dapat melihat sesuatu selain gelapnya malam. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan berjalan terus. Tetapi berhati-hatilah. Aku merasakan bahwa kita ada dalam bayangan niat buruk sekelompok orang. Mungkin mereka akan menyergap dengan tiba-tiba dari sebelah-menyebelah jalan. Bersiaplah dengan senjata kalian.” Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera mempersiapkan diri. Mereka harus memperhatikan hijaunya tanaman di sawah sebelah-menyebelah jalan, yang tumbuh dengan suburnya meskipun untuk beberapa lama tidak sempat dipelihara oleh pemiliknya, yang pergi mengungsi dari daerah jalur rawan yang mungkin dilewati pasukan dari Pati. Baru kemudian, para prajurit dari Pasukan Khusus itu meyakini bahwa mereka benar-benar dalam bahaya. Mereka mulai melihat gerak-gerak yang mencurigakan di sebelah-menyebelah jalan yang mereka lewati. Dengan demikian, maka para prajurit itu telah mempersiapkan senjata mereka. Senjata yang akan menjadi sangat berbahaya di tangan prajurit dari pasukan Khusus, yang telah ditempa dalam satu lingkungan yang khusus pula. Ketika Agung Sedayu yang berjalan di paling depan mendekati sebatang pohon gayam yang besar yang tumbuh di dekat simpang empat itu, ia berhenti sambil mengangkat tangannya, memberikan isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Para prajurit dari pasukan Khusus itu pun berhenti. Namun mereka tetap berhati-hati. Dengan senjata di tangan, mereka memperhatikan setiap gerakan di belakang tanaman yang tumbuh di kotak-kotak sawah di sebelah menyebelah jalan. Tiga orang muncul dari kegelapan di bawah bayangan pohon gayam yang besar dan berdaun lebat itu. Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut ketika ia melihat Kiai Tambak Gede dan dua orang pengiringnya melangkah mendekatinya sambil berkata, “Selamat malam Ki Lurah Agung Sedayu.” Para prajurit dari pasukan Khusus itulah yang merasa heran. Tetapi tidak terlalu lama. Mereka mulai dapat mengerti, apa yang sebenarnya mereka hadapi. “Untunglah bahwa Ki Lurah mempunyai panggraita yang tajam,“ berkata salah seorang prajurit kepada kawannya. “Ya. Jika tidak, kita akan terjebak. Lebih parah lagi, jika daging kambing yang disuguhkan kepada kita itu beracun. Maka mereka tidak usah dengan susah payah bertempur dan membantai kita di dalam jebakan mereka, karena kita akan mati dengan sendirinya karena racun itu.” Kawannya mengangguk-angguk. Sementara para prajurit yang lain pun bersyukur pula di dalam hati atas ketajaman panggraita Ki Lurah Agung Sedayu. Agung Sedayu berdiri tegak diapit oleh dua orang prajurit kepercayaannya. Dengan nada dalam ia menjawab, “Selamat malam Ki Tambak Gede.” “Kita bertemu lagi Ki Lurah.” “Begitu cepat kita bertemu lagi,“ jawab Agung Sedayu. “Ki Lurah, aku masih ingin mengulangi undanganku.“ “Apakah aku masih harus menjawab lagi, Ki Tambak Gede ?” Agung Sedayu justru bertanya. “Jangan begitu kasar, Ngger. Sebaiknya kau paksa dirimu untuk mendengarkan kata-kataku.” “Ki Tambak Gede,“ berkata Agung Sedayu, “sudahlah. Sebaiknya Ki Tambak Gede dapat mengerti tugas yang aku emban. Aku harus segera kembali dan memberikan laporan atas kegagalanku. Jika aku akan mendapat hukuman, biarlah hukuman itu cepat aku jalani. Jika aku mendapatkan pengampunan, biarlah aku segera berlega hati.” “Ki Lurah,“ berkata Ki Tambak Gede, “jika kau tetap menolak, sudah tentu aku merasa tersinggung. Bukan saja aku pribadi, tetapi seluruh warga perguruan Tlaga Kuning akan merasa tersinggung. Perguruan kami adalah perguruan yang besar dan dihormati. Tetapi kau Ngger, hanya seorang Lurah Prajurit, berani menolak undanganku.” Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Sudahlah Ki Tambak Gede. Jangan berbelit-belit. Katakan apa sebenarnya maksudmu. Aku sudah muak dengan kepura-puraanmu itu.” Wajah Ki Tambak Gede menjadi tegang. Namun kemudian tiba-tiba saja ia tertawa. Wajahnya yang mulai berkeriput itu segera berubah. Yang nampak di sorot matanya bukan lagi ungkapan hatinya yang kecewa, tetapi di matanya membayang kebencian yang mendalam. Dengan kasar Ki Tambak Gede itu pun berkata, “Baiklah, Ki Lurah. Aku akan berterus terang. Aku adalah seorang pemimpin perguruan yang telah bersumpah untuk mengabdi kepada Kanjeng Adipati Pati. Tetapi aku terlambat sampai ke Pati. Ketika pasukan Pati mulai bergerak, aku tidak ada di perguruan. Meskipun aku sudah tahu bahwa pasukan Pati akan menyerang Mataram, tetapi aku kira tidak secepat yang dilakukan oleh Kanjeng Adipati Pragola.” “Kenapa kau tidak menyusul ke Prambanan?“ bertanya Agung Sedayu. “Aku memang berniat untuk menyusul. Tetapi prajurit Mataram yang berada di Jati Anom bergerak seperti burung alap-alap. Sementara aku bergerak dengan para cantrik yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Kami menemukan Ngaru-Aru sudah dihancurkan. Aku bertemu dengan sekelompok prajurit Pati yang terkoyak-koyak oleh sekelompok prajurit Mataram. Yang tersisa melarikan diri tanpa tujuan. Bahkan tidak tahu lagi, apa yang akan mereka lakukan. Mereka tidak mempunyai keberanian lagi untuk mencari dan bergabung dengan induk pasukannya, karena mereka ngeri bertemu dengan sekelompok prajurit Mataram yang bagaikan terbang menyambar-nyambar dan bahkan seakan-akan berada di segala tempat.” “Karena itu Ki Tambak Gede, mengurungkan niat untuk menyusul sampai ke Prambanan?” “Aku merasa bahwa pasukanku yang kecil tidak akan berpengaruh sama sekali.” “Lalu sekarang, apa yang akan kau lakukan?” bertanya Agung Sedayu. “Aku tahu bahwa pasukanmu juga hanya kecil. Aku kagum akan keberanianmu bergerak dengan pasukan yang kecil ini,“ jawab Ki Tambak Gede. “Tetapi sayang, bahwa justru karena itu maka pasukanmu telah menggelitik aku untuk menghancurkan pasukan kecilmu. Aku ingin menghancurkan kesombongan para prajurit Mataram. Aku akan membunuh kalian semua kecuali satu atau dua orang, agar mereka dapat menceritakan, bahwa kesombongan para prajurit Mataram sudah dihancurkan oleh sebuah perguruan. Nama perguruan kami yang sebenarnya bukan Tlaga Kuning. Dan namaku bukan Tambak Gede.” Orang itu pun berkata selanjutnya. “Tetapi kau tidak perlu mengetahui nama perguruanku dan namaku yang sebenarnya, karena itu sama sekali tidak perlu bagimu.” Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu berkata, “Tetapi sebelum aku membunuhmu, aku ingin mengatakan kekagumanku terhadap ketajaman perasaanmu. Ternyata kau tidak begitu saja menerima undanganku. Dan itu membuat kami semakin bernafsu untuk membunuh kalian semuanya, selain satu atau dua orang seperti aku katakan.” “Baiklah, Ki Sanak. Kami adalah prajurit. Kematian memang sudah membayang sejak kami menyatakan diri untuk menjadi seorang prajurit yang baik. Karena itu, kau tidak usah menakut-nakuti kami dengan kematian.” “Kau memang anak iblis,” geram orang semula mengaku bernama Kiai Tambak Gede itu, “melihat umurmu, maka kau masih belum pantas bertempur menghadapi aku. Tetapi karena kau pemimpin tertinggi yang ada, maka kau memang harus menghadapi aku. Nasibmu yang buruk telah membawamu ke tanganku.” Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sadar, bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang menginjak hari-hari tuanya dengan kematangan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka Agung Sedayu harus berhati-hati. Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu melihat orang itu memberikan isyarat. Ia telah mengangkat tangannya dan bahkan bersiut nyaring. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun segera bersiap. Dari belakang gerumbul dan tanaman di sawah yang kurang terpelihara itu, muncul sosok-sosok yang menggetarkan jantung. Para prajurit Mataram itu sudah ditempa dengan keras lahir dan batinnya. Namun terasa dada mereka berdegup semakin keras melihat orang-orang berpakaian gelap yang bermunculan, seakan-akan mencuat dari kegelapan. Sekali lagi terdengar isyarat dari orang berjanggut pendek yang sudah memutih itu. Dan sekali lagi jantung para prajurit itu tergetar. Mereka melihat semua orang yang muncul dari persembunyiannya itu mengambil sepotong kain berwarna kuning dan dikalungkannya di leher mereka. “Apa artinya itu,“ desis seorang prajurit. “Entahlah. Tetapi mereka datang dari padepokan Tlaga Kuning, sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu.” “Bukan,“ sahut yang pertama, “bukankah sudah dikatakannya bahwa mereka bukan murid-murid perguruan yang bernama Tlaga Kuning?” “Orang itu sedang mengigau. Apa saja yang dikatakan, tetapi kita akan menghancurkan mereka.” Prajurit yang pertama mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir.” “Atau mereka menghancurkan kita sampai orang yang terakhir pula.” “ Tidak. Ada satu atau dua orang yang akan disisakan. Nah, mudah-mudahan orang itu aku.” Kawannya tiba-tiba saja tertawa, sehingga semua orang berpaling kepadanya. “Ada apa?” bertanya seorang yang lain. “Maaf. Orang-orang yang muncul dari kegelapan itu nampaknya lucu sekali,“ jawab prajurit itu. Orang tua berjanggut putih itu menggeram. Ternyata prajurit Mataram tidak merasa ngeri melihat orang-orangnya yang berdiri tegak mematung di kotak-kotak sawah sebelah-menyebelah jalan. Dengan lantang orang itu berkata, “Kami mempunyai tiga lapis kekuatan. Yang kalian hadapi adalah pasukan Elang Emas. Tataran berikutnya adalah Elang Perak, dan lapisan yang tersusun dari para cantrik yang baru tumbuh adalah pasukan Elang Tembaga. Karena kami akan menghancurkan sekelompok prajurit Mataram, maka aku siapkan putut dan cantrik yang termasuk tataran kemampuan tertinggi.” “Ki Sanak. Kenapa tidak semua cantrikmu kau kerahkan? Bukankah pertempuran dengan prajurit Mataram akan menjadi pengalaman yang sangat baik bagi pasukan Elang Perak dan Elang Tembagamu itu?” bertanya Agung Sedayu. Orang itu menggeram. Katanya, “Kau benar-benar orang yang sombong, Ki Lurah. Tetapi kau akan menyesal.” “Tidak. Apapun yang terjadi, kami tidak akan menyesal. Bagi kami, jika kami harus kau bantai sampai habis, maka kami akan mati sambil tersenyum daripada mati sambil menangis. Kesombongan kadang-kadang memberikan kebanggaan bagi kami.” “Setan alas!“ bentak orang itu hampir berteriak. Lalu iapun berteriak pula, “Bunuh semua orang, kecuali dua orang yang menyerah dan mohon ampun! Siapa yang lebih dahulu menyerah dan mohon ampun, maka mereka-lah yang akan tetap hidup.” Agung Sedayu pun kemudian telah memberikan isyarat pula kepada prajurit-prajuritnya untuk memasuki sebuah pertempuran yang keras. Demikianlah, orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu mulai bergerak. Mereka semuanya bersenjata sebuah tongkat baja yang tidak terlalu panjang. Sejenak kemudian, orang-orang dari pasukan Elang Emas itu sudah meloncati parit di pinggir jalan dengan sigapnya. Tetapi prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah mempersiapkan senjata mereka pula. Sebagian besar prajurit dari Pasukan Khusus itu bersenjata pedang. Sedangkan sebagian kecil bersenjata tombak pendek. Tetapi sebagai kelengkapan dari Pasukan Khusus, maka mereka juga bersenjata pisau belati panjang yang mereka pergunakan dalam keadaan yang khusus. Tetapi bukan hanya itu. Sebenarnyalah dalam tugas yang berat itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu dilengkapi pula dengan pisau-pisau belati kecil yang merupakan senjata lontar yang sangat berbahaya. Sejenak kemudian kedua kekuatan itu sudah saling berbenturan. Orang-orang yang disebut pasukan Elang Emas itu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, mereka seluruhnya telah terlibat dalam pertempuran yang dengan cepat pula meningkat. Orang berjanggut pendek yang sudah keputih-putihan itu tertawa. Katanya, “Ki Lurah. Kau lihat bahwa orang-orangku lebih tangkas, lebih kuat, lebih terlatih dan lebih banyak. Apa yang kau andalkan? Kau sendiri tentu tidak akan mampu berbuat apa-apa di hadapanku. Jangankan seorang Lurah prajurit, seorang Tumenggung pilihan pun tidak akan dapat menandingi kemampuanku. Menurut perhitunganku, hanya ada lima orang yang dapat mengalahkan aku di seluruh wilayah kekuasaan Mataram dan Pati. Mereka adalah Panembahan Senapati, Ki Juru Mertani, Kanjeng Adipati Pragola, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi. Aku meragukan kemampuan orang-orang lain yang pernah disebut namanya di Mataram dan Pati. Aku tidak gentar mendengar nama Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, atau Adipati Pajang atau Adipati manapun juga. Juga nama-nama besar para Senapati Pati, dan bahkan orang-orang yang disebut berilmu tinggi yang ada di sekitar Kanjeng Adipati Pragola. Mereka tidak lebih dari penjilat-penjilat yang tidak mempunyai kemampuan apapun juga. Nah, sekarang kau hanya seorang Lurah prajurit. Pertimbangkan pendapatku. Bagaimana jika kau adalah orang pertama yang menyerah? Kau akan mendapat pengampunan, dan aku persilahkan kau pulang memberikan laporan kepada Panembahan Senapati, bahwa prajurit-prajuritmu telah habis dibantai oleh pasukan Elang Emas dari perguruan yang setia kepada Kanjeng Adipati Pati.” Agung Sedayu dengan serta merta menyahut, “Sebut nama perguruanmu dan sebut namamu.” “Itu tidak perlu Ki Lurah,” jawab orang itu. “Jika demikian, aku tidak akan menyerah. Laporanku tentu dianggap tidak lengkap. Apakah aku hanya cukup mengatakan bahwa pasukan kecilku dibantai oleh sebuah perguruan yang dipimpin oleh seorang yang berjanggut pendek yang sudah memutih?” Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Rasa-rasanya aku memang ingin membunuhmu.” Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Ia sadar bahwa lawannya tentu orang berilmu tinggi, yang menyejajarkan diri dengan seorang yang disebut Ki Gede Candra Bumi, dan bahkan Kanjeng Adipati Pragola sendiri. Melihat sikap Agung Sedayu, maka orang berjanggut Putih itu berkata, “Baiklah. Agaknya kau memang seorang Lurah prajurit yang baik. Karena itu, kita akan menyelesaikan persoalan kita di arena pertempuran. Agaknya kau ingin mati sebagai seorang prajurit. Bukan sebagai seorang pengecut.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur dengan garangnya. Ketika orang berjanggut putih itu sempat melihat sekilas, maka iapun menggeram, “Setan prajurit-prajurit Mataram.” Sebenarnyalah bahwa para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya lebih kecil dari lawannya itu mampu mengimbangi kekuatan lawannya. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu tidak mampu menguasai medan. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu bertempur sambil bergerak dengan cepat. Mereka bergeser menghindar, namun sambil menyerang. Orang-orang yang disebut dari pasukan Elang Emas itu dengan cepat telah mengerahkan kemampuan mereka. Agaknya pemimpinnya itu telah memerintahkan agar mereka dengan cepat pula menguasai lawannya. Bahkan membunuh mereka sampai hanya tersisa dua orang saja. Tetapi ternyata mereka tidak segera dapat melakukannya. Meskipun Pasukan Elang Emas adalah mereka yang terpilih dari tataran terbaik dari perguruannya, tetapi menghadapi Pasukan Khusus yang ditempa oleh Agung Sedayu itu, para putut dan cantrik terpilih itu tidak segera dapat menguasainya. Sebenarnyalah para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak ubahnya para cantrik dari sebuah padepokan yang berlatih dengan bersungguh-sungguh tanpa mengenal jenuh. Mereka ditilik secara pribadi oleh Agung Sedayu, seorang Lurah prajurit yang kebetulan memiliki landasan ilmu yang sangat tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran itu pun kemudian telah menjadi semakin sengit. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berusaha dengan cepat menghancurkan lawan-lawannya, sementara para prajurit dari Pasukan Khusus pun dengan tegar mengimbanginya. Untuk beberapa saat orang berjanggut pendek yang berwarna keputih-putihan itu sempat melihat keadaan medan. Dahinya berkerut semakin dalam. Ia tidak menduga, bahwa kemampuan prajurit Mataram itu mampu mengimbangi para putut dan cantrik terpilihnya, yang termasuk dalam pasukan Elang Emas itu. Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu harus mengerahkan kemampuan mereka. Namun bekal mereka memang sudah cukup untuk menghadapi pasukan Elang Emas itu. Dengan pedang keprajuritan yang dibuat khusus bagi Pasukan Khusus itu, para prajurit Mataram menghadapi tongkat-tongkat baja di tangan para putut dan cantrik itu. Beberapa orang prajurit yang bersenjata tombak pendek memutar tombaknya seperti baling-baling. Benturan benturan telah terjadi. Para putut dan cantrik itu berusaha untuk mematahkan landean tombak pendek yang terbuat dari kayu itu. Tetapi tangan-tangan para prajurit yang trampil itu mampu menghindari benturan langsung. Bahkan sedap kali ujung tombak itu terayun mendatar menyambar ke arah lambung dan dada, sehingga para cantrik itu harus berloncatan mundur. “Apa yang telah kau perbuat atas para prajuritmu, sehingga mereka memiliki kemampuan secara pribadi yang tinggi itu?” bertanya orang berjanggut pendek itu. “Bukankah setiap prajurit Mataram harus berilmu tinggi?“ jawab Agung Sedayu. “Kau memang sombong. Tetapi sebentar lagi kau akan mati, dan semua prajuritmu akan mati.” Agung Sedayu tidak mejawab. Ketika orang berjanggut pendek itu bergeser, maka Agung Sedayu pun bergeser pula. “Tetapi kau memang tidak akan mati lebih dahulu, Ki Lurah. Aku akan melumpuhkanmu dan memaksamu melihat satu demi satu prajurit-prajuritmu dibantai di hadapanmu, sementara kau tidak dapat melindunginya. Baru kemudian, setelah tinggal dua orang prajuritmu yang akan tersisa hidup, kau akan aku cekik sampai mati. Nah, sekarang bersiaplah.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Tetapi ia sudah benar-benar bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Dengan segala keyakinan untuk dengan cepat menguasai Lurah yang masih terhitung muda itu, orang berjanggut pendek itu mulai mengayunkan tangannya. Sekedar untuk memancing lawannya. Tetapi Agung Sedayu pun turun ke medan dengan keyakinan yang teguh. Tanpa merendahkan lawannya. Agung Sedayu menghadapinya dengan tenang dan percaya diri. Melihat sikap Ki Lurah itu, maka darah orang berjanggut pendek itu menjadi semakin panas. Karena itu, sejenak kemudian serangan-serangannya pun mulai mengarah. Tenaganya menjadi semakin besar, dan geraknya pun menjadi semakin cepat. Tetapi Agung Sedayu pun selalu mampu mengimbanginya. Agung Sedayu pun telah meningkatkan tenaganya serta mempercepat geraknya sebagaimana lawannya. Dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis. Lawan Agung Sedayu yang ingin mengetahui puncak kemampuan ilmu Agung Sedayu itu mulai menjadi gelisah. Kemampuan yang ditunjukkan oleh Lurah prajurit itu sudah lebih tinggi dari yang diduganya. Tetapi ketika orang itu meningkatkan kemampuannya selapis lagi, ternyata Agung Sedayu masih tetap mampu bertahan. “Darimana kau sadap ilmumu itu Ki Lurah?“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat menghindari serangan lawannya sambil menjawab, “Aku adalah Lurah prajurit dari Pasukan Khusus. Karena itu, aku telah mendapat latihan-latihan yang berat dari para Senapati di Mataram.” “Kau jangan membual. Setinggi-tinggi ilmu seorang Lurah prajurit, tidak akan mampu melawan aku sampai tataran ini.” “Ternyata aku dapat melakukannya. Sementara prajurit-prajuritku mampu melawan orang-orangmu yang terbaik, yang kau sebut pasukan Elang Emas itu.” “Tidak ada orang Maratam yang mampu melawan aku, kecuali Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati sendiri.” “Omong kosong. Nampaknya kau belum pernah bertemu dengan para pemimpin Mataram, para Tumenggung dan Senapati terpilihnya. Kau juga belum pernah bertemu dengan orang-orang tua di padepokan-padepokan dan perguruan-perguruan.” “Cukup. Aku akan membungkam mulutmu,“ geram orang itu. Agung Sedayu meloncat mengambil jarak. Sambil tertawa ia berkata, “Kenapa kau masih mengambil ancang-ancang. Bukankah kita sudah bertempur? Jika kau mampu membungkam mulutku, tentu sudah kau lakukan.” Orang itu menggeram. Wajahnya menegang dan sambil menggeretakkan gigi ia berkata, “Aku akan memaksamu merengek minta ampun, atau bahkan minta aku segera membunuhmu.” “Apa lagi yang akan kau lakukan? Apa lagi yang kau tunggu Ki Sanak?” Orang itu menjadi semakin marah. Karena itu, maka iapun segera meloncat menyerang dengan garangnya. Agung Sedayu meloncat sekali lagi mengambil jarak. Ia mulai merasakan sentuhan udara yang hangat menyambar tubuhnya, sejalan dengan ayunan tangan lawannya itu. Agung Sedayu meloncat surut untuk mengambil jarak. Sementara itu, lawannya ternyata tidak segera memburunya. Seakan-akan orang berjanggut pendek itu sengaja memberi kesempatan Agung Sedayu untuk menilai keadaan. “Apakah kau akan berusaha melarikan diri?“ bertanya orang itu. “Kenapa aku harus melarikan diri?” bertanya Agung Sedayu, “Aku masih utuh. Kulitku belum tergores luka dan darahku masih mengalir wajar di dalam tubuhku.” “Tetapi kau mulai mencium kemampuanku,“ jawab orang itu. Agung Sedayu tertawa pendek. Katanya, “Kau sejak tadi hanya berbicara tentang kemampuan, mengancam dan mengambil ancang-ancang. Tetapi kau tidak dapat berbuat apa-apa.” Orang berjanggut pendek dan berwarna keputih-putihan itu menggeram. Iapun segera meloncat menyerang pula. Ayunan tangannya mendatar ke arah kening. Namun Agung Sedayu sempat meloncat mengelakkan serangan itu. Serangan itu memang tidak berhasil. Namun sambaran anginnya telah memancarkan udara panas, menerpa kulit Agung Sedayu. Telah berkali-kali Agung Sedayu menjumpai ilmu seperti itu. Ia sendiri mampu melakukannya. Jika ia menghentakkan ilmu kebalnya pada puncak tertinggi, maka kekuatan ilmu kebalnya itu juga memancarkan getar panas yang memanasi udara di sekitarnya. Karena itu, Agung Sedayu sama sekali tidak terkejut. Dengan demikian, pertempuran selanjutnya pun masih berlangsung dengan sengitnya. Udara panas itu tidak banyak berpengaruh atas Agung Sedayu. Loncatan-loncatan yang panjang mampu memperkecil pengaruh udara panas atas kulit Agung Sedayu. Lawan Agung Sedayu itu menjadi semakin heran. Ilmunya itu seakan-akan tidak berarti sama sekali bagi Agung Sedayu. “Lurah prajurit yang masih terhitung muda ini ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi,“ berkata orang itu di dalam hatinya. Ia memang menjadi heran, bahwa seorang Lurah prajurit dapat bertahan sampai tataran yang terhitung tinggi itu. “Aku tidak yakin, bahwa kemampuannya itu didapatnya dari lingkaran keprajuritan,“ katanya di dalam hati. Namun kemarahan orang itu telah mendorongnya untuk melepaskan ilmu yang lebih tinggi lagi. Bukan saja getar sambaran angin dari ayunan serangan-serangannya terasa panas. Tetapi serangan-serangan orang itu menjadi semakin cepat. Agung Sedayu terkejut ketika tiba-tiba saja tubuhnya terguncang dan bahkan ia terlempar beberapa langkah surut. Lawannya sama sekali tidak menyentuh wadagnya. Tetapi rasa-rasanya sebuah pukulan yang keras telah mengenai dadanya. Semula Agung Sedayu menduga bahwa ia berhadapan dengan orang yang memiliki ilmu yang mempunyai ciri serangan-serangannya mendahului sentuhan kewadagannya, sebagaimana yang pernah juga dihadapinya. Tetapi ternyata tidak. Orang itu berdiri pada jarak yang tidak terlalu dekat. Juga tidak nampak kilat sinar atau percikan warna yang meloncat dari tangan atau sorot matanya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu memang agak mengalami kesulitan untuk menghindari serangan-serangan orang itu. Beberapa kali Agung Sedayu telah terguncang. Meskipun ia berusaha untuk menghindar, namun serangan-serangan itu masih selalu mengenainya. Agung Sedayu hanya dapat menduga arah serangan lawannya dari sudut pandang matanya serta arah gerak tangannya. Namun kadang-kadang ia memang terlambat. Setiap kali Agung Sedayu terguncang, maka orang itu pun tertawa sambil berkata, “Jangan menyesal Ki Lurah. Kau akan menjadi sasaran permainan ilmuku. Kau akhirnya akan kehabisan tenaga, kesakitan dan penuh penyesalan. Dalam keadaan yang demikian, kau akan melihat prajurit-prajuritmu dibantai habis oleh orang-orangku dari pasukan Elang Emas.” Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi beberapa kali ia masih terguncang, jatuh berguling dan kemudian meloncat bangkit. Suara tertawa orang berjanggut putih pendek itu terdengar berkepanjangan. Serangannya semakin lama semakin sering. Ia menjadi semakin gembira melihat Agung Sedayu jatuh dan bangun menghadapinya. Namun akhirnya Agung Sedayu itu mengibaskan pakaiannya sambil berkata, “Maaf Ki Sanak. Aku sudah jemu bermain-main dengan cara ini. Apakah kau masih mempunyai permainan lain yang lebih menyenangkan?” Orang itu terkejut. Ketika ia menyerang lagi, maka Agung Sedayu masih saja tetap berdiri, meskipun sekali-kali ia bergeser setapak. “Iblis. Kau pakai perisai apa Ki Lurah?“ bertanya orang itu hampir berteriak. Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa sambil berkata, “Permainanmu mulai menjemukan Ki Sanak.” Beberapa kali orang itu menyerang. Tetapi serangannya sia-sia saja. Agung Sedayu telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebalnya, sehingga serangan-serangan orang itu tertahan tanpa menyakitinya. Orang berjanggut pendek itu menggeram. Tetapi ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu, bahwa lawannya, seorang lurah Prajurit, telah mampu mengimbangi ilmunya. Karena itu, kemarahannya pun telah membakar jantungnya, sehingga orang itu pun telah menghentakkan ilmunya sampai ke puncak. Serangan-serangannya memang mampu menggetarkan perisai Ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi ilmunya itu tidak mampu menembusnya. Semakin meningkat kekuatan ilmunya sehingga mencapai puncaknya, maka ilmu kebal Agung Sedayu pun menjadi semakin rapat dan semakin tebal pula. Akhirnya orang itu harus mengakui, bahwa ilmunya itu tidak akan mampu menembus perisai ilmu lawannya. Karena itu, maka iapun menggeram, “Darimana kau curi ilmu kebalmu itu, he?” “Kenapa harus mencuri?“ bertanya Agung Sedayu. “Persetan dengan ilmu kebalmu. Tetapi dengan pusakaku, kau tidak akan mampu bertahan. Pusakaku akan mampu mengoyak ilmu kebalmu dan langsung menghunjam ke dalam jantungmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Namun jantungnya memang menjadi berdebar-debar ketika ia melihat lawannya itu mencabut sebilah keris. “Jangan menyesal,” geram orang itu, “kerisku akan mengakhiri kesombonganmu.” Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari bahwa keris lawannya adalah keris yang sangat baik. Bukan saja buatannya. Bukan pula karena pamornya serta permata yang melekat pada ukirannya. Tetapi nampaknya keris itu memang pusaka yang diandalkannya, sehingga keris itu dapat meningkatkan kekuatan jiwani serta ketegaran hati orang yang memegangnya. Ketika keris itu mulai berputar, maka Agung Sedayu pun mulai merasakan sentuhan getaran udara panas yang seakan-akan menjadi berlipat. Apalagi ketika keris itu diayunkan. Rasa-rasanya kemampuan lawannya itu mulai menyusup ilmu kebalnya sedikit demi sedikit. Rasa-rasanya ujung-ujung dari mulai menyentuh kulitnya di bawah lapisan ilmu kebalnya. Agung sedayu pun menyadari, bahwa dengan keris di tangannya, orang itu menjadi semakin tegar, sehingga kemampuan ilmunya menjadi bertambah. Tetapi Agung Sedayu pun mengerti, jika angin yang timbul dari ayunan senjatanya saja telah mampu menyusup ilmu kebalnya, maka ujung keris itu sendiri tentu akan mampu menembus kulitnya dan mengoyakkan dagingnya. Bahkan ujung keris itu tentu akan mampu menghunjam di dadanya dan menembus sampai ke jantung. Karena itu, Agung Sedayu tidak akan membiarkan dirinya mengalami cedera. Sehingga dengan demikian, iapun harus menggapai tataran yang lebih tinggi lagi untuk melawan orang berjanggut putih itu. Namun dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di sekitarnya pun minta perhatiannya pula. Ternyata para prajuritnya mengalami kesulitan melawan pasukan Elang Emas yang jumlahnya memang lebih banyak itu. Lawannya yang mengetahui bahwa perhatian Agung Sedayu sekilas tertarik kepada pertempuran di sekitarnya pun berkata, “Ki Lurah. Pertempuran tidak akan berlangsung lama lagi. Satu-satu orang-orangmu akan mati terkapar di bulak ini. Besok pagi burung-burung gagak akan bersantap di sini.” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi Agung Sedayu tidak meneriakkan aba-aba. Ia mulai melihat bahwa prajurit-prajuritnya dari Pasukan Khusus itu mampu mengambil keputusan untuk mengatasi kesulitannya tanpa mendapat perintahnya. Demikianlah, pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Tongkat-tongkat baja para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu berputaran menyambar-nyambar. Seorang prajurit yang bersenjata tombak, ternyata gagal menyelamatkan landean tombaknya. Ketika terjadi benturan yang sangat keras dengan seorang putut yang ilmunya mulai mapan, maka landean tombaknya itu patah. Malang bagi prajurit itu, yang terlepas dari tangannya adalah justru landean tombaknya yang di bagian ujungnya, sehingga mata tombaknya ikut terlepas pula. Lawannya mulai menyeringai seperti hantu yang memandang sosok korbannya. Selangkah demi selangkah ia maju mendekat. Tongkatnya mulai terayun-ayun siap menimpa dan memecahkan kepala prajurit yang kehilangan senjatanya itu. Namun tiba-tiba putut itu terpekik. Ia tidak mengira bahwa tiba-tiba saja, sebuah pisau kecil datang menyambarnya. Sejenak putut itu terhuyung-huyung. Namun sebuah pisau belati yang tajam yang lebih panjang telah mematuk dadanya, menghunjam sampai ke jantung. Putut itu pun jatuh terjerembab. Tetapi ia tidak sempat lagi mengaduh. Dengan demikian, maka pisau pisau kecil pun mulai berperan dalam pertempuran itu. Beberapa orang putut dan cantrik telah jatuh menjadi korban pisau-pisau kecil yang dilontarkan oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Orang berjanggut pendek itu pun mulai melihat perubahan keseimbangan yang terjadi di medan pertempuran itu. Tetapi orang itu tidak dapat berbuat banyak. Ia sendiri terikat dalam pertempuran dengan Lurah prajurit yang berilmu tinggi itu. Karena itu, yang dapat dilakukan oleh orang berjanggut pendek itu adalah meneriakkan perintah-perintah untuk meningkatkan gelora perlawanan bagi para putut dan cantrik-cantriknya. Para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu semakin lama memang semakin menguasai medan. Lawannya yang lebih banyak itu mulai menyusut meskipun perlahan-lahan. Seorang putut menjadi sangat marah, ketika lawannya melemparkan pisau kecil ke arah dadanya. Namun ia sempat menggeliat, sehingga pisau itu tidak tertancap di dadanya. Namun luka di lengannya itu telah menitikkan darah. Ketika putut itu bergerak semakin banyak, darah pun mengalir semakin banyak pula. “Licik kau,” geram Putut itu. “Kenapa?“ bertanya prajurit yang melukainya, sambil mempersiapkan diri menghadapi Putut yang melangkah mendekatinya sambil mengayun-ayunkan tongkat bajanya. “Kau melempar pisau-pisau kecil.” “Kenapa licik? Itu salah satu jenis senjataku,“ jawab prajurit itu. “Aku akan mencabik-cabik tubuhmu sampai lumat,” geram Putut itu. “O, kau kira kau benar-benar seekor burung elang yang mampu mencabik-cabik seekor anak ayam? He, jika seekor burung wulung terbang melingkar-lingkar, maka induk ayam pun berkotek memberi isyarat anak-anaknya agar bersembunyi. Tetapi wulung emas seperti kalian pun agaknya hanya dapat menakut-nakuti anak ayam.” Putut itu tiba-tiba berteriak sekeras-kerasnya. Getaran suaranya bagaikan mengguncang udara di seluruh medan pertempuran itu. Kemarahan yang bagaikan membakar jantung itu mencari saluran agar jantungnya tidak meledak. Prajurit itu terkejut. Bahkan para prajurit yang lain pun terkejut pula. Teriakan itu bagaikan membakar daun telinga. Para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas yang mendengar teriakan itu, bagaikan bangkit dari cengkaman kelelahan dan kesulitan menghadapi kemampuan lawan. Tiba-tiba saja mereka bergerak lebih cepat, dan kekuatan mereka yang menyusut pun telah tumbuh kembali. Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus itu sama sekali tidak tergetar. Mereka masih tetap bertempur dengan garang. Pisau kecil mereka masih saja menyambar-nyambar. Sementara itu, lawan Agung Sedayu itu pun telah mengerahkan kemampuan ilmunya pula. Menurut perhitungannya, para putut dan cantrik itu tidak segera dapat memenangkan pertempuran. Karena itu, maka ia harus segera mampu menembus ilmu kebal lawannya itu. Dengan demikian, maka keris itu pun berputar semakin cepat. Sambaran udara yang panas terasa semakin menekan. Getaran-getaran yang tajam terasa menusuk-nusuk kulit, menyusup ilmu kebalnya. Agung Sedayu yang mulai terdesak itu tidak ingin segera mempergunakan kemampuan sorot matanya. Tetapi sebagai murid utama dari perguruan Orang Bercambuk, maka Agung Sedayu pun segera mengurai cambuknya. Lawannya terkejut melihat cambuk Agung Sedayu. Bahkan ia bergeser selangkah surut. Dengan nada tinggi ia berdesis, “Orang Bercambuk. He, apakah kau mempunyai hubungan dengan Orang Bercambuk yang pernah berkeliaran di pesisir utara?” Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia bertemu dengan gurunya pertama kali di Dukuh Pakuwon, tidak terlalu jauh dari Sangkal Pulung. Tetapi pengembaraan Kiai Gringsing memang tidak terbatas. “Apakah kau pernah mengenal Orang Bercambuk?” bertanya Agung Sedayu. “Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah bertemu.” “Apakah kau menyangka bahwa akulah orang bercambuk itu?” “Tentu tidak,” jawab orang itu, “mungkin kau cucunya, atau murid dari murid Orang Bercambuk itu.” “Siapapun aku, tetapi aku adalah Lurah prajurit Mataram. Menyerahlah. Aku akan membawamu ke Prambanan. Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu, melawan prajurit Mataram yang sedang menjalankan tugasnya.” “Setan kau,” geram orang itu. Tiba-tiba saja serangannya datang membadai, sehingga Agung Sedayu harus berloncatan mundur beberapa langkah. Sementara itu, terdengar lagi seorang putut yang berteriak sekeras-kerasnya, sehingga seakan-akan dedaunan di pepohonan telah berguncang. Daun yang kering telah berguguran, berserakan di jalan yang kotor. Ternyata teriakan-teriakan oleh beberapa orang putut itu memang berpengaruh. Namun para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas telah terkejut pula, ketika tiba-tiba cambuk Agung Sedayu meledak. Getaran suara cambuk itu seakan-akan telah mengoyak selaput telinga para putut dan cantrik itu. Namun orang berjanggut pendek itulah yang kemudian tertawa. Katanya, “Aku salah duga. Ternyata kau tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu. Agaknya kau tidak lebih dari seorang gembala kambing yang kebetulan menjadi prajurit.” Agung Sedayu memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Tetapi ia tidak berniat menghentikan perlawanannya dengan sorot matanya. Tetapi cambuk yang sudah ada di tangannya itu mulai bergetar lagi. Satu ledakan lagi lelah mengguncang malam yang hiruk pikuk oleh pertempuran itu. Para putut dan cantrik semakin tergetar hatinya. Suara cambuk itu terdengar lebih keras dan menghentak daripada teriakan-teriakan para putut dan cantrik dari pasukan Elang Emas itu. Tetapi orang berjanggut pendek itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Ketika aku merasakan benturan ilmu kebal yang menyelimuti dirimu, aku mengira bahwa kau memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi mendengar ledakan cambukmu yang seolah olah mengguncang bumi itu, justru aku tahu bahwa kemampuanmu tidak lebih dari perisai ilmu kebalmu, yang pada puncak pengetrapannya memancarkan udara panas yang tidak banyak pengaruhnya itu.” Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Ki Lurah. Jika semula aku mulai mengagumimu, maka ternyata kemudian kau tidak lebih dari dugaan sebelum kita mulai bertempur. Karena itu, maka sekali lagi aku menawarkan, menyerahlah. Kau akan tetap hidup. Justru kau akan aku beri kesempatan untuk kembali menghadap Panembahan Senapati dan memberikan laporan, bahwa semua prajuritmu telah mati dibantai oleh seorang pengikut Kanjeng Adipati Pragola.” Agung Sedayu masih tetap tidak menjawab. Namun kemudian dihentakkannya cambuknya sendal pancing. Cambuk itu tidak meledak seperti sebelumnya. Suaranya tidak memekakkan telinga atau bahkan merontokkan isi dada. Tetapi hentakan cambuk yang tidak mengejutkan seorang putut dan cantrik itu ternyata telah menggetarkan jantung lawannya. Ilmu yang terpancar dari hentakan cambuk itu mampu menyusup ke relung-relung di dalam dadanya, sehingga di luar sadarnya orang itu telah tergetar selangkah surut. Dalam ketegangan, orang itu mendengar suara Agung Sedayu, “Kenapa Ki Sanak? Apa yang mengejutkanmu? Ketika cambukku meledak, kau sama sekali tidak terkejut. Tetapi justru ketika cambukku tidak melepaskan suara, kau tersentak seperti melihat hantu.” “Kau memang iblis,“ geram orang itu. Tetapi orang itu tidak banyak berbicara lagi. Dengan garangnya orang itu mulai lagi meloncat menyerang. Ayunan kerisnya yang berputar itu telah menaburkan udara yang panas, dan bahkan mampu menyusup ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi pada saat itu, Agung Sedayu telah memutuskan untuk menyelesaikan pertempuran. Ia berniat untuk menangkap orang berjanggut pendek itu, karena menurut pendapatnya orang itu sangat berbahaya bagi para prajurit Mataram. Kesatuan-kesatuan kecil Mataram yang bertugas di sekitar padepokannya akan benar-benar dapat dimusnahkannya. Agaknya orang itu bukan orang yang sekedar mengancam dan menakut-nakuti. Dengan demikian, maka cambuk Agung Sedayu itu pun segera berputaran, menghentak dan menggeliat, memburu lawannya yang berloncatan menghindarinya. Namun sekali-sekali orang itu masih juga berusaha menyerang dengan kerisnya, yang jika berhasil, akan mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Namun dalam pada itu, orang berjanggut pendek itu menjadi semakin terdesak. Ujung cambuk Agung Sedayu semakin dekat menggapai-gapai tubuhnya. Meskipun demikian, orang itu masih sempat berkata, “Ternyata kau bukan seseorang yang menerima keturunan ilmu dari Orang Bercambuk yang berkeliaran di pesisir utara itu. Meskipun aku belum pernah mengenalnya, tetapi aku pernah mendengar cerita tentang orang itu.” “Kau nampak dalam kebingungan Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan cambuknya, sehingga orang itu meloncat surut. “Tadi kau mengatakan bahwa aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Orang Bercambuk itu, ketika kau dengar cambukku meledak mengatasi teriakan-teriakan orang-orangmu. Sekarang kau katakan bahwa aku bukan orang yang menerima keturunan ilmu Orang Bercambuk itu, karena agaknya kau melihat alur dan unsur ilmu yang berbeda dari cerita yang pernah kau dengar dari orang lain.” “Persetan dengan igauanmu,” geram orang itu. “Menyerahlah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kau tidak boleh berkeliaran lagi. Kau sangat berbahaya bagi prajurit-prajurit Mataram.” Orang itu tidak menjawab. Tetapi orang itu bertempur semakin garang. Agung Sedayu memang tidak melihat kemungkinan untuk memaksa orang itu menyerah. Ia tidak akan melakukannya di hadapan murid-muridnya yang terpilih. Sementara itu, keadaan murid-muridnya pun tidak menjadi lebih baik. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu ternyata mampu mengatasi perlawanan pasukan Elang Emas, yang jumlahnya semula lebih banyak dari pasukan kecil prajurit Mataram yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu. Dari waktu ke waktu, kemampuan perlawanan pasukan Elang Emas itu semakin menyusut, sehingga mereka pun menjadi semakin terdesak pula. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu berhasil menyusut jumlah lawannya. Meskipun ada juga korban di antara para prajurit, tetapi para putut dan cantrik yang tergabung dalam pasukan Elang Emas itu menyusut lebih cepat. Pisau-pisau kecil yang lepas dari tangan para prajurit itu hinggap di dada, lambung, dan bahkan di leher mereka. Sementara itu, pedang dan ujung-ujung tombak para prajurit pun terayun-ayun menebas, mematuk dan menyambar-nyambar. Tidak ada kesempatan lagi bagi pasukan Elang Emas itu untuk dapat memenangkan pertempuran. Sementara itu, pemimpin perguruan yang berjanggut pendek itu pun semakin mengalami kesulitan pula. Meskipun kerisnya itu sekali-sekali mampu mengejutkan Agung Sedayu, namun setiap kali ujung cambuknya selalu dapat menghalau lawannya. Orang berjanggut pendek itu pun menjadi sangat marah. Tetapi ia terbentur pada suatu kenyataan, bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi orang itu sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Bahkan orang berjanggut putih itu mencoba untuk memutuskan ujung cambuk Agung Sedayu dengan kerisnya. Namun orang itu tidak berhasil. Ia memang berhasil menebas ujung cambuk Agung Sedayu yang menggeliat, tetapi ujung cambuk itu tidak terputus karenanya. Bahkan hampir saja keris itu terlepas dari tangannya. Dalam pada itu, Agung Sedayu telah benar-benar berniat mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun meningkatkan serangan-serangan cambuknya langsung ke arah tubuh lawannya. Ketika ujung cambuknya mulai menyentuh kulit lawannya, maka terdengar umpatan yang kasar meledak dari mulut orang berjanggut putih itu. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Meskipun ia mengerahkan ilmunya sampai ke puncak kemampuannya, tetapi ternyata bahwa ia menjadi semakin terdesak. Goresan ujung cambuk Agung Sedayu itu bukan sekedar meninggalkan goresan merah di kulitnya. Tetapi kulit itu benar-benar telah terkoyak. Darah pun mulai mengalir dari lukanya itu. “Aku memberikan kesempatan terakhir kepadamu, Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu sambil menghentakkan ujung cambuknya, sehingga getarannya mengguncang selaput telinganya. Tetapi lawannya justru menggeram, “Aku bunuh kau anak yang sombong.” Bagi Agung Sedayu, rasa-rasanya sudah cukup memberi lawannya itu kesempatan untuk menyerah. Tetapi agaknya lawannya itu seorang yang keras hati. Apalagi ia berada di hadapan murid-muridnya yang terbaik, sehingga ia tidak mau mengorbankan harga dirinya. Sementara itu, Agung Sedayu pun tidak ingin melepaskan lawannya yang sangat berbahaya itu, karena pada kesempatan lain ia tentu benar-benar akan menyulitkan prajurit Mataram. Karena itu, maka tidak ada pilihan bagi Agung Sedayu. Ia harus menghentikan perlawanan orang berjanggut itu untuk selamanya, agar ia tidak membuat kesulitan lagi di kemudian hari. Demikianlah, Agung Sedayu pun telah sampai ke puncak ilmu cambuknya, ilmu yang diwarisinya dari gurunya. Sebagai murid utama, maka Agung Sedayu benar-benar telah menguasai kemampuan ilmu cambuk sebagaimana gurunya sendiri. Apalagi Agung Sedayu memang sudah benar-benar menguasai berbagai macam ilmu yang dapat mendukung ilmu cambuknya. Dengan demikian, sejenak kemudian cambuk Agung Sedayu pun bergerak semakin cepat. Ujungnya menggapai dari segala arah, seakan-akan juntai cambuk Agung Sedayu itu telah bercabang menjadi berpuluh-puluh juntai yang bergerak bersama-sama. Lawannya memang tidak mempunyai kesempatan sama sekali. Ujung cambuk itu telah menyentuh dan menyentuh lagi. Sehingga lukanya pun menganga dimana-mana. Meskipun demikian, orang berjanggut pendek itu masih tetap mengadakan perlawanan. Kerisnya masih saja berputar. Angin yang menyambar-nyambar tubuh Agung Sedayu, masih saja mampu menyusup menembus ilmu kebalnya. Namun semakin lama sentuhan itu pun menjadi semakin lemah. Ayunan keris itu pun menjadi semakin lamban pula. “Kau memang anak iblis,“ geram orang itu, ketika tubuhnya telah dibasahi oleh darahnya yang mengalir dari beberapa buah lukanya. “Di Mataram hanya ada dua orang yang dapat mengalahkan aku. Ki Juru Martani dan Panembahan Senapati. Kau tidak akan dapat mengalahkan aku. Apalagi kau hanya seorang Lurah prajurit.” Suaranya terputus ketika ujung cambuk Agung Sedayu menyambar dadanya. Segores luka menganga di dadanya. Orang berjanggut pendek itu terhuyung-huyung. Namun ia masih dapat bertahan untuk berdiri. Dengan suara yang menghentak-hentak ia berkata, “Hanya ada tiga orang yang aku takuti di Pati. Kanjeng Adipati, Ki Naga Sisik Salaka dan Ki Gede Candra Bumi.” “Ki Gede Candra Bumi telah tidak berdaya lagi sekarang. Mungkin ia masih hidup, tetapi ia terluka parah. Di medan pertempuran, aku telah bertempur melawan Ki Gede Candra Bumi sebagai Senapati Pengapit.” Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian iapun mengumpat, “Gila kau. Tidak ada orang yang dapat mengalahkannya.” “Aku mengalahkannya,“ berkata Agung Sedayu, “bukan maksudku menyombongkan diri. Aku hanya ingin agar kau menyadari, dengan siapa kau berhadapan. Kau tidak dapat menentang kenyataan.” “Persetan,“ geram orang itu. Namun iapun kemudian telah berteriak nyaring. Dihempaskannya segala kemampuan, kekuatan dan ilmunya lewat telapak tangannya. Dilemparkannya kerisnya mengarah ke dada Agung Sedayu. Agung Sedayu terkejut. Dengan serta merta ia menggeliat. Namun karena hal itu tidak diduganya sama sekali, maka ia sedikit terlambat. Keris itu telah menembus ilmu kebalnya, menggores lengannya. Namun dalam pada itu, dengan gerak naluriah Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya. Demikian derasnya, dilambari dengan puncak ilmu cambuknya. Terdengar orang berjanggut pendek itu berteriak sekali lagi. Tetapi nadanya sangat berbeda. Cambuk yang dihentakkan oleh Agung Sedayu itu telah mengoyak lambungnya. Orang itu terdorong beberapa langkah surut. Namun kemudian iapun terhuyung-huyung. Ia ternyata tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya, sehingga sejenak kemudian iapun jatuh terguling. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Ia sempat mengamati seluruh medan. Namun iapun segera yakin bahwa prajurit-prajuritnya akan mampu menguasai lawan-lawannya. Karena itu, maka Agung Sedayu itu pun kemudian melangkah mendekati orang berjanggut pendek itu. Meskipun masih tetap berhati-hati, Agung Sedayu berjongkok di sisinya. Orang itu sudah terluka terlalu parah. Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Kau jangan merasa dirimu menang. Ki Lurah.” Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Kau pun tentu akan mati. Bisa yang melekat pada kerisku tidak akan dapat dilawan dengan obat apapun juga.” Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Agung Sedayu yang tawar akan segala bisa itu memang tidak mencemaskan dirinya. Bisa itu tidak akan berarti apa-apa bagi tubuhnya. Tetapi Agung Sedayu tidak mau mengecewakan orang itu. Karena itu Agung Sedayu itu hanya berdiam diri saja. Di saat-saat yang gawat itu, orang berjanggut pendek itu masih sempat berkata dengan penuh dendam dan kebencian, “Aku akan mati bersamamu. Bisa itu akan bekerja dengan cepat.” Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Ia tidak sampai hati mengatakan, bahwa bisa pada keris orang itu tidak akan membunuhnya, justru pada saat terakhir dari hidupnya. Karena orang itu akan menjadi sangat kecewa. Namun orang itu menjadi tidak sabar. Keadaannya menjadi semakin parah, sementara Agung Sedayu masih tetap berjongkok di sampingnya. “He, kenapa kau tidak mati? “ orang itu mencoba menggeliat. Namun justru pada saat yang paling gawat itu ia mencoba menghentakkan badannya, sehingga karena itu maka sisa tenaganya telah dihabiskannya. Orang itu pun kemudian terkulai dengan lemahnya. Matanya menjadi kabur, sehingga akhirnya semuanya menjadi pekat. Agung Sedayu meraba dada orang itu. Namun dada itu sudah tidak bergerak lagi. Nafasnya pun telah berhenti sama sekali. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia bangkit berdiri, pertempuran memang sudah selesai. Beberapa orang cantrik telah menyerah. Sedangkan beberapa orang sempat melarikan diri. Namun para prajurit itu tidak mengejar mereka, justru karena mereka tidak menguasai medan dengan baik. “Kalian sudah mengambil langkah yang benar,“ berkata Agung Sedayu. Tanpa perintahnya, para prajuritnya pun sudah mengambil keputusan sebagaimana dikehendakinya. Namun peristiwa itu ternyata menghambat perjalanan pulang pasukan kecil prajurit Mataram itu. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka parah, serta mereka yang gugur di pertempuran. Namun para prajurit itu harus segera bergerak. Para cantrik yang melarikan diri akan dapat memanggil kawan-kawan mereka. Mungkin pasukan Elang Perak, dan bahkan mungkin pasukan yang disebut Elang Tembaga. Karena itu, para prajurit Mataram itu telah membawa kawan-kawan mereka yang gugur dan terluka untuk segera menghindar dari bekas medan pertempuran. Di sisa malam itu, pasukan kecil itu bergerak dengan sendat. Mereka harus mengawasi para tawanan, membawa kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Sementara itu, mereka telah melepaskan dua orang tawanan untuk memanggil kawan-kawan mereka, agar mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan mengubur kawan-kawan mereka yang terbunuh di peperangan. Menjelang fajar, pasukan kecil itu telah berada di sebuah padukuhan. Mereka terpaksa mengubur kawan-kawan mereka di sebuah kuburan yang terdapat di padukuhan itu, dengan tanda-tanda khusus. Hari itu, Agung Sedayu terpaksa menunda perjalanannya. Agung Sedayu memberi kesempatan para prajuritnya untuk beristirahat. Sementara itu sebenarnya Agung Sedayu sendiri juga memerlukan waktu untuk beristirahat. Meskipun tubuhnya tidak banyak terganggu oleh lukanya yang terhitung tidak berbahaya itu, namun ternyata bahwa sapuan udara yang tajam yang sempat menyusup ilmu kebalnya itu membuat Agung Sedayu merasa sangat letih. Namun demikian, Agung Sedayu tetap mengatur pengawasan di sekitar padukuhan itu. Mungkin sekali para pengikut orang berjanggut pendek itu masih tetap mendendam dan ingin membalas para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu. Setelah beristirahat sehari, maka keadaan pasukan kecil itu nampak menjadi segar kembali. Namun ketika mereka melanjutkan perjalanan mereka, terasa bahwa sebagian dari mereka tertinggal di padukuhan itu. Agung Sedayu memandangi beberapa onggok tanah yang masih merah. Disitulah beberapa prajuritnya yang menjadi korban di kuburkan. Perjalanan prajurit Mataram itu memang menjadi lamban. Selain mereka harus mengawasi beberapa orang tawanan, mereka pun membawa kawan kawan mereka yang terluka. Bahkan juga orang-orang dari pasukan Elang Emas itu. Ternyata perjalanan kembali ke Prambanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam satu hari. Setiap kali iring-iringan itu harus berhenti, beristirahat dan mengobati orang-orang yang terluka dengan obat-obatan yang ada. Untunglah bahwa Agung Sedayu sendiri memiliki kemampuan ilmu obat-obatan yang diwarisi dari gurunya langsung, dan yang diketemukannya di dalam kitab yang ditinggalkan gurunya itu. Dengan obat-obatan yang sederhana itu, Agung Sedayu dapat membantu keadaan mereka yang terluka dan memberikan sedikit kesegaran, sehingga mereka masih dapat melanjutkan perjalanan. Ketika pasukan kecil itu beristirahat di sebuah padukuhan yang sudah tidak terlalu jauh lagi dari Prambanan, Agung Sedayu telah memerintahkan dua orang prajuritnya untuk mendahului dan memberikan laporan bahwa pasukan kecil itu sudah dalam perjalanan kembali. Namun kedua orang prajurit itu menjadi kecewa. Perkemahan di Prambanan itu telah kosong. Panembahan Senapati dan para prajurit Mataram telah kembali ke Mataram. Yang tinggal adalah sebagian dari para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom, serta sebagian lagi para pengawal dari Sangkal Putung. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Swandaru masih menunggunya di Prambanan. Agung Sedayu tidak pernah merasa tidak senang terhadap adik seperguruannya yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Tetapi kadang-kadang Agung Sedayu merasa jenuh mendengar nasehat-nasehatnya. Apalagi jika Agung Sedayu sendiri sedang letih atau gelisah, atau perasaan-perasaan lain yang tidak menyenangkan hatinya. Maka mendengarkan nasehat-nasehat Swandaru rasa-rasanya menambah kelelahan jiwanya saja. Setiap kali Agung Sedayu juga merasa bersalah, bahwa ia tidak dapat menunjukkan tataran kemampuannya yang sebenarnya, dibandingkan dengan kemampuan adik seperguruannya. Tetapi rasa-rasanya Agung Sedayu tidak sampai hati untuk menunjukkan kebenaran tentang perbandingan ilmu mereka itu. Meskipun demikian Agung Sedayu menyadari, jika perbandingan ilmunya itu tidak juga segera diketahui oleh adik seperguruannya itu, maka nasehat-nasehat dan petunjuk-petunjuk itu masih akan didengarnya terus. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu itu memang harus mengusap dadanya jika Swandaru itu seakan-akan marah kepadanya, karena Agung Sedayu itu dinilainya malas dan tidak merasa perlu untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi setiap kali Agung Sedayu gagal untuk memaksa perasaannya, agar ia menunjukkan kepada Swandaru bahwa ilmunya jauh lebih tinggi dari ilmu adik seperguruannya, yang kebetulan adalah kakak iparnya itu. Demikianlah, sebagaimana diduganya, ketika Agung Sedayu memasuki perkemahan di Prambanan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan, ternyata bahwa Untara dan Swandaru masih berada di perkemahan itu. Demikian Agung Sedayu sampai di perkemahan, maka Agung Sedayu pun segera memberikan laporan kepada Untara, apa yang telah dialaminya sepanjang perjalanan. “Kau terluka?“ bertanya Untara kemudian. “Sedikit Kakang,” berkata Agung Sedayu. “Apakah senjata lawanmu itu tidak berbisa?” bertanya Untara kemudian. Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Menurut pemiliknya, senjatanya itu memang sangat berbisa.” Untara mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa adiknya memiliki kemampuan untuk menangkal segala macam bisa, bahkan bisa yang paling kuat sekalipun. “Serahkan para tawanan itu kepada kelompok yang bertugas, sementara kau dan prajurit-prajuritmu dapat beristirahat. Orang-orang yang terluka akan segera mendapat perawatan dan pengobatan sebaik-baiknya, sesuai dengan kemampuan yang ada. Besok kalian dapat meneruskan perjalanan kembali ke Mataram.“ Agung Sedayu pun kemudian membawa para prajuritnya untuk beristirahat. Mereka mendapat kesempatan untuk menggeliat setelah beberapa hari mengalami ketegangan dalam tugas. Mereka dapat mandi sepuas-puasnya, tidur dan makan sebanyak-banyaknya. Sabungsari yang juga berada di perkemahan itu sempat menemuinya. Tetapi keduanya tidak dapat lama berbincang-bincang, karena Sabungsari pun harus bertugas. Agung Sedayu yang sedang melepaskan segala ketegangan itu menarik nafas dalam-dalam, ketika Swandaru datang menemuinya. “Aku dengar kau terluka, Kakang?“ bertanya Swandaru. “Siapa yang mengatakan kepadamu?“ Agung Sedayu justru bertanya. “Sabungsari. Baru saja aku bertemu ketika Sabungsari membawa sekelompok prajuritnya keluar perkemahan.” Agung Sedayu menarik nafas. Kepada Sabungsari ia memang mengaku bahwa ia terluka. Tetapi tidak berpengaruh sama sekali. “Bagaimana dengan luka itu?“ bertanya Swandaru pula. Agung Sedayu menunjukkan luka di lengannya sambil berkata, “Segores kecil. Tidak apa-apa.” Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Untunglah bahwa senjata lawanmu itu tidak beracun. Jika senjata lawanmu itu termasuk senjata yang baik dengan warangan yang baik pula, maka sentuhan segores kecil itu akan dapat berakibat sangat buruk.” Namun Agung Sedayu menjawab, “Bukankah di dalam kitab Guru disebut, bagaimana kita melawan racun?” “Jika kita kebetulan tidak membawa obat itu?” “Aku selalu membawanya. Obat itu bukan saja dapat kita pergunakan untuk kita sendiri, tetapi juga untuk menolong orang lain yang terkena bisa atau racun,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi ada jenis racun dan bisa yang tidak dapat ditangkal dengan obat apapun kecuali dengan obat penangkalnya, yang khusus dibuat untuk jenis racun itu.” Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Memang ada.” “Karena itu, maka agaknya lebih baik jika kita tidak terluka sama sekali,“ berkata Swandaru kemudian. “Ya. Ya. Tentu lebih baik,“ sahut Agung Sedayu. “Berkali-kali aku katakan, kita harus berusaha untuk tidak terluka di pertempuran,“ berkata Swandaru dengan bersungguh-sungguh. Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ia sudah menduga apa yang akan dikatakan oleh Swandaru itu. Meskipun demikian, Agung Sedayu itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Itu adalah yang terbaik. Tetapi suatu ketika kita dapat bertemu dengan lawan yang berilmu lebih tinggi dari ilmu yang kita miliki. Dalam keadaan yang demikian, bukan saja kita dapat terluka, tetapi kita dapat mati. Kita sudah mendapat banyak contoh bahwa orang berilmu tinggi dapat juga mati di pertempuran. Mungkin kita memiliki kelebihan secara pribadi dengan lawan yang kita temui di medan. Tetapi penguasaan medan, kerja sama di antara kelompok dan perang gelar, akan dapat menjebak kita dalam kesulitan.” “Memang Kakang. Tetapi maksudku, semakin siap kita memasuki medan pertempuran, maka kita akan merasa lebih mantap. Keselamatan kita akan lebih terjamin.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Aku sependapat.” Swandaru pun kemudian telah menanyakan apa yang dialami Agung Sedayu sepanjang perjalanannya mengikuti pasukan Pati yang sedang ditarik mundur. “Sebuah pertempuran kecil,“ berkata Agung Sedayu, “justru pada saat kami akan kembali ke Prambanan ini.” Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang telah dialaminya. Ia tidak banyak bercerita tentang lawannya yang berjanggut pendek itu. “Kau masih beruntung Kakang,“ berkata Swandaru, “orang-orang yang mencegatmu agaknya merasa diri mereka berkemampuan sangat tinggi. Namun ternyata kemampuan mereka tidak lebih dari kemampuan para prajurit Mataram dan para pengawal Sangkal Putung. Barangkali juga para pengawal Tanah Perdikan. Bahkan pemimpinnya tidak mampu menilai pasukan yang sedang dihadapinya.” “Agaknya memang demikian,“ berkata Agung Sedayu. “Baiklah, Kakang. Bukankah sekarang kau mendapat kesempatan untuk beristirahat? Beristirahatlah. Kapan Kakang akan kembali ke Tanah Perdikan? Jika Kakang mempunyai kesempatan, aku minta Kakang singgah barang sehari di Sangkal Putung.” Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Besok aku akan kembali ke Mataram. Mungkin pada kesempatan lain saja aku singgah di Sangkal Putung.” “Besok?“ bertanya Swandaru, “Begitu cepat? Bukankah pasukan kecil Kakang itu perlu beristirahat?” “Kakang Untara menganggap bahwa waktu istirahat sampai esok sudah cukup. Kami akan mendapat kesepatan berisirahat lebih lama. Atau bahkan kesempatan beristirahat itu kami dapatkan setelah kami berada di Tanah Perdikan Menoreh.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku akan meninggalkan perkemahan ini bersama pasukan Kakang Untara.” “Kapan?“ bertanya Agung Sedayu. Swandaru menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu, Kakang. Tetapi Kakang Untara telah memerintahkan kepadaku, bahwa pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung yang masih ada di pesanggrahan ini akan meninggalkan pesanggrahan bersama pasukan Mataram yang ada di Jati Anom. Yang kemudian akan ditinggalkan di pesanggrahan ini sampai waktunya pesanggrahan ini dibongkar adalah sekelompok prajurit saja.” “Tetapi aku kira memang sudah tidak akan lama lagi. Pesanggrahan ini agaknya memang akan dibongkar. Demikian pula bekas pesanggrahan Kanjeng Adipati Pati.” “Ya. Pesanggrahan itu sekarang ditunggui pula oleh sekelompok prajurit Kakang Untara. Agaknya kedua pesanggrahan itu memang akan segera dibongkar.” Demikianlah, Swandaru pun kemudian telah minta diri untuk kembali ke baraknya. Namun sambil melangkah pergi iapun berkata, “Besok sebelum Kakang berangkat aku akan menemui Kakang. Agaknya seisi perkemahan ini akan mengetahui kapan Kakang akan berangkat besok.” Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu menarik nafas panjang. Rasa-rasanya ia sudah meletakkan beban yang cukup berat. Meskipun ia tidak berusaha untuk menghindarinya, tetapi jika beban itu diletakkan, maka dadanya merasa menjadi longgar. Agung Sedayu pun kemudian benar-benar merasa beristirahat, ketika ia berjalan-jalan di luar perkemahan. Beberapa ratus langkah dari perkemahan, Agung Sedayu telah berdiri di atas tanggul Kali Opak. Air Kali Opak memang tidak begitu deras dan tidak pula dalam. Hanya di beberapa tempat saja harus diseberangi dengan rakit. Tetapi ada bagian yang landai, yang untuk menyeberangi Kali Opak harus berjalan di tepian berpasir yang terhitung luas. Untuk beberapa lamanya Agung Sedayu berdiri seorang diri memandangi aliran Kali Opak. Namun kemudian iapun melangkah menelusuri tanggul. Angin bertiup mengusap tubuhnya yang basah oleh keringat, Terasa sentuhan yang segar di kulit wajahnya. Di dataran yang membentang di hadapannya, nampak tanaman di sawah yang rusak terinjak-injak kaki. Ketika prajurit Mataram dan Pati bergerak dalam gelar, maka di sawah itu tidak lagi nampak daun batang padi atau jagung yang hijau segar. Tetapi yang nampak adalah daun pedang dan tombak yang berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tanah itu tentu masih membekas darah. Dedaunan yang berserakan terinjak kaki prajurit itu tentu diperciki oleh warna darah yang tumpah. Beberapa saat ia merenung. Sudah beberapa kali ia berada di medan pertempuran atau bertempur seorang melawan seorang. Tetapi setiap kali hatinya masih saja menjadi resah jika ia mengenang tubuh yang berserakan terbujur lintang di medan pertempuran. Kemenangan memang memberikan kebanggaan bagi seorang prajurit. Tetapi apakah kematian dan kehancuran juga memberikan kebanggaan? Sejenak kemudian, Agung Sedayu itu pun melangkah meninggalkan tanggul Kali Opak itu, kembali ke perkemahan. Langkahnya satu-satu, seakan-akan tanpa disadari, karena angan-angannya masih saja tersangkut pada bayangan-bayangan yang mengerikan yang terjadi di peperangan. Di dalam perkemahan, Agung Sedayu mendapat perintah resmi dari Untara, yang mendapat kuasa untuk memimpin semua pasukan yang ada di perkemahan itu, besok saat matahari naik sepenggalah, bersama pasukan kecilnya berangkat kembali ke Mataram. Para tawanan dan orang-orang yang terluka parah saja-lah yang akan tetap tinggal di perkemahan sampai saatnya perkemahan itu dibongkar. Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun segera mempersiapkan diri. Ia telah memerintahkan pasukannya pula untuk bersiap. Esok mereka akan berangkat kembali ke Mataram. Karena itu, para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah mempergunakan waktu beristirahat mereka sebaik-baiknya. Mereka besok akan menempuh sebuah perjalanan lagi. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi sisa-sisa kelelahan mereka tentu masih akan terasa. Tetapi mereka merasa senang atas perintah itu. Mereka tentu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sehingga bergiliran mereka akan mendapat kesempatan untuk mengunjungi keluarga mereka. Demikianlah, ketika saat sudah mendekat di keesokan harinya, Swandaru benar-benar menyempatkan diri menemui Agung Sedayu untuk mengucapkan selamat jalan. Namun iapun masih juga berdesis, “Biarlah kitab Guru ada pada Kakang lebih dahulu. Tetapi aku minta Kakang lebih menekuni bidang kanuragan daripada bidang pengobatan.” “Baiklah. Aku akan mencoba,“ jawab Agung Sedayu. “Jangan sekedar mencoba,“ sahut Swandaru. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, sementara Swandaru berkata, “Kakang harus bersungguh-sungguh. Jika Kakang sekedar mencoba, maka hasilnya tidak akan pernah menjadi baik.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Aku memang harus bersungguh-sungguh.” Swandaru melihat kesungguhan di wajah kakak seperguruannya itu. Namun kemudian iapun berkata, “Selamat jalan Kakang. Pada kesempatan lain aku akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Kakang sempat, justru karena persoalan antara Mataram dan Pati telah selesai, kami berharap Kakang dan Sekar Mirah dapat mengunjungi Sangkal Putung.” “Baiklah,“ Agung Sedayu mengangguk angguk, “kami akan memerlukan datang ke Sangkal Putung. Sekar Mirah tentu akan senang menengok keluarga yang sudah agak lama tidak bertemu.” Demikianlah, beberapa saat kemudian para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu pun sudah mulai bergerak meninggalkan perkemahan, yang tidak lama lagi akan dibongkar sebagaimana pesanggrahan pasukan Pati. Sambil melepas para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu, Untara sempat berpesan, “Hati-hatilah Agung Sedayu. Mungkin masih ada orang yang akan memburumu sampai ke Tanah Perdikan. Keluarga orang berjanggut pendek yang kau bunuh itu atau saudara-saudara seperguruannya akan dapat mendendammu, justru karena pertempuran itu terjadi di luar arena perang antara Mataram dan Pati.” Agung Sedayu mengangguk angguk sambil menjawab, “Ya, Kakang. Aku akan berhati-hati.” “Kau harus segera melaporkan diri kepada Ki Tumenggung Yudapamungkas, atau langsung ke Ki Patih Mandaraka jika kau dapat menghadap.” “Ya, Kakang,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, sejenak kemudian ketika matahari memanjat semakin tinggi, Pasukan Khusus itu berjalan beriringan menuju ke Mataram. Jalan yang dilalui oleh pasukan kecil itu masih nampak sepi. Gema perang yang terjadi di Prambanan masih belum hilang, sehingga masih banyak orang yang tidak berani turun ke jalan. Bahkan padukuhan-padukuhan di sebelah-menyebelah jalan itu masih nampak lengang. Orang-orang padukuhan yang dekat degan jalan itu memang ada yang mengungsi menjauh. Jika pasukan Pati mampu menembus pertahanan Mataram di Prambanan, maka jalan itu akan dilalui oleh pasukan Pati segelar-sepapan, sehingga nasib orang yang tinggal di sebelah-menyebelah jalan itu akan dapat menjadi sangat buruk. Perjalanan dari Prambanan ke Mataram memang merupakan jalan yang cukup panjang. Namun karena perjalanan yang mereka tempuh bukan jalan yang rawan, maka rasa-rasanya perjalanan itu tidak melelahkan. Meskipun demikian, ketika matahari sampai ke puncak langit, terasa betapa panasnya membakar ubun-ubun. Di sore hari, pasukan kecil itu mendekati gerbang kota. Pasukan kecil itu mulai mengatur diri dan menyusun barisan sebaik-baiknya. Ciri-ciri khusus Pasukan Khusus itu pun telah dipasang. Kelebet berujung runcing telah dipasang pada tunggulnya. Agung Sedayu tidak menduga bahwa pasukan kecilnya mendapat sambutan yang memberikan kebanggaan di setiap dada para prajuritnya. Agaknya di Mataram telah tersiar berita, bahwa Pasukan Khusus yang baraknya berada di Tanah Perdikan Menoreh dan dipimpin oleh Agung Sedayu itu termasuk salah satu di antara beberapa kelompok pasukan Mataram yang terbaik. Karena itu, Pasukan Khusus itu pula-lah yang mendapat perintah untuk mengikuti gerak mundur pasukan Pati sampai ke sebelah utara Pegunungan Kendeng. Orang-orang yang tinggal di Kotaraja, yang mendengar berita kehadiran Pasukan Khusus itu, telah turun ke jalan, memberikan penghormatan dan bahkan terdengar mereka bersorak untuk menyatakan kekaguman mereka. Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Jantungnya terasa berdentang lebih cepat dan lebih keras daripada saat ia memasuki perang gelar melawan Pati. Bahkan saat ia berada di sisi Panembahan Senapati sebagai Senapati Pengapitnya. Kakinya merasa menjadi berat, demikian pula para prajurit. Mereka seakan-akan bergerak sangat lamban meskipun mereka sudah berjalan cepat. Namun jalan menjadi terhambat oleh orang-orang yang ingin menyaksikan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Di Mataram, para prajurit itu langsung menuju ke alun-alun. Dua orang penghubung telah menghubungi Tumenggung Yudapamungkas. Sebelum matahari turun ke punggung bukit, pasukan itu telah memasuki sebuah barak yang memang sudah disediakan. Ki Tumenggung Yudapamungkas sendiri yang menerima pasukan kecil itu dan kemudian langsung menerima laporan dari Agung Sedayu. “Kalian dapat beristirahat di sini sampai besok lusa,“ berkata Ki Tumenggung, “selanjutnya, kalian tentu ingin segera pulang ke barak kalian di Tanah Perdikan Menoreh, untuk selanjutnya menunggu giliran pulang menemui keluarga.” Demikianlah, para prajurit itu telah beristirahat sebaik-baiknya di barak itu. Di keesokan harinya, Ki Patih Mandaraka telah datang bukan saja menemui Agung Sedayu, tetapi Ki Mandaraka berniat menemui seluruh prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk menyatakan terima kasihnya. “Kalian akan mendapat kesempatan cukup untuk bergantian mengunjungi keluarga kalian,“ berkata Ki Patih Mandaraka. Namun kebanggaan para prajurit semakin bertambah-tambah ketika Ki Patih Mandaraka berkata, “Nanti malam, Panembahan Senapati berkenan untuk mengunjungi kalian.” Sebenarnyalah, ketika malam turun, sekelompok pasukan Pengawal Istana telah datang ke barak itu ,mempersiapkan kedatangan Panembahan Senapati di barak itu. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu menjadi sangat berbesar hati ketika Panembahan Senapati sendiri langsung mengucapkan terima kasih kepada mereka. Panembahan Senapati juga menyatakan bela sungkawa, bahwa beberapa orang terbaik di antara mereka terpaksa ditinggalkan dan diserahkan ke pangkuan bumi. “Mataram berhutang budi kepada kalian. Juga kepada para keluarga yang ditinggalkan oleh mereka yang gugur di medan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Lalu katanya pula, “Tidak seorangpun di bumi Mataram yang menginginkan terjadinya perang. Tetapi perang itu ternyata tidak dapat kita elakkan dengan penuh kesadaran bahwa perang itu akan menimbulkan bencana. Tetapi jika kita tidak memaksa diri untuk perang, maka bencana yang akan menimpa Mataram menjadi jauh lebih besar. Karena itu, maka kita terpaksa memilih sesuatu yang sangat kita benci, yaitu perang.” Jantung para prajurit itu memang tergetar. Mereka memang tidak dapat menyingkir dari peperangan. Bukan karena para prajurit Mataram itu selalu bermimpi untuk membunuh. Panembahan Senapati memang tidak lama berada di barak itu. Beberapa saat kemudian Panembahan Senapati langsung meninggalkan barak itu di atas punggung kudanya, dikawal oleh beberapa kelompok pasukan Pengawal Istana, pasukan pilihan di antara prajurit terbaik Mataram. Namun kebanggaan para prajurit dari Pasukan Khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh tidak kalah dari kebanggaan para prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu. Di keesokan harinya, Ki Tumenggung Yudapamungkas telah melepas para prajurit dari Pasukan Khusus itu untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Untuk selanjutnya, bergantian para prajurit itu akan mendapat kesempatan untuk menengok keluarga mereka masing-masing untuk waktu yang terhitung panjang. “Tetapi dengan demikian, kalian harus berbicara dengan para pengawal Tanah Perdikan, yang sebagian juga turut mempertahankan keberadaan Mataram dari serangan prajurit Pati, terutama yang datang dari arah utara,“ pesan Ki Tumenggung Yudapamungkas, “namun mereka telah mendapat kesempatan untuk mendahului kembali ke Tanah Perdikan. Pada saat para prajurit bergantian meninggalkan barak, para pengawal harus berada dalam kesiagaan yang tinggi. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin ada sekelompok orang yang mempergunakan kesempatan untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri. Tetapi mungkin sekelompok orang yang membawa dendam ke Tanah Perdikan Menoreh.” Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu pun telah meninggalkan barak tempat tinggal dan landasan segala kegiatan mereka. Di situ pula mereka telah ditempa oleh Agung Sedayu, sehingga mereka benar-benar menjadi prajurit pilihan yang mendapat kehormatan langsung dari Panembahan Senapati sendiri, sehingga kedudukan mereka setingkat dengan kesatuan-kesatuan terbaik di Mataram. Di sepanjang perjalanan, iring-iringan itu memang menarik perhatian. Orang-orang padukuhan-padukuhan sepanjang jalan menuju ke Tanah Perdikan melihat kesatuan kecil itu dengan bangga. Satu dua orang yang mengetahui bahwa pasukan itu adalah Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, telah memberitahu tetangga-tetangga mereka. “Pasukan itu baru pulang dari Prambanan. Mereka telah berhasil mengusir pasukan dari Pati,“ berkata seseorang dengan bangga, seakan-akan dirinya sendiri-lah yang telah memenangkan perang itu. Ketika mereka menyeberang Kali Praga dengan beberapa buah rakit yang harus mondar-mandir, tukang-tukang rakit itu tidak mau menerima upah yang seharusnya memang menjadi hak mereka, karena mereka itu merasa bangga atas pasukan itu. “Cerita tentang Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu sudah lewat mendahului pasukan ini sendiri,“ berkata salah seorang dari tukang satang itu. “Ah, tidak ada yang pantas dipuji,“ desis salah seorang pemimpin kelompok. “Kemarin orang-orang yang menyeberang mengatakan bahwa Pasukan Khusus di Tanah Perdikan Menoreh sudah berada di Kotaraja. Mereka akan segera menuju ke Tanah Perdikan,“ sahut tukang satang itu. Pemimpin kelompok itu tertawa. Katanya, “Terima kasih atas pujian itu.” “Kami mengatakan sebagaimana dikatakan orang tentang Pasukan Khusus ini,“ berkata tukang satang yang lain. Para prajurit yang mendengar pujian itu pun tertawa. Namun mereka tidak dapat melupakan bahwa sebagian dari mereka harus tertinggal di perjalanan kembali ke Prambanan dari menjalankan tugas yang cukup berat. Agung Sedayu yang memimpin pasukan itu tidak sampai hati untuk benar-benar tidak membayar upah para tukang satang yang sudah bekerja keras itu. Meskipun semula tukang-tukang satang itu menolak, namun Agung Sedayu berkata, “Ki Sanak. Uang ini bukan uangku pribadi. Kami sudah mendapat biaya penyeberangan ini. Uang ini kami terima dari pimpinan kami di Mataram. Jadi uang ini berasal dari Ki Sanak pula. Bukankah Ki Sanak setiap kali telah dipungut pajak?” Akhirnya tukang-tukang satang itu menerima juga. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu dan para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu memasuki Tanah Perdikan Menoreh, mereka melihat bahwa perang yang terjadi di Prambanan itu hampir tidak ada pengaruhnya. Kehidupan di Tanah Perdikan itu berjalan seperti biasa. Kesibukan orang yang bekerja sehari-hari. Jalan-jalan yang tidak menjadi sepi. Namun Agung Sedayu mengetahui bahwa beberapa saat yang lalu, ketika pasukan pengawal Tanah Perdikan kembali dari Mataram, air mata pun telah menitik. Beberapa orang anak muda terbaik dari Tanah Perdikan ini telah gugur di medan pertempuran. Para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak mendapat sambutan yang berlebihan ketika mereka kembali memasuki barak mereka. Tetapi Ki Gede Menoreh, Prastawa, Glagah Putih dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan sudah menunggu. Mereka memang sudah mendapat pemberitahuan lebih dahulu, bahwa hari itu para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan kembali ke barak. Upacara pun hanya berlangsung seperlunya. Kemudian, Ki Gede Menoreh sebagai Kepala Tanah Perdikan telah mempersiapkan penyambutan kedatangan para prajurit itu dengan acara makan bersama. Dengan bekerja bersama para prajurit yang bertugas di dapur, Tanah Perdikan Menoreh telah menyiapkan hidangan khusus untuk menyambut kedatangan para prajurit dari medan tugas mereka. Meskipun tidak berlebihan, tetapi sambutan itu memberikan kegembiraan bagi para prajurit yang baru saja menempuh perjalanan itu. Memang bukan perjalanan yang panjang. Tetapi sisa-sisa kelelahan yang masih melekat di dalam diri mereka masing-masing, menjadi sedikit terobati dengan sambutan yang menggembirakan itu. Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus itu merasa telah berada di rumah mereka kembali. Sementara itu, mereka pun mulai menunggu giliran untuk dapat pulang mengunjungi keluarga mereka. Hari itu Agung Sedayu sendiri juga belum pulang ke rumahnya. Bersama para pemimpin kelompok, Agung Sedayu telah mempersiapkan susunan giliran bagi para prajuritnya yang baru pulang dari medan perang, untuk beristirahat bersama keluarga mereka masing-masing. Baru di hari berikutnya. Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khususnya. Keluarga Agung Sedayu tiba-tiba telah menjadi cerah. Seperti lampu yang semula kekurangan minyak, tiba-tiba telah dituang lagi sampai penuh. Bukan saja istrinya, Sekar Mirah, yang menyambut kedatangan Agung Sedayu, tetapi juga Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Rara Wulan. Bahkan juga Wacana dan istrinya, Kanthi, yang khusus datang untuk mengucapkan selamat kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu yang baru saja menjalankan tugasnya yang berat itu, rasa-rasanya telah mendapat kesempatan untuk meletakkan segala macam beban di pundaknya. Ia benar-benar merasa lepas dari segala ikatan tanggung jawab dalam tugasnya. Hari itu, Sekar Mirah dan Rara Wulan menjadi sibuk di dapur. Glagah Putih telah memotong tidak hanya seekor ayam. Tetapi untuk menjamu tamu-tamunya yang berdatangan, maka Glagah Putih telah memotong beberapa ekor ayam. Di hari berikutnya, Agung Sedayu masih juga beristirahat di rumah. Ia sengaja tidak pergi ke barak, sebagaimana sudah diberitahukannya kepada para pembantunya. Para pembantunya-lah yang kemudian mengatur pelaksanaan pemberian waktu beristirahat bagi para prajuritnya. Tetapi ternyata Agung Sedayu tidak sempat menikmati waktu istirahatnya sampai tuntas sebagaimana direncanakannya. Ketika kemudian matahari condong di sisi barat langit, dua orang perwira prajurit Pengawal Istana, diantar oleh Ki Lurah Branjangan, telah datang ke rumah Agung Sedayu. Dengan jantung berdebar-debar Agung Sedayu mempersilahkan tamu-tamunya untuk naik ke pendapa dan kemudian duduk di pringgitan. Setelah mempertanyakan keselamatan perjalanan mereka, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kedatangan Ki Lurah Branjangan serta Ki Sanak berdua telah mengejutkan aku.” “Aku hanya akan bertemu dengan Wulan saja, sekaligus menunjukkan jalan kedua orang perwira dari pasukan Pengawal Istana yang ingin menemui Ki Lurah Agung Sedayu, yang tidak berada di barak karena sedang beristirahat.” “Kami memang mempunyai keperluan dengan Ki Lurah,“ berkata salah seorang dari kedua orang perwira itu. Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil, sementara salah seorang tamunya itu berkata, “Kami membawa perintah langsung dari Panembahan Senapati bagi Ki Lurah Agung Sedayu.” Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Perintah apakah yang harus aku jalankan?” “Ki Lurah dipanggil menghadap. Ki Lurah melaporkan dari kepada Ki Patih Mandaraka, kemudian Ki Lurah akan dibawa manghadap oleh Ki Patih.” “Apakah yang harus aku lakukan kemudian?” bertanya Agung Sedayu di luar sadarnya. “Kami tidak mengetahuinya Ki Lurah. Kami hanya mendapat perintah untuk memanggil Ki Lurah. Besok sebelum matahari terbenam, Ki Lurah harus sudah berada di Kepatihan.” Demikianlah, setelah mendapat hidangan minum dan makan, kedua orang perwira dari Pasukan Pengawal Istana itu minta diri untuk kembali ke Mataram. “Kami tidak singgah di barak, Ki Lurah Branjangan.” “Silahkan. Aku juga masih akan berada di sini. Bahkan mungkin sampai besok. Cucuku ada di sini,“ jawab Ki Lurah Branjangan. Sepeninggal kedua orang prajurit dari pasukan Pengawal Istana itu, Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia memandang Sekar Mirah. Wajah Sekar Mirah yang baru saja menjadi terang itu redup kembali. Tetapi tidak terlalu lama. Sejenak kemudian iapun telah tersenyum kembali sambil mempersilahkan Ki Lurah Branjangan, “Marilah Ki Lurah. Silahkan melanjutkan menikmati hidangan seadanya ini.” Namun dalam pada itu. Agung Sedayu menangkap getar perasaan Sekar Mirah yang hanya sesaat itu. Sekar Mirah tentu merasa kecewa, bahwa demikian suaminya pulang, telah datang perintah kepadanya untuk tugas-tugas berikutnya. Meskipun mereka belum tahu tugas apa yang akan diemban, tetapi tugas itu tentu termasuk tugas yang penting, karena perintah itu datang langsung dari Panembahan Senapati. Namun justru karena itu, Agung Sedayu telah benar-benar mempergunakan hari-harinya yang pendek itu untuk beristirahat. Bersama Sekar Mirah, mereka sempat mengunjungi Prastawa. Singgah di rumah Ki Gede, dan pergi melihat sawahnya yang ditumbuhi batang-batang padi yang subur. “Aku tidak dapat menghindari perintah, apalagi yang datang langsung dari Panembahan Senapati, Mirah,“ berkata Agung Sedayu. “Aku mengerti, Kakang,“ jawab Sekar Mirah, “tetapi aku akan ikut menjadi bangga, justru karena Kakang mendapat kesempatan untuk melakukan tugas-tugas penting itu.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih atas pengertianmu Mirah. Aku berharap bahwa pada kesempatan lain, aku akan dapat beristirahat lebih lama lagi.” “Kau sudah cukup memberikan waktumu kepada keluarga, Kakang. Bukankah di hari-hari biasa, kau setiap hari dapat pulang?” “Hari-hari yang benar-benar terlepas dari bayangan tugas-tugas yang melelahkan.” “Tetapi kita sudah memilih untuk tinggal di dalam duniamu sekarang ini Kakang.” “Ya. Dengan pengertian dan doronganmu, mudah-mudahan aku dapat melakukan tugas-tugasku sebaik-baiknya.” Sebenarnyalah Sekar Mirah berusaha untuk mengerti bahwa suaminya bukan harus sekedar memenuhi keinginannya. Justru suaminya selalu berada di dalam bayang-bayang tugasnya sebagai seorang prajurit. Di keesokan harinya, Agung Sedayu harus pergi ke baraknya untuk memberitahukan dengan resmi bahwa hari itu pula ia harus pergi ke Mataram. Karena itu, Agung Sedayu harus membagi dan menyerahkan tugas-tugas kepemimpinannya di barak itu kepada pembantu-pembantunya. Hari itu, Agung Sedayu telah meninggalkan Tanah Perdikan lagi menuju ke Mataram. Dibawanya Glagah Putih besertanya, untuk kawan berbincang di perjalanan. “Kenapa kau tidak membawa satu dua orang pengawal?” bertanya Ki Lurah Branjangan. “Biarlah mereka menikmati saat-saat istirahat mereka,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, seperti yang diperintahkan kepadanya, sebelum matahari terbenam Agung Sedayu sudah berada di Kepatihan untuk menghadap Ki Patih Mandaraka. Ketika ia menyampaikan permohonan untuk menghadap, Ki Lurah Agung Sedayu itu pun langsung dapat diterima, karena Ki Patih memang sudah menunggu kedatangan Agung Sedayu. “Kita akan langsung menghadap Panembahan Senapati,” berkata Ki Patih kemudian. Namun katanya pula, “Tetapi biarlah adik sepupumu itu menunggumu di sini.” “Baik Ki Patih,“ jawab Agung Sedayu, yang kemudian memberitahukan kepada Glagah Putih agar ia tinggal di Kepatihan. Glagah Putih menyadari bahwa ia tidak berwenang untuk ikut mendengar perintah Panembahan Senapati kepada kakaknya, seorang prajurit. Karena itu maka katanya, “Baik Kakang. Aku akan menunggu Kakang di Kepatihan.” Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih telah mengenal beberapa orang abdi dalem Kepatihan, sehingga ia tidak merasa canggung. Ketika Raden Rangga masih ada, Glagah Putih sering berada di Kepatihan itu bersamanya. Setelah Raden Rangga tidak ada, Glagah Putih pun sekali-sekali masih juga berada di Kepatihan untuk tugas-tugas tertentu. Sementara itu, Ki Patih Mandaraka bersama Agung Sedayu telah menghadap langsung Panembahan Senapati. “Ada tugas yang penting, Agung Sedayu,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan,“ sahut Agung Sedayu. “Aku tidak dapat mempercayakannya kepada orang lain. Apalagi adik-adikku. Beberapa orang Pangeran telah dikenal baik oleh orang-orang Pati,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. Jantung Agung Sedayu menjadi berdebar. Ia sudah dapat menduga, tugas apa yang akan dibebankan kepadanya. Sebenarnyalah Panembahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Menurut laporan beberapa orang yang belum dapat dipastikan kebenarannya, Adimas Adipati bukan hanya menarik pasukannya sampai ke sebelah utara pegunungan Kendeng, tetapi justru telah berada di Pati. Tetapi kekalahannya yang terjadi di Prambanan tidak membuatnya jera. Adimas Pragola dari Pati justru menyusun kekuatan kembali untuk menghantam Mataram.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Perintah yang bakal diterima menjadi semakin terang di angan-angannya. Satu perjalanan jauh harus ditempuhnya. Sebenarnyalah Panemahan Senapati itu pun berkata, “Agung Sedayu. Aku ingin kau pergi ke Pati untuk memastikan, apakah benar Adimas Adipati Pragola telah menyusun kekuatan kembali. Aku minta kau dalam waktu yang tidak terlalu lama dapat memberikan laporan. Aku minta kau berada di Pati untuk beberapa hari. Sudah tentu kau tidak perlu sendiri. Kau dapat membawa kawan untuk berbincang di perjalanan. Aku tidak menunjuk siapakah yang akan kau bawa. Terserah kepadamu. Atau seandainya kau tidak mau seorang kawan pun yang justru akan dapat mengganggumu.” Agung Sedayu mengangguk hormat sambil menjawab, “Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan.” “Kau tidak perlu berangkat besok. Mungkin kau masih ingin beristirahat satu dua hari lagi.“ “Terima kasih Panembahan. Jika demikian hamba masih dapat pulang dan bermalam satu malam di rumah hamba.” “Tentu,” jawab Panembahan Senapati, “selanjutnya, kau dapat memilih kawan. Prajurit atau bukan prajurit.” “Apakah hamba boleh membawa Glagah Putih bersama hamba?” bertanya Agung Sedayu. “Tentu. Aku juga sudah tahu tataran ilmu anak itu. Jauh lebih tinggi dari kewajaran anak-anak muda. Apalagi yang seumurnya,“ jawab Panembahan Senapati. “Ampun Panembahan. Glagah Putih tidak mempunyai kelebihan apa-apa selain kenakalannya,“ berkata Agung Sedayu agak ragu. Tetapi Panembahan Senapati itu pun berkata, “Kau pun tentu akan mengatakan bahwa kau pun tidak mempunyai kelebihan apa-apa, meskipun kau tentu tidak akan lupa bahwa kita pernah menjadi pengembara bersama.” Agung Sedayu yang tersenyum itu tidak menjawab, sementara Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Patih, “Bagaimana pendapat Paman Mandaraka?” Ki Patih Mandaraka pun tertawa pula. Katanya, “Aku sependapat dengan Angger Panembahan. Ki Lurah Agung Sedayu yang tidak mempunyai kelebihan apa-apa itu biarlah pergi ke Pati untuk melihat apa yang sekarang ini berkembang di Pati, dalam hubungannya dengan cerita beberapa orang petualang bahwa Pati yang gagal menyerang Mataram itu telah mempersiapkan kekuatan baru untuk menentang Mataram.” Agung Sedayu hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Panembahan Senapati dan Ki Patih Mandaraka masih saja tertawa. Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah memberikan beberapa pesan lagi, Panembahan Senapati pun telah memperkenankan Agung Sedayu meninggalkan istana. “Jika kau akan berangkat ke Pati, kau sudah tidak perlu menemui aku lagi, Agung Sedayu. Pesanku sudah cukup banyak, dan kau pun sudah mengetahui apa yang sebaiknya kau kerjakan.” “Hamba Panembahan,“ jawab Agung Sedayu sambil mengangguk hormat. “Nah, selamat malam. Aku kira kau akan bermalam di Kepatihan,“ berkata Panembahan Senapati kemudian. “Hamba Panembahan, jika Ki Patih Mandaraka memperkenankan.” “Ia datang bersama adik sepupunya,“ berkata Ki Patih. “Maksud Paman. Agung Sedayu datang bersama Glagah Putih?” “Ya, Ngger.” “Kenapa anak itu tidak kau ajak kemari?“ bertanya Panembahan Senapati kepada Agung Sedayu. Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Patih-lah yang menjawab, “Aku minta Glagah Putih tinggal di Kepatihan.” Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Biarlah Agung Sedayu yang memberitahukan kepadanya.” Demikianlah, Ki Patih Mandaraka pun telah mohon diri bersama Agung Sedayu meninggalkan istana untuk pergi ke Kepatihan, karena Agung Sedayu dan Glagah Putih akan bermalam di sana. Di Kepatihan, Agung Sedayu masih mendapat beberapa pesan dari Ki Patih Mandaraka. Bukan saja sebagai Patih di Mataram, tetapi juga sebagai orang tua. “Kau jangan merasa berkecil hati bahwa kau telah ditunjuk untuk menjalankan tugas ini, Agung Sedayu,“ berkata Ki Patih Mandaraka. “Tidak Ki Patih, Kami berdua tentu akan merasa bangga jika kami dapat menjalankan tugas ini dengan baik.” “Jika tiba-tiba saja kau yang teringat oleh Angger Panembahan Senapati untuk menjalankan tugas ini, justru kau adalah terhitung orang terakhir yang menjalankan tugas yang berat untuk mengikuti gerak mundur Pasukan Pati. Itu adalah karena Panembahan Senapati tidak dapat melupakan kau selama pengembaraanmu bersamanya, sebagaimana Panembahan Senapati mempercayaimu untuk menjadi Senapati Pengapitnya. Bagi Panembahan Senapati, kau adalah orang yang khusus. Meskipun kedudukanmu tidak lebih dari seorang Lurah prajurit, tetapi ternyata kau mendapat kepercayaan yang sangat besar dari Panembahan Senapati.” “Satu kebanggaan tersendiri, Ki Patih,“ desis Agung Sedayu. Ki Patih Mandaraka tersenyum. Kemudian katanya, “Nah, sudahlah. Kita akan makan bersama. Kemudian kau dan Glagah Putih dapat beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi kalian berdua.” Agung Sedayu, apalagi Glagah Putih, memang merasa canggung untuk makan bersama Ki Patih Mandaraka. Tetapi Ki Patih telah memerintahkannya. Malam itu, di dalam bilik yang sudah disiapkan bagi mereka, Agung Sedayu telah menceritakan perintah Panembahan Senapati itu kepada Glagah Putih. Kemudian Agung Sedayu pun telah memberitahukan pula, bahwa Agung Sedayu diperkenankan mengajak Glagah Putih untuk menjalankan tugas itu. Ternyata Glagah Putih menjadi gembira atas kesempatan itu. Katanya, “Terima kasih Kakang. Dengan demikian maka pengalamanku akan bertambah.” “Besok lusa kita berangkat. Apakah kau akan singgah di Jati Anom untuk bertemu dengan Paman Widura?” “Baik Kakang. Kita akan singgah, jika itu tidak menghambat perjalanan kita,“ jawab Glagah Putih. “Apakah Kakang juga akan singgah di Jati Anom?“ bertanya Glagah Putih kemudian. “Tentu. Jika kau singgah, aku pun akan singgah.” “Maksudku, menemui Kakang Untara. Atau bahkan singgah di Sangkal Putung?” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dalam kesibukan tugas dan ketegangan yang masih dialaminya dalam tugas-tugas barunya, Agung Sedayu rasa-rasanya masih belum ingin bertemu dengan Swandaru. Karena itu, meskipun ia tidak tahu apakah Swandaru masih berada di bekas perkemahan pasukan Mataram atau tidak, maka iapun menjawab, “Swandaru masih berada di perkemahan bersama Kakang Untara. Mereka bertugas sampai perkemahan itu dibongkar. Juga perkemahan orang-orang Pati.” Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih pun merasa segan untuk bertemu dengan Swandaru, meskipun Swandaru tidak pernah menilainya sebagaimana ia menilai kemampuan Agung Sedayu. Malam itu ternyata Glagah Putih tidak segera dapat tidur. Ia masih saja memikirkan tugas yang dibebankan kepada Agung Sedayu, dan yang kemudian melimpah pula kepadanya. Ia merasa bangga, bahwa Panembahan Senapati memberikan ijin langsung ketika Agung Sedayu menyebut namanya untuk menyertai tugasnya yang berat itu, meskipun ia bukan seorang prajurit. Namun akhirnya, Glagah Putih pun telah terlelap pula. Pagi-pagi keduanya sudah bangun dan berbenah diri. Kemudian, ketika matahari terbit, keduanya bermaksud mohon diri untuk segera berangkat kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi Ki Patih Mandaraka masih mempersilahkan keduanya untuk makan pagi. Selagi mereka makan, Ki Patih masih sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah ikat pinggang itu masih ada padamu?” Glagah Putih menyingkapkan bajunya sambil berkata, “Tentu, Ki Patih.” Ki Patih tersenyum. Katanya, “Bagus. Semakin lama ikat pinggang itu akan menjadi semakin akrab denganmu.” “Ya, Ki Patih,“ jawab Glagah Putih sambil mengangguk-angguk kecil. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan Kepatihan. Keduanya pun kemudian melarikan kuda mereka di sepanjang jalan kota, meskipun tidak terlalu kencang. Baru kemudian, ketika mereka keluar dari pintu gerbang, keduanya telah melecut kuda mereka, sehingga sejenak kemudian kuda-kuda itu telah berderap semakin cepat. Angin yang sejuk terasa mengusap wajah-wajah mereka. Di langit, selembar awan terapung hanyut ke arah Gunung Merapi. Pepohonan di sebelah-menyebelah jalan seakan-akan terbang ke belakang, sementara pematang sawah bagaikan berputar bersama padukuhan-padukuhan di tengah-tengah bulak persawahan yang luas. Orang-orang yang berpapasan, dengan cepat berusaha menepi. Ketika matahari naik semakin tinggi, keduanya telah sampai ke tepian Kali Praga. Keduanya pun langsung membawa kuda mereka naik ke atas sebuah rakit yang cukup besar, bersama beberapa orang penumpang yang lain. Setiap kali kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu masih saja menarik perhatian banyak orang. Seorang pedagang yang nampaknya cukup berhasil telah menanyakan dari mana Glagah Putih mendapatkan kuda itu. “Dari seorang sahabat, Ki Sanak. Sahabatku memiliki beberapa ekor kuda yang baik. Ia telah memberikan kepadaku seekor,“ jawab Glagah Putih. “Jika ada orang yang menjual kuda sebaik itu, aku mau membeli dengan harga berapapun juga,“ berkata orang itu. Glagah Putih mengetahui maksudnya. Tetapi ia sama sekali tidak menanggapinya. Namun orang itu kemudian berkata selanjutnya, “Apakah kau tidak ingin menukarkan kudamu, Ki Sanak? Jika kau sudah terlalu lama memiliki dan barangkali sudah menjadi jemu.” Tetapi Glagah Putih tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak merasa jemu dengan kudaku ini.” Tiba-tiba saja Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Barangkali Ki Sanak juga tertarik pada kudaku? Aku-lah yang sudah merasa jemu dengan kudaku. Aku ingin menggantinya dengan kuda setegar kuda adikku itu.” Orang itu mengerutkan keningnya. Sambil memandang kuda Agung Sedayu ia berkata, “Kudamu biasa-biasa saja Ki Sanak.” Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Justru karena itu, aku ingin kuda yang tidak bisa.” Pedagang itupun tertawa pula. Demikianlah, rakit mereka pun bergerak semakin dekat dengan tepian di seberang. Pedagang itu tidak habis-habisnya mengagumi kuda Glagah Putih. Ketika kemudian mereka turun selelah membayar upah penyeberangan, pedagang itu masih juga berkata, “Jika kapan-kapan kau menjadi jemu dengan kudamu, katakan kepadaku, Ki Sanak.” “Kemana aku mencari Ki Sanak?“ berkata Glagah Putih. “Aku tinggal di padukuhan Karang Gayam, Kademangan Kleringan, Ki Sanak. Namaku Wirakerti.” “Jadi Ki Sanak orang Kleringan?” bertanya Glagah Putih dengan nada tinggi. “Ya. Apakah kalian pernah pergi ke Kleringan?“ bertanya orang itu. “Aku orang Tanah Perdikan Menoreh. Aku banyak mengenal orang-orang Kleringan. Aku juga mengenal Ki Demang,“ jawab Glagah Putih. “O,” pedagang itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Syukurlah jika demikian. Datang saja ke rumahku meskipun kau tidak ingin mejual kudamu. Aku sudah merasa senang mendapat kesempatan mengamatinya.” “Terima kasih, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. Namun mereka pun kemudian berpisah. Glagah Putih dan Agung Sedayu mengambil jalan yang langsung menuju ke padukuhan induk Tanah perdikan, sementara orang itu menuju ke Kleringan. Dalam pada itu, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah berpacu kembali menuju ke padukuhan induk. Ketika mereka sampai di rumah, ternyata Ki Lurah Branjangan masih ada di rumah itu pula. Setelah beristirahat sejenak sambil minum-minuman hangat, Sekar Mirah yang segera ingin mengetahui tugas apa yang harus diemban oleh suaminya telah bertanya, “Perintah apakah yang Kakang terima dari Panembahan Senapati?” Agung Sedayu pun telah menceritakan dengan singkat tugas yang harus dilakukannya. Ia memilih berangkat bersama Glagah Putih daripada mengajak satu dua orang prajurit dari Pasukan Khususnya, yang sedang menikmati masa-masa istirahat mereka. “Jadi Kakang Glagah Putih akan ikut bersama Kakang Agung Sedayu dalam tugas ini?“ bertanya Rara Wulan “Ya. Ia akan pergi bersamaku untuk beberapa hari lamanya.“ “Tetapi Kakang harus membawanya pulang seutuhnya,“ berkata Rara Wulan. Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia masih bertanya, “Apa yang kau maksudkan? Apakah aku harus membawanya pulang tanpa cacat, tanpa segores luka pun di tubuhnya, atau aku harus membawanya pulang dengan hatinya yang masih utuh tanpa dilukai oleh gadis-gadis Pati?” “Ah, Kakang. Pokoknya utuh semuanya,“ jawab Rara Wulan. Yang mendengar jawaban itu tertawa. Wajah Rara Wulan tiba-tiba saja menjadi panas. Sambil menundukkan kepalanya ia berdesah beberapa kali. “Jangan cemas, Wulan,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “aku akan membawanya pulang dengan tanpa cacat. Tubuh dan hatinya.” Rara Wulan masih saja berdesah. Tetapi bahwa Agung Sedayu masih mempunyai waktu satu dua hari sebelum berangkat, telah membuat Sekar Mirah agak terhibur. Ia masih sempat berbincang panjang dengan suaminya, yang baru saja pulang dari medan perang dengan mempertaruhkan jiwanya. Namun Sekar Mirah pun menyadari bahwa tugas yang diemban oleh Agung Sedayu itu pun bukan tugas yang ringan. Ia akan berada di tempat yang asing dalam tugas sandi. Namun akhirnya, sampai pula saatnya Agung Sedayu dan Glagah Putih harus berangkat meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka masih akan singgah di sebuah padepokan kecil yang ditinggalkan oleh Kiai Gringsing. Padepokan Orang Bercambuk, yang kemudian dipimpin oleh Ki Widura. Semalam menjelang keberangkatan Agung Sedayu dan Glagah Putih, keduanya sempat mengunjungi dan minta diri kepada Ki Gede. Sedangkan untuk sementara Agung Sedayu minta agar Ki Lurah Branjangan berada di barak pasukan khususnya. Meskipun ia sudah mengatur tugas bagi para pembantunya, namun Ki Lurah Branjangan masih tetap mempunyai pengaruh di barak Pasukan Khusus itu. Meskipun Sekar Mirah mengerti sepenuhnya bahwa suaminya menjalankan tugasnya, namun rasa-rasanya berat juga melepaskannya pergi tanpa mengetahui kapan ia akan kembali. Demikian pula Rara Wulan. Meskipun kedudukan Rara Wulan masih belum sama seperti Sekar Mirah yang melepas Agung Sedayu, namun hati Rara Wulan pun terasa bergejolak pula. Berkuda Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka melarikan kuda mereka menyusuri bulak-bulak panjang dan pendek. Keduanya sama sekali tidak singgah di Mataram. Mereka justru menghindari agar perjalanan mereka tidak terhambat. Di perjalanan, keduanya harus berhenti untuk beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka istirahat pula. Sebagaimana mereka menghindari Kotaraja, maka mereka pun telah menghindari bekas perkemahan pasukan Mataram dan pasukan Pati di Prambanan. Mereka menyeberangi Kali Opak dan Kali Dengkeng beberapa ratus patok dari perkemahan. Kemudian keduanya melarikan kuda mereka langsung menuju Jati Anom, melingkar di kaki Gunung Merapi. Tidak ada hambatan yang mereka temui di perjalanan. Meskipun ada beberapa padukuhan yang masih nampak sepi, namun pada umumnya orang-orang yang mengungsi dari sekitar jalur jalan yang diperkirakan akan dilalui pasukan Pati, telah kembali. Padukuhan-padukuhan di sekitar Jati Anom pun telah mulai terisi. Pada umumnya orang-orang laki-laki telah kembali ke rumah mereka untuk mempersiapkan tempat bagi keluarganya. Bahkan ada juga satu dua keluarga yang seluruhnya telah kembali ke rumah mereka masing-masing. Sementara itu, beberapa kelompok prajurit telah berada di Jati Anom untuk menjaga kemungkinan buruk yang dapat terjadi, jika ada sekelompok orang yang ingin mencari kesempatan bagi kepentingan mereka sendiri. Bahkan kemungkinan timbulnya kejahatan terhadap orang-orang yang pulang dari pengungsian. Sementara barang-barang yang berharga masih terkumpul di satu tempat khusus, sebagaimana mereka simpan selama mereka mengungsi. Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak singgah dimana-mana. Tetapi kadang-kadang keduanya memang harus berhenti jika mereka berpapasan dengan sekelompok prajurit yang sedang meronda. Kepada para prajurit yang menghentikan mereka, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus menjawab beberapa pertanyaan sebelum mereka diperkenankan melanjutkan perjalanan. Tetapi setiap kali keduanya menyatakan akan pergi ke padepokan kecil di Jati Anom yang dipimpin oleh Ki Widura, maka mereka dipersilahkan melanjutkan perjalanan. Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah disambut dengan gembira sekali oleh Ki Widura. Selain mereka memang sudah lama tidak bertemu, Widura juga selalu berdebar-debar jika ia mengingat anaknya yang berada di dalam lingkungan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Ki Widura tahu bahwa Glagah Putih dan Agung Sedayu terlibat dalam perang antara Mataram dan Pati. Namun ternyata bahwa di padepokan kecil itu terdapat empat orang yang sebelumnya tidak dikenal oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi Ki Widura pun segera memperkenalkan mereka, bahwa mereka adalah para pengungsi yang menyingkir dari para prajurit Pati, yang kadang-kadang bersikap bermusuhan dengan orang yang tidak bersedia membantu mereka memusuhi Mataram. “Siapakah Angger berdua ini?“ bertanya Ki Lurah Wiranata, salah seorang dari keempat orang pengungsi itu. Ternyata Agung Serayu tetap bersikap berhati-hati, justru karena tugasnya. Karena itu, maka iapun menjawab, “Aku kemenakan Ki Widura, Ki Sanak. Sedang adik sepupuku ini adalah putra Paman Widura sendiri.” “O,“ orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya pula, “Sekarang Angger tinggal dimana?” “Kami tinggal di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Sanak. Istriku orang Tanah Perdikan itu. Sementara ini aku-lah yang menggarap sawah dan ladangnya, warisan dari orang tuanya.” Ternyata Ki Widura tanggap akan sikap Agung Sedayu. Iapun sudah menduga bahwa Agung Sedayu tentu sedang mengemban tugas penting, sehingga ia tidak dapat menyebut kenyataan tentang dirinya kepada orang yang memang belum begitu dikenalnya. Karena itu, maka justru iapun berkata, “Sementara ini anakku ikut bersamanya untuk membantunya.” Orang-orang itu mengangguk-angguk. Meskipun agaknya tersimpan beberapa pertanyaan lagi, namun orang itu sudah tidak bertanya lebih jauh. Agung Sedayu dan Glagah Putih bermalam satu malam di padepokan kecil itu. Ketika keduanya mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Ki Widura sendiri, keduanya telah mengatakan tugas apa yang sebenarnya sedang mereka pikul itu. “Hati-hatilah,“ pesan Ki Widura, “dalam suasana dan persiapan perang, para prajurit kadang-kadang menjadi kehilangan kesempatan untuk merenungi langkah-langkah yang mereka ambil. Mereka melakukan apa yang ingin mereka lakukan, justru karena mereka sendiri selalu merasa terancam.” “Ya, Paman,“ jawab Agung Sedayu. Namun dalam pada itu Glagah Putih bertanya, “Dimana kuda-kuda kita akan kita tinggalkan selama kita pergi ke Pati? Rencana kami kuda-kuda itu akan kami tinggalkan disini. Tetapi dengan demikian tentu akan menimbulkan pertanyaan pada keempat orang itu.” “Memang mungkin. Sementara itu aku juga masih belum dapat mengatakan apakah mereka benar-benar dapat dipercaya. Mereka nampaknya memang benar-benar menyingkir dari tekanan para prajurit Pati. Sementara itu, selama mereka di sini, mereka juga tidak berbuat sesuatu.” “Meskipun demikian, bukankah kita harus berhati-hati, Ayah?” “Ya,“ Ki Widura mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi biarlah kuda-kuda itu di sini. Mereka tidak akan tahu kemana kalian pergi.” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah, Paman. Kami akan meninggalkan kuda-kuda kami di sini. Kami berharap bahwa orang-orang itu benar-benar orang yang sedang mengungsi, sehingga tidak mempunyai niat buruk, terutama kepada Mataram. Kemudian kami pun yakin bahwa mereka tidak akan tahu, kemana kami akan pergi.” Keesokan harinya, ketika keduanya minta diri untuk meneruskan perjalanan, Agung Sedayu dan Glagah Putih mengatakan bahwa mereka hanya akan melihat-lihat rumah mereka di Jati Anom dan Banyu Asri. Demikianlah, Agung Sedayu pun sudah mulai menempuh perjalanan mereka yang panjang dengan tugas yang berat pula. Glagah Putih menganggap bahwa perjalanan itu merupakan bagian dari laku yang harus ditempuhnya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia akan mendapatkan banyak pengalaman yang akan berarti dalam hidupnya kelak. Karena itu, Glagah Putih Justru merasa bahwa tugas itu merupakan satu keberuntungan baginya. Langit yang bersih dan sinar matahari pagi yang menyiram batang padi di sawah, membuat pagi itu menjadi cerah. Embun yang bergayutan di ujung-ujung daun mulai menguap ketika panas matahari menyentuhnya. Meskipun perang setelah selesai, tetapi sawah yang terbentang luas itu masih belum digarap dengan baik. Masih ada kotak-kotak sawah yang masih belum dibersihkan dari rerumputan liar yang tumbuh di sela-sela batang padi. Di jalan-jalan masih belum nampak banyak orang yang berjalan hilir mudik. Baru satu dua orang yang berjalan dengan tergesa-gesa melintasi bulak yang panjang. Dengan demikian, jalan bulak yang panjang itu masih terasa sangat lengang. Ketika seorang laki-laki yang sudah separuh baya lewat mendahului mereka berdua, Agung Sedayu pun berusaha berjalan di sampingnya, sementara Glagah Putih pun melangkah dengan langkah-langkah panjang di belakangnya. Ternyata orang yang sudah separuh baya itu nampak menjadi sangat gelisah. Beberapa kali ia berpaling. Kemudian memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti. “Ki Sanak,“ sapa Agung Sedayu kemudian, “apakah aku boleh bertanya serba sedikit sambil berjalan bersama?” Orang itu nampak ragu-ragu. Namun ketika beberapa kali ia memandang wajah Agung Sedayu dan Glagah Putih, agaknya telah terjadi perubahan sikap batinnya terhadap kedua orang yang berjalan di sebelahnya itu. Meskipun masih dengan ragu, tetapi orang itu justru bertanya, “Apa yang akan kau tanyakan?” “Kenapa jalan yang cukup lebar, rata dan nampaknya terpelihara ini menjadi demikian sepi dan lengangnya?” “Banyak orang yang pergi mengungsi Ki Sanak,“ jawab orang yang sudah separuh baya itu. “Bukankah perang sudah selesai? Apakah mereka masih belum kembali dari pengungsian?” “Sebagian memang sudah. Tetapi sebagian memang belum. Sawah itu pun nampak ada yang sudah dipelihara dengan tertib, tetapi masih ada yang belum dijamah sejak kami pergi mengungsi.” “Kenapa masih ada yang belum bersedia kembali? Bukankah sudah tidak ada yang ditakuti lagi?” “Segala-galanya belum mapan di sini, Ki Sanak. Memang sebagian prajurit telah kembali. Tetapi jumlahnya nampaknya masih belum memadai. Karena itu, masih ada orang-orang jahat yang berani memanfaatkan keadaan ini untuk mencari kekayaan buat diri sendiri.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa setelah perang akan banyak persoalan yang timbul. Orang-orang yang pada dasarnya mempunyai watak dan sifat yang kurang baik, suasana setelah perang akan dapat mendorongnya untuk melakukannya lagi. Apalagi jika orang-orang itu menjadi kekurangan, atau pada dasarnya memang belum menghentikan kegiatannya itu. Dalam pada itu, setelah beberapa saat mereka berjalan bersama, orang itu pun kemudian berkata, “Rumahku di padukuhan yang nampak itu. Karena itu, di simpang tiga itu aku akan berbelok ke kanan.” “O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “silahkan Ki Sanak. Aku akan berjalan terus.” Ketika orang itu berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih berjalan terus. Namun orang itu sempat berpesan, “Berhati-hati. Semakin jauh Ki Sanak berjalan, maka jalan-jalan akan menjadi semakin sepi. Banyak padukuhan masih kosong. Bahkan agak jauh ke utara, keadaan masih terlalu gawat.” “Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu. “Para prajurit Pati yang terdesak mundur, nampaknya mengalami kesulitan di sepanjang perjalanan mereka. Kakakku yang datang dari utara mengatakan, bahwa masih ada kelompok-kelompok kecil prajurit Pati yang menelusuri jalan kembali. Di sepanjang jalan mereka harus mendapatkan makanan dan minuman. Tetapi kadang-kadang mereka tidak sekedar ingin makanan dan minuman, tetapi juga perhiasan dan barang-barang berharga lainnya.” “Mereka tentu bukan prajurit Pati,“ jawab Agung Sedayu. “Lalu, bagaimana aku harus menyebut, jika mereka pergi ke selatan bersama pasukan yang dipimpin sendiri oleh Kanjeng Adipati Pragola?” “Prajurit Pati yang sebenarnya, jumlahnya tidak mencukupi. Karena itu Kanjeng Adipati Pati telah mengumpulkan orang laki-laki yang tinggal di sebelah utara Gunung Kendeng. Nah, laki-laki yang berasal dari daerah yang demikian luasnya itu, tentu ada di antaranya yang kehilangan pegangan ketika mereka mengalami kesulitan.” Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya sambil melangkah melanjutkan perjalanan lewat jalan yang lebih sempit, “Namun bagaimanapun juga, kalian harus berhati-hati.“ “Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas peringatan Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu. Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meneruskan perjalanan mereka. Ketika mereka lapar dan haus, ternyata mereka sangat sulit untuk menemukan sebuah kedai yang membuka pintunya. Namun akhirnya Agung Sedayu dan Glagah Putih berhasil menemukan sebuah kedai yang meskipun kecil, namun agaknya mencukupi kebutuhan sekedar untuk mengobati haus dan lapar. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Puth telah terbiasa makan sederhana. Sementara itu, matahari telah mulai turun. Sinarnya bagaikan membakar ikat kepala. Di kejauhan nampak bayangan ndeg amun-amun, sejak matahari menjadi semakin rendah. Tetapi demikian keduanya memasuki kedai itu, maka terasa satu suasana yang lain. Beberapa orang sudah duduk di dalam kedai itu. Di hadapan mereka sudah dihidangkan mangkuk-mangkuk minuman. Namun agaknya mereka sudah cukup lama duduk di kedai itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih mencoba untuk tidak menghiraukan mereka. Keduanya hanya ingin makan dan minum. Tidak lebih. Seorang yang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan jambang, kumis dan janggut yang pendek tetapi tebal, melangkah mendekati keduanya. Bajunya yang terbuka memperlihatkan dadanya yang ditumbuhi bulu-bulu yang lebat. Sebuah luka goresan menyilang di antara bulu-bulu dadanya itu. Dengan wajah yang sama sekali tidak menunjukkan keramahan seorang yang berjualan makanan dan minuman, orang itu bertanya, “Kalian mau minum dan makan apa?” Agung Sedayu menarik nafas panjang. Digamitnya Glagah Putih yang hampir saja bangkit. Anak itu nampak tersinggung melihat sikap penjual di kedai itu. Agung Sedayu-lah yang kemudian menjawab, “Kami minta wedang sere saja Ki Sanak. Kemudian nasi dua mangkuk.” Orang itu tidak menjawab. Iapun kemudian menuang wedang sere ke dalam dua buah mangkuk. Menyenduk nasi, dengan sayur lodeh kluwih dan sepotong ikan ayam, dan sebungkus bothok mlandingan. Tanpa berkata apa-apa pula, orang itu menyodorkan pesanan itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Minum dan makanlah,“ desis Agung Sedayu kepada Glagah Putih, yang menjadi semakin tidak senang terhadap sikap penjual di kedai itu. Tetapi ia tidak membantah. Sebagaimana Agung Sedayu, Glagah Putih pun menghirup minumannya. Wedang sere dan gula kelapa, sehingga tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar. Namun ketika Glagah Putih akan mulai makan nasi dengan sayur lodehnya, Agung Sedayu memegang pergelangan tangan Glagah Putih. “Kau tidak usah makan. Biar aku saja yang makan,“ bisik Agung Sedayu. Glagah Putih mengerutkan dahinya. Ketika ia memandang wajah Agung Sedayu, Agung Sedayu itu mengangguk kecil. Glagah Putih pun segera tanggap. Tentu ada sesuatu yang gawat, sehingga kakak sepupunya itu melarangnya makan. Yang segera terkilas di kepalanya adalah racun. Nasi itu tentu mengandung racun, sementara kakak sepupunya itu tawar akan segala macam racun dan bisa. Pemilik kedai yang bertubuh tegap gelisah karena Glagah Putih tidak ikut makan nasi lodeh yang telah dihidangkan. Karena itu, orang itu pun kemudian melangkah medekati Glagah Putih sambil bertanya, “Kenapa kau tidak makan Anak Muda?” “Aku masih kenyang, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih. “Tetapi kenapa kalian memesan dua mangkuk nasi, jika kau masih kenyang?” “Kakakku ini terbiasa makan terlalu banyak. Ia akan menghabiskan dua mangkuk nasi dengan sayur lodeh itu.” “Kau jangan menyinggung perasaanku. Masakan kami sudah terkenal di seluruh daerah ini. Jika kau tidak mau makan, maka kau telah menghina kami.” “Maaf, Ki Sanak. Aku memang tidak lapar.” Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun seseorang yang ada di kedai itu memberinya isyarat untuk mendekat. Orang bertubuh tegap dan berdada bidang dengan bulu-bulu lebat di dadanya itu pun mendekati orang yang memanggilnya itu. Agung Sedayu yang curiga segera mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu, sehingga ia dapat mendengar pembicaraan orang-orang itu, meskipun diucapkan sangat perlahan-lahan. Seorang yang berwajah gelap berdesis lemah, “Biarkan saja. Jika yang seorang mati, anak itu tidak akan berdaya.” Namun seorang yang lain berdesis, “Kita juga tidak yakin keduanya membawa barang-barang berharga. Apa yang ada pada mereka, tidak cukup untuk mengupah menggali dua lubang kubur.” Mereka pun kemudian terdiam. Sementara orang yang bertubuh tegap dan berdada bidang itu kembali ke tempatnya tanpa bertanya apa-apa lagi kepada Glagah Putih. Sementara itu Agung Sedayu telah selesai makan. Ia sadar sepenuhnya, bahwa nasi itu memang mengandung racun. Namun kekebalan tubuhnya terhadap racun dapat mengatasinya, sehingga racun itu sama sekali tidak menimbulkan akibat apapun bagi tubuhnya. Meskipun demikian, Agung Sedayu dan Glagah Putih harus semakin berhati-hati. Jika racun itu tidak berhasil membunuh mereka, maka orang-orang itu tentu akan mempergunakan kekerasan untuk membunuh keduanya. Dalam pada itu, Agung Sedayu pun telah selesai makan. Tetapi masih ada semangkuk nasi yang belum dimakan. Semangkuk nasi yang seharusnya dipesan bagi Glagah Putih. Orang-orang lain yang ada di kedai itu mulai menjadi gelisah. Orang yang makan dan menghabiskan semangkuk nasi itu masih tetap duduk di tempatnya. Ketika ia meneguk wedang serenya, ia masih tetap kelihatan segar. Racun yang tertelan bersama nasi yang dihidangkannya, nampaknya masih belum berpengaruh atasnya. Pemilik kedai itu mulai berkeringat. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih seakan-akan tidak menghiraukan penjual nasi dan orang-orang lain yang ada di kedai itu. Beberapa saat kemudian, Agung Sedayu pun berkata, “Ternyata aku tidak dapat menghabiskan dua mangkuk nasi ini. Ketika aku memesan dua mangkuk, aku kira setiap mangkuk nasi tidak sebanyak ini.” Penjual nasi itu tidak sabar lagi. Racun di nasi yang dihidangkan ternyata tidak membunuh orang itu. Meski pun demikian orang itu sempat menjadi ragu. Tetapi ia merasa yakin bahwa ia sudah menaburkan racun itu di atas nasi sebelum diberinya sayur lodeh dan lauk-pauknya. “Apakah orang ini kebal racun?” orang itu bertanya kepada diri sendiri. Tetapi ia mempunyai alasan untuk memulai dengan pertengkaran. Karena itu, maka iapun melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih. Dengan kasar ia berkata, “Kalian atau salah seorang dari kalian harus menelan nasi yang sudah kalian pesan.” “Bukankah itu tidak perlu, Ki Sanak?“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi aku akan menderita rugi. Jika kalian tidak makan nasi itu, lalu buat apa?” “Jangan merasa dirugikan. Aku akan membayar harganya,“ jawab Agung Sedayu pula. Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kalian sudah menghina kami. Sudah aku katakan, bahwa masakanku dan istriku telah dikenal di daerah ini. Jika kalian memesannya dan tidak memakannya, itu berarti bahwa kalian telah merendahkan kemampuan kami.” “Ki Sanak. Aku bukannya baru sekali ini masuk ke dalam sebuah kedai. Tetapi aku tidak pernah mengalami perlakuan seperu ini,“ berkata Agung Sedayu. “Aku tidak peduli. Tetapi aku benar-benar merasa tersinggung dengan tingkah laku kalian.” “Sudahlan. Jangan berputar-putar. Apa sebenarnya yang kalian kehendaki?” Wajah orang itu menjadi tegang, sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Kau tentu mempunyai maksud buruk terhadap kami. Bahkan mungkin terhadap banyak orang yang telah singgah di kedaimu ini. Mungkin di belakang kedai ini terdapat sebuah kuburan yang luas tanpa pertanda apapun juga. Orang-orang yang mati karena kau racun, akan kau kubur di belakang kedai ini, atau di tempat lain yang jarang dikunjungi orang.” “Setan kau. Apa yang kau bicarakan itu?“ geram orang bertubuh tegap dan berbulu di dadanya itu. “Kita bukan anak-anak lagi. Buat apa kita harus berpura-pura? Katakan saja bahwa kau telah meracun kami berdua. Agaknya kau mempergunakan kesempatan selagi tatanan kehidupan belum mapan setelah terjadi perang. Mungkin kau berpikir, bahwa membunuh dalam suasana seperti ini sekedar untuk mendapatkan timang emas atau perak, pendok keris atau apapun juga, tidak akan ada yang mengurus, apalagi menangkap dan menghukum.” “Cukup,” orang yang semula duduk di kedai itu pun bangkit berdiri. Tiga orang yang garang. Wajah-wajah mereka geram memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih. “Serahkan semua kekayaan yang ada padamu. Timang dan mungkin uang, cincin yang kau pakai dan segalanya.” Agung Sedayu itu pun menjawab sambil menjulurkan tangannya, “Nah, kau lihat. Aku tidak mengenakan cincin. Adikku juga tidak. Timang di ikat pinggangku pun tidak terbuat dari perak, apalagi emas. Timangku terbuat dari tembaga. Buatannya pun keras. Uang, aku hanya membawa secukupnya. Barangkali hanya cukup untuk membayar nasi dan minuman yang kami pesan, meskipun kau bubuhi racun di atasnya.” “Aku tidak peduli. Tetapi kau sudah mengetahui apa yang kami lakukan di sini. Karena itu, kau dan adikmu akan mati. Kalian akan aku kubur di belakang kedai ini. Meskipun kau tidak mempunyai barang-barang berharga, tetapi kau tidak boleh meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup, karena mulutmu akan berbicara kepada banyak orang tentang kedai kami ini.” “Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “biarlah kami pergi. Kami berjanji bahwa kami tidak akan mengatakan apapun juga tentang kedai ini.” “Tidak,“ geram salah seorang di antara mereka, “satu-satunya kemungkinan terbaik bagi kalian adalah menyerahkan leher kalian. Karena dengan demikian, kalian akan dengan cepat mati. Tetapi jika kalian berusaha untuk melawan, maka kalian akan memperpanjang kesengsaraan kematian kalian.” “Kami adalah pengembara yang sudah mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan seperti ini. Karena itu, jangan berharap bahwa kami akan menyerah,“ jawab Agung Sedayu. Keempat orang itu nampaknya tidak sabar lagi. Ketika keempatnya melangkah mendekat, maka Agung Sedaya dan Glagah Putih pun segera mengambil jarak di atara amben-amben bambu yang ada. bersambung

Apidi Bukit Menoreh (3), halaman 1/54 Api di Bukit Menoreh Seri 3 S.H. Mintardja “Nah, katakan, siapa engkau?” ulang Widura. Orang itu seakan-akan tidak mendengarnya. Bahkan kemudian ia bertanya kepada Agung Sedayu.

♦ 15 Juli 2010 Ketika pertempuran menjadi semakin sengit, maka lawan Swandaru itu semakin merasakan betapa kekuatan dan kemampuan orang yang terhitung agak gemuk itu semakin menekannya. Sekali-sekali Swandaru telah berhasil menembus pertahanan lawannya. Serangan-serangannya mulai menyentuh tubuh lawannya. Karena itu, maka lawan Swandaru itu telah meningkatkan ilmunya sampai batas kemampuannya yang tertinggi. Seperti Ki Wreksadana, maka saudara seperguruannya itu mampu pula mengetrapkan ilmunya sehingga perlahan-lahan tangannya pun telah membara. Meskipun masih berada di bawah tataran Ki Wreksadana namun telapak tangannya yang menjadi merah itu telah membuat Swandaru menjadi berdebar-debar. Sebenarnyalah bahwa pertempuran itu menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka. Swandaru harus berloncatan semakin cepat untuk menghindari sentuhan tangan lawannya, karena Swandaru segera dapat mengenali kekuatan ilmu yang nampak pada telapak tangan lawannya itu. Namun betapapun cepatnya Swandaru bergerak, tetapi dalam pertempuran yang sengit itu, ternyata bahwa telapak tangan lawannya itu sekali telah menyentuh lengan Swandaru. Terasa betapa panasnya bara telah membakar pakaian dan bahkan kulitnya pada lengannya itu. Karena itu, sambil menyeringai kesakitan, maka Swandaru meloncat mundur mengambil jarak. Terdengar orang itu tertawa. Katanya, “Kau tidak akan dapat lari Ki Sanak. Nasibmu memang buruk. Jika tanganku ini menyentuh dadamu, maka kau tidak akan dapat berharap untuk tetap hidup. Bukan hanya kulitmu yang terbakar, tetapi kekuatan hentakan tanganku akan merontokan isi dadamu.” Swandaru pun menggeram marah. Ia sadar, bahwa sulit baginya untuk melawan orang yang berilmu tinggi dengan telapak tangan yang membara itu. Jika sekali-sekali ia sempat menyerang, maka lawannya tidak akan mengelak. Tetapi ia akan membentur serangan itu, kemudian berusaha menyerang dengan telapak tangannya. Meskipun demikian, Swandaru masih mencoba beberapa saat. Ia telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya. Ternyata sekali dua kali Swandaru memang mampu menembus penahanan lawannya. Serangannya yang cepat dengan kaki terayun pada putaran tubuhnya sempat mengenai pundak lawannya, sehingga keseimbangan lawannya terguncang. Namun dengan cepat pula lawannya itu telah menggapai kaki Swandaru, meskipun kemudian orang itu harus terhuyung-huyung beberapa saat. Sekali lagi panas yang sangat telah menyengat pergelangan kakinya. Betapa sakitnya, sehingga kakinya itu telah terganggu oleh perasaan pedih dan nyeri. Dengan demikian kemarahan Swandaru tidak tertahankan lagi. Karena itu, maka Swandaru pun telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Sekali lagi terdengar orang itu tertawa, justru berkepanjangan. Bahkan sejenak kemudian orang itu meloncat memburu Swandaru. Tetapi orang itu terkejut. Bahkan orang itu terpaksa surut selangkah. Di tangan lawannya yang masih terhitung muda itu kemudian telah tergenggam sebuah cambuk yang berjuntai panjang. “Kau juga bersenjata cambuk?“ bertanya orang itu. Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia menghentakkan cambuknya. Tiba-tiba saja Swandaru tertarik oleh permainan Agung Sedayu. Ledakan cambuknya yang pertama itu terdengar bagaikan meledakkan seisi halaman. Lawannya mengerutkan dahinya. Tetapi kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Buat apa kau pamerkan cambukmu itu, jika kau tidak lebih dari penari cambuk jalanan?” Swandaru tidak menjawab. Tetapi sekali lagi cambuknya menggelepar memekakkan telinga. “Cukup!” bentak orang itu, “Suara cambukmu menyakitkan telinga. Tetapi tidak berarti apa-apa.” Swandaru masih tetap berdiam diri. Namun agaknya lawannya pada ledakan-ledakan itu tidak merasakan ungkapan ilmu yang tinggi. Tetapi sejak ia mulai bertempur, maka orang itu sudah mengetahui bahwa lawannya yang agak gemuk itu mempunyai ilmu yang tinggi. Karena itu, maka orang itu pun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang yang tidak terlalu panjang. Namun daun pedang itu bagaikan berkeredip disentuh cahaya lampu minyak yang lemah. Swandaru pun menyadari, bahwa pedang itu adalah pedang yang sangat baik. Namun Swandaru memang sangat yakin akan senjatanya itu. Demikianlah, sejenak kemudian lawan Swandaru itu mulai menjulurkan pedang di tangan kanannya. Namun telapak tangan kirinya yang terbuka masih juga mendebarkan jantung Swandaru, karena telapak tangan itu masih berwarna bara. Demikianlah, sejenak kemudian orang itu telah meloncat menyerang Swandaru. Pedangnya bergetar terjulur menggapai dada Swandaru. Namun dengan tangkasnya Swandaru mengelakkan serangan itu sambil menghentakkan cambuknya yang menggelepar memekakkan telinga. Tetapi ujung cambuk itu rasa-rasanya bergerak sangat lamban. Sehingga dengan satu loncatan menyamping, ujung cambuk itu tidak mampu mengejarnya. Bahkan dengan tangkasnya orang itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya mendatar. Hampir saja menyambar dada Swandaru. Namun Swandaru cepat mengelak. Dengan tangkas ia bergeser sambil memiring tubuhnya. Namun ia tidak menduga bahwa demikian cepatnya tangan kiri lawannya terjulur dan berhasil menyentuh pundaknya. Sekali lagi Swandaru harus menyeringai menahan sakit. Karena itu, maka sekali lagi Swandaru mengambil jarak. Namun ia tidak lagi mau bermain-main. Justru setelah pakaiannya terkoyak oleh sentuhan telapak tangan lawannya yang membara itu. Tetapi lawannya tidak ingin memberinya kesempatan. Dengan cepat pula ia telah memburu Swandaru sambil mengayunkan pedangnya untuk menyambar kening. Tetapi Swandaru yang menyadari bahaya yang datang itu sudah tidak ingin bermain-main lagi. Luka-luka bakar di tubuhnya sudah cukup membuat darahnya mendidih. Bahkan ia telah menyesal, memberi kesempatan lawannya dengan permainan cambuknya. Karena itu, demikian lawannya meloncat, maka Swandaru dengan tangkasnya meloncat pula menghindar, tanpa menghiraukan pergelangan kakinya yang masih terasa nyeri. Tenaga dalamnya yang besar telah mendukungnya, sehingga Swandaru terlepas dari jangkauan serangan lawannya. Dengan perhitungan yang mapan, maka ketika lawannya berusaha memburunya, cambuk Swandaru telah menggelepar lagi. Tetapi juntai cambuknya tidak lagi melontarkan ledakan yang menyakitkan telinga. Justru suara cambuk itu tidak terdengar lagi. Lawan Swandaru itu terkejut. Dengan cepat ia menggeliat untuk mengurungkan serangannya. Tetapi ujung cambuk itu tidak lagi bergerak terlalu lamban sebagaimana sebelumnya. Demikian ia bergeser, ujung cambuk itu seakan-akan telah memburunya. Ternyata lawan Swandaru itu tidak dapat melepaskan diri sepenuhnya dari ujung cambuk Swandaru. Jika sentuhan sebelumnya hanya mampu membuat seleret garis merah kebiru-biruan di kulitnya, maka ujung cambuk yang justru tidak meledak itu benar-benar telah mengoyak kulitnya. Orang itu-lah yang kemudian meloncat mundur. Namun demikian ia berdiri tegak, maka pedangnya pun mulai bergetar lagi. Karena Swandaru tidak memburunya, maka orang itu-lah yang melangkah maju sambil mengacukan pedangnya yang berkeredipan itu. “Setan kau,“ geram orang itu, “kau telah menghina aku dengan permainan cambukmu. Kau mengira bahwa ledakan-lekadan cambukmu dapat menggetarkan jantungku, sehingga kau merasa tidak perlu bertempur pada tataran puncakmu.” Swandaru tidak menyahut. Tetapi ia sudah memutar cambuknya. Ketika ia menghentakkannya, maka hampir tidak terdengar suaranya sama sekali. Tetapi terasa getarannya menerpa dada lawannya itu. Dengan demikian, maka lawannya itu segera menyadari bahwa orang yang agak gemuk itu memang mempunyai ilmu yang tinggi. Sejenak kemudian, pertempuran pun telah berkobar lagi, ketika orang itu meloncat menyerang sambil menjulurkan pedangnya. Namun ia harus cepat menghindar ketika cambuk Swandaru bergetar menyambarnya. Lawan Swandaru itu pun kemudian harus mengerahkan segenap kekuatan, kemampuan dan daya tahannya untuk mengatasi serangan-serangan cambuk Swandaru. Pedangnya yang dibanggakannya itu ternyata tidak mampu memutuskan juntai cambuk lawannya. Bahkan juntai cambuk itu sekali-sekali telah membelit daun pedangnya. Dengan hentakan yang sangat kuat, hampir saja pedang itu justru terlepas dari tangannya. Namun orang itu pun memiliki bekal ilmu yang mapan. Sebagaimana Ki Wreksadana, orang itu adalah orang yang sangat garang. Sementara itu, seorang demi seorang lawan Agung Sedayu telah menyusut. Prastawa yang sekali-sekali terdesak oleh lawannya yang berilmu tinggi, tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa beberapa kali Agung Sedayu sempat menyelamatkannya. Sementara itu, Sekar Mirah memang agak kecewa bahwa ia tidak membawa tongkat baja putihnya. Namun demikian pula Pandan Wangi. Pisaunya yang rangkap benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi lawan-lawannya, meskipun tidak seberbahaya jika ia memegang sepasang pedang. Di sisi lain, Ki Argajaya yang sudah mulai lamban bukan saja karena umurnya, tetapi karena ia sudah terlalu lama tidak berlatih, masih tetap mampu membingungkan lawannya. Ujung tombaknya lelah berhasil menyentuh seorang lawannya yang tidak berhasil menghindari serangannya. Meskipun luka itu tidak menghentikan perlawanannya, tetapi tenaganya semakin lama telah menjadi semakin menyusut, karena darahnya yang justru semakin banyak mengalir karena orang itu masih saja terlalu banyak bergerak. Tetapi Agung Sedayu telah menghentikan perlawanan lawan-lawannya seorang demi seorang. Orang-orang yang merasa berilmu tinggi itu ternyata sulit untuk melawan ledakan cambuk Agung Sedayu, meskipun Agung Sedayu belum mengerahkan kemampuannya sampai ke puncak. Apalagi di samping Agung Sedayu, terdapat orang-orang yang berilmu tinggi pula, meskipun sebagian dari mereka adalah perempuan. Dalam pada itu, ketika jumlah lawannya sudah jauh menyusut, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah teringat kepada Rara Wulan. Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun berkata, “Aku akan melihat Rara yang ada di dalam rumah.” “Pergilah,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah tidak menunggu lebih lama. Iapun segera berlari ke pendapa. Di sebelah pendapa itu ia masih melihat Ki Suracala bertempur melawan saudara sepupunya, Ki Suratapa. Dalam sekilas Sekar Mirah menyaksikan bahwa kemampuan Ki Suracala ternyata tidak berada di bawah kemampuan Ki Suratapa. Tetapi Sekar Mirah tidak dapat terlalu lama memperhatikan pertempuran itu. Karena menurut perhitungannya Ki Suracala masih akan dapat bertahan lebih lama lagi, atau bahkan mampu mengatasi saudara sepupunya, maka Sekar Mirah pun segera berlari ke ruang dalam. Namun ternyata pertempuran telah terjadi di longkangan. Berlari-lari Sekar Mirah memasuki serambi samping dan langsung keluar dan turun di longkangan. Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Ia melihat Rara Wulan harus mengerahkan tenaga dan kemampuannya bertempur melawan Ki Suradipa. Sebenarnya menurut penilaian Sekar Mirah, Rara Wulan mampu mengimbangi ilmu Ki Suradipa. Namun nampaknya Rara Wulan sudah menjadi terlalu letih. Sebelumnya ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya melawan tiga orang sekaligus. Kemudian ia harus menghadapi Ki Suradipa yang garang. Bahkan Sekar Mirah itu melihat, Wiradadi justru mulai berusaha untuk bangkit. Ketika ia mengetahui pamannya ada di longkangan itu pula dan bahkan sedang bertempur melawan perempuan yang menurut pendapatnya berilmu iblis itu, keberaniannya mulai tumbuh lagi. Keberaniannya telah mendorongnya untuk mengerahkan sisa tenaganya. Tetapi Wiradadi tidak sempat bangkit berdiri. Demikian ia berusaha berdiri, maka pundaknya telah ditekan oleh kekuatan yang sangat besar, namun terasa sentuhannya adalah sentuhan jari-jari yang lentik. Ketika Wiradadi berpaling, maka dilihatnya di sisinya berdiri seorang di antara tiga orang perempuan yang ikut datang sebagai utusan Ki Argajaya. “Duduklah,” berkata Sekar Mirah, “kau perlu beristirahat. Keadaanmu agaknya menjadi sangat buruk.” Wiradadi tidak menjawab. Tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu. Ia sadar bahwa perempuan itu tentu juga berilmu iblis seperti perempuan muda yang sedang bertempur itu. Apalagi menilik pakaian perempuan itu mirip dengan pakaian perempuan muda yang sedang bertempur melawan pamannya itu. Untuk beberapa saat Sekar Mirah tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih ingin melihat tataran kemampuan Rara Wulan jika ia benar-benar di medan. Namun Rara Wulan memang memiliki dasar ilmu yang cukup. Sekali-sekali ia justru membuat lawannya harus berloncatan surut. Tetapi Rara Wulan nampaknya memang sudah mulai letih. Dengan demikian, Ki Suradipa berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu. Ia berusaha untuk memaksa Rara Wulan bergerak terlalu banyak. Serangan-serangannya datang beruntun dengan langkah-langkah panjang. Demikian pula jika Ki Suradipa itu harus menghindari serangan-serangan Rara Wulan. Ternyata Rara Wulan yang belum memiliki pengalaman yang cukup itu telah terpancing. Rara Wulan justru berusaha untuk selalu memburu lawannya. Namun kemudian menghindari serangan-serangan panjang lawannya dengan loncatan-loncatan panjang pula. Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih membiarkan Rara Wulan bertempur terus. Namun Rara Wulan yang melihat kedatangan Sekar Mirah, tenaganya yang menyusut itu seakan-akan telah mekar kembali. Apalagi karena lawannya menjadi gelisah karenanya. Meskipun demikian, namun Ki Suradipa masih tetap berusaha untuk mengalahkan Rara Wulan, dan jika kemudian perempuan yang baru datang itu melibatkan diri, maka iapun harus dilumpuhkannya pula, agar selanjutnya ia dapat membawa Kanthi ke pendapa. Namun dalam pada itu, ketika Ki Suradipa itu berusaha untuk menghentakkan ilmunya sampai ke tataran tinggi sehingga Rara Wulan justru mulai terdesak, maka Sekar Mirah pun berkata, “Ki Sanak. Semua yang kau lakukan akan sia-sia. Kawan-kawanmu dan bahkan Ki Wreksadana dan pengawal-pengawalnya akan dihancurkan. Apakah aku masih akan bertempur terus?” Ki Suradipa memang menjadi berdebar-debar. Tetapi ia masih menjawab ketika ia mendapat kesempatan, “Omong kosong. Kawan-kawanmu akan mati terbunuh di halaman ini. Juga perempuan ini dan kau sendiri.” “Jika aku berbohong, maka aku tidak akan berada di sini,” berkata Sekar Mirah, “aku sudah kehabisan lawan di halaman depan.” “Jika kau akan bertempur bersama-sama, lakukanlah. Aku sudah mengira bahwa kelicikan kalian tidak seimbang dengan kesombongan kalian. Meskipun kalian perempuan, namun dengan sombong kalian sudah berani turun ke medan pertempuran. Namun dalam kesulitan kalian hanya dapat bertempur bersama-sama dan bahkan berkelompok.” Sekar Mirah tertawa. Ia melihat Rara Wulan menyerang lawannya. Masih dengan loncatan-loncatan panjang, sehingga nafas Rara Wulan mengalir semakin deras. “Cara yang tidak menarik untuk membuat perisai,” berkata Sekar Mirah, “dengan menyinggung harga diri kami, maka kalian berusaha untuk mencegah aku memasuki arena pertempuran.” Ki Suradipa tidak segera menjawab karena Rara Wulan tengah meloncat menyerangnya. Bahkan Ki Suradipa itu meloncat untuk menghindari serangan itu, sekaligus memancing Rara Wulan untuk bergerak lebih banyak. Rara Wulan memang masih saja terpancing. Namun kehadiran Sekar Mirah benar-benar mempengaruhi daya tahannya. Karena itu, maka rasa-rasanya tenaga Rara Wulan justru menjadi semakin segar. Sekar Mirah masih membiarkan Rara Wulan bertempur sendiri. Gadis itu memang memerlukan pengalaman. Selagi keadaannya tidak sangat berbahaya baginya. Selendang Rara Wulan masih berputaran. Sementara itu pedang Ki Suradipa bergetar di tangannya yang terjulur. Dengan tangkasnya Ki Suradipa kemudian meloncat menyerang. Pedangnya terayun mendatar menyambar ke arah dada lawannya. Tetapi dengan tangkas pula Rara Wulan menghindar. Selendangnya dengan cepat menyambar. Tetapi Suradipa sempat meloncat mengambil jarak. Sekar Mirah menarik nafas panjang. Ia menganggap bahwa kemampuan Rara Wulan cukup memadai dibandingkan dengan waktu yang dijalani selama menempa diri. Bahkan Sekar Mirah sendiri sekali-kali mengerutkan dahinya. Ia sempat melihat bagaimana gadis itu dengan cerdik mengetrapkan unsur-unsur gerak yang sudah dikembangkannya. Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan telah menjadi letih. Tenaganya mulai menyusut kembali, meskipun saat kedatangan Sekar Mirah tenaga itu nampak menjadi segar. Ki Suradipa yang memiliki pengalaman jauh lebih banyak dari Rara Wulan telah memaksa gadis itu untuk lebih banyak mengerahkan tenaganya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat. Pedangnya berputar menggapai-gapai. Namun kemudian menebas dan menyambar-nyambar. Rara Wulan masih berusaha untuk menggetarkan pertahanan lawannya dengan putaran selendangnya. Sekali-sekali Suradipa memang terkejut. Ujung selendang itu nyaris menyambar wajahnya. Namun Rara Wulan harus berloncatan memburu Ki Suradipa yang menghindar dengan loncatan-loncatan panjang. Rara Wulan yang menjadi semakin letih itu harus mengerahkan sisa-sisa tenaganya. Namun justru karena itu, maka serangan-serangan lawannya menjadi semakin berbahaya baginya. Agaknya hal itu disadari sepenuhnya oleh Ki Suradipa. Karena itu, maka iapun telah bertempur semakin garang. Sekar Mirah yang semula menyaksikan pertempuran itu dengan tegang, kemudian justru tertawa. Sambil melangkah mendekati arena ia berkata, “Ki Suradipa memang cerdik. Ia tidak mempunyai kelebihan apa-apa darimu Rara, selain pengalaman dan kelicikan. Ia tahu bahwa kau sudah menjadi lelah sebelumnya, karena agaknya kau sudah bertempur melawan ketiga orang yang sudah tidak berdaya itu. Kemudian ia memanfaatkannya untuk menundukkanmu.” Rara Wulan mendengar kata-kata Sekar Mirah itu sebagaimana Ki Suradipa. Gadis itu memang tidak dapat ingkar, bahwa ia memang sudah menjadi letih. Tenaganya sudah menyusut dan nafasnya mengalir semakin cepat. Keringatnya sudah membasahi seluruh tubuh dan pakaiannya. Sementara itu Ki Suradipa itu pun menggeram, “Setan kau. Kau tidak usah banyak bicara. Jika kau akan ikut campur, lakukanlah. Aku tidak takut menghadapi kalian berdua.” “Jika saja Rara Wulan sejak pertama turun di pertempuran langsung harus melawanmu, maka kau tidak akan dapat bertahan terlalu lama Ki Suradipa,” berkata Sekar Mirah, “tetapi pengalamanmu dan kelicikanmu telah kau pergunakan untuk memeras tenaganya. Loncatan-loncatan panjang dan bahkan caramu menghindari serangan Rara Wulan dengan berlari-lari kecil telah membuat Rara Wulan menjadi semakin letih.” “Itu adalah karena kebodohannya!“ teriak Suradipa, “Itu sama sekali bukan kelicikan!” “Ya. Justru karena Rara Wulan kurang pengalaman,“ jawab Sekar Mirah. “Aku tidak peduli. Apakah dalam setiap pertempuran aku harus bertanya, apakah lawanku sudah berpengalaman atau belum? Jika perempuan itu sudah berani turun ke medan, maka segala akibat kebodohannya harus ditanggungnya.” “Baik. Baik. Kau benar,” berkata Sekar Mirah yang melangkah semakin dekat. Lalu katanya kepada Rara Wulan, “Beristirahatlah. Atur pernafasanmu dengan baik. Nanti kau akan meneruskan pertempuran ini.” Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Sementara itu Sekar Mirah berkata kepada Ki Suradipa, “Beri kesempatan anak itu beristirahat. Ia belum kalah. Tetapi ia akan kehabisan tenaga.” “Jangan banyak berbicara. Jika kau mau membantunya, lakukanlah. Tetapi hanya orang-orang gila yang memberi kesempatan lawannya beristirahat. Kecuali jika ia tidak menghalangi aku membawa dan menyelamatkan Kanthi.” “Tidak. Kau tidak perlu menyelamatkan Kanthi. Ia sudah berada di tangan yang paling tepat. Orang tuanya akan melindunginya.” “Aku tidak peduli. Aku akan membunuh anak ini. Aku tidak akan memberinya kesempatan untuk beristirahat.” Tetapi Sekar Mirah yang sudah berada beberapa langkah dari Rara Wulan itu berkata, “Minggirlah. Atur pernafasanmu dengan baik. Biarlah aku melayaninya sebentar, agar ia tidak harus menunggu sambil termangu-mangu.” “Tetapi aku belum kalah,“ sahut Rara Wulan. “Kau memang belum kalah. Tetapi kau kehabisan tenaga,” berkata Sekar Mirah selanjutnya. Rara Wulan tidak dapat membantah lagi. Sekar Mirah itu juga dianggap sebagai gurunya. Karena itu, maka Rara Wulan pun segera meloncat menjauhi lawannya. Tetapi lawannya tidak sempat memburunya karena Sekar Mirah pun telah bergeser semakin dekat. Bahkan seperti Rara Wulan, maka Sekar Mirah pun telah memutar selendangnya pula. Ki Suradipa mengumpat kasar. Tetapi iapun segera memusatkan perhatiannya kepada Sekar Mirah yang juga seorang perempuan, namun yang nampaknya lebih matang dari perempuan yang menjadi lawannya sebelumnya. Ki Suradipa yang marah itu maksudnya memang tidak ingin memberi kesempatan kepada Sekar Mirah. Dengan ujung pedangnya yang terjulur lurus ia berusaha untuk menggapai tubuh Sekar Mirah. Tetapi dengan tangkasnya Sekar Mirah meloncat menghindar. Ki Suradipa tidak membiarkannya. Dengan garangnya Ki Suradipa berusaha memburu lawannya dengan senjata yang berputaran, terayun-ayun dan bahkan menebas dengan derasnya. Namun Sekar Mirah sama sekali tidak terguncang oleh serangan-serangan yang semakin garang itu. Dengan tenaganya ia menghindar, bahkan hanya dengan loncatan-loncatan kecil. Namun Ki Suradipa tidak mampu menyentuhnya. Namun Sekar Mirah sendiri tidak terlalu banyak menyerang lawannya. Sekali-sekali saja ia menghentakkan selendangnya yang bagaikan ular mematuk sasarannya. Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah memang tidak ingin menundukkan lawannya. Ia tidak ingin mengecewakan Rara Wulan. Ia hanya ingin membuat Ki Suradipa itu memeras tenaga dan kemampuannya sehingga ia juga menjadi letih seperti Rara Wulan. Sementara Rara Wulan itu mampu beristirahat, berusaha membangunkan tenaga dan kemampuannya dengan mengatur pernafasannya. Sekar Mirah memang tidak lagi merasa diburu oleh waktu. Ia yakin bahwa orang-orang yang ada di halaman depan rumah itu akan dapat menyelesaikan pertempuran pula. Sebenarnyalah, Agung Sedayu, Pandan Wangi, yang kemudian bersama-sama dengan Ki Argajaya dan Prastawa, sudah hampir sampai pada akhir dari pertempuran. Satu demi satu lawan-lawan mereka yang semula jauh lebih banyak itu telah terlempar keluar dari arena. Mereka tidak lagi mempunyai kesempatan untuk bertempur lagi. Rasa-rasanya tulang-tulang mereka telah berpatahan dan isi dada mereka seakan-akan telah terlepas dari tangkainya. Sementara itu, orang yang berkumis lebat yang merasa dirinya berilmu tinggi, serta yang sejak semula menaruh perhatian terhadap perempuan-perempuan cantik utusan Ki Argajaya itu, masih bertempur melawan Pandan Wangi. Baginya Pandan Wangi adalah seorang yang sangat cantik. Namun ternyata di balik kecantikannya itu, Pandan Wangi juga seorang yang berilmu tinggi. Dalam pertempuran yang terjadi, orang berkumis lebat itu telah mencoba memancing agar Pandan Wangi bergeser menjauhi arena pertempuran yang dibayangi oleh getar cambuk Agung Sedayu itu. Orang itu ingin berusaha untuk menangkap perempuan itu dan menjadikannya perisai untuk melarikan diri. Bukan itu saja, jika ia berhasil membawa Pandan Wangi bersamanya, maka ia akan mendapatkan seorang perempuan yang sangat cantik meskipun agak garang. Namun orang itu akan dapat menundukkannya dengan caranya sendiri. Ketika Pandan Wangi kemudian selalu memburunya ketika ia berloncatan menjauh, maka orang itu menjadi berpengharapan. Meskipun kawan-kawannya menjadi tidak berdaya, tetapi jika saja ia berhasil menangkapnya, maka ia akan selamat, dan bahkan akan memiliki seorang perempuan yang cantik. Tetapi orang itu mulai menjadi gelisah. Perempuan itu dapat bertahan bukan karena perlindungan juntai cambuk Agung Sedayu. Tetapi perempuan itu sendiri memang memiliki kelebihan. Sebenarnyalah Pandan Wangi menyadari bahwa lawannya telah memancingnya untuk bergeser keluar dari lingkaran pertempuran, yang seakan-akan telah dipenuhi getar cambuk Agung Sedayu. Pandan Wangi memang ingin menunjukkan kepada laki-laki berkumis lebat itu, bahwa ia akan dapat melindungi dirinya sendiri. Dengan sepasang pisau belatinya Pandan Wangi bertempur melawan laki-laki berkumis lebat yang bersenjata pedang bermata rangkap. Tajamnya ada di kedua belah sisinya, sehingga kemana pun pedang itu terayun, maka tajam mata pedangnya akan dapat mengoyak kulit dan daging. Tetapi sepasang pisau belati Pandan Wangi yang jauh lebih pendek dari pedang itu ternyata mampu mengimbangi pedang lawannya. Bahkan sekali-kali Pandan Wangi mampu mengejutkan lawannya itu. Dengan pisau di tangan kanannya Pandan Wangi menepis pedang lawannya, namun kemudian dengan tangan kirinya Pandan Wangi menyerang ke arah jantung. Orang berkumis itu memang harus berloncatan menghindari ujung-ujung pisau belati yang ternyata mampu menyusup di celah-celah putaran pedangnya. Namun karena itu, maka orang berkumis lebat yang merasa dirinya memiliki kemampuan yang tinggi itu tidak mau berlama-lama. Iapun segera mengerahkan ilmu puncaknya untuk menundukkan lawannya yang seorang perempuan itu. Bahkan kemudian ia berketetapan hati, jika ia tidak dapat menangkapnya hidup-hidup, maka perempuan itu akan dibunuhnya saja. Karena itu, maka orang itu pun menjadi semakin garang. Apalagi ketika ia sadar bahwa tidak ada harapan lagi bagi kawan-kawannya untuk dapat mempertahankan diri. Dengan demikian maka kemungkinan satu-satunya untuk tetap hidup adalah melarikan diri. Perempuan yang akan dipergunakannya untuk menjadi perisai itu ternyata tidak segera dapat ditundukkannya. “Aku akan membunuhnya sebelum aku melarikan diri,” berkata orang berkumis tebal itu, meskipun sebenarnya ia merasa sangat sayang untuk melukainya. Tetapi perempuan itu semakin lama justru menjadi semakin garang terhadapnya. Ketika orang berkumis itu kemudian menghentakkan ilmunya, maka Pandan Wangi memang harus meloncat surut. Pedang orang itu tiba-tiba saja seakan-akan telah berubah menjadi beberapa helai. Gerak putaran pedang itu telah meninggalkan bayangan lembaran-lembaran pedang yang membingungkannya. Seakan-akan pedang itu sendiri-lah yang telah mekar menjadi beberapa lembar pedang. Untuk beberapa saat Pandan Wangi memang agak menjadi bingung, sehingga berloncatan mundur. Dengan ketajaman penglihatan mata batinnya, Pandan Wangi kemudian melihat dan mengetahui, bahwa kemampuan ilmu lawannya-lah yang telah membuatnya menjadi bingung. Namun kemudian ia dapat melihat kenyataan tentang pedang itu, sehingga pedang yang sebenarnya adalah ujud yang terakhir dari serentetan ujud pedang di tangan lawannya itu. Meskipun demikian, sekali-kali Pandan Wangi masih juga menjadi ragu-ragu. Ketika pedang itu berputaran dan terayun mendatar, Pandan Wangi masih juga terkecoh oleh bayangan pedang lawannya yang seolah-olah di gelar dihadapannya. Pandan Wangi terlambat menangkis serangan itu, meskipun ia masih sempat memiringkan tubuhnya. Namun ujung pedang itu sempat menggapai lengannya dan bukan saja mengoyakkan bajunya, tetapi lelah menggores kulitnya pula. Meskipun hanya goresan tipis, tetapi darah sudah mengembun sepanjang jalur merah di lengannya itu. Luka di lengan Pandan Wangi itu telah membuatnya sangat marah. Karena itu, maka Pandan Wangi pun telah memanjat pada kemampuan puncaknya pula. Dengan demikian, maka lawannya-lah yang kemudian menjadi bingung. Pandan Wangi yang mulai memahami kelebihan ilmu lawannya itu telah mengetrapkan kemampuannya, untuk menggapai sasaran melampaui ujung gapaian kewadagan yang kasat mata. Karena itu, maka lawannya terkejut ketika tiba-tiba saja terasa pedangnya membentur senjata perempuan itu, sementara ia menganggap bahwa masih ada jarak antara senjatanya dan senjata lawannya itu. Namun sebelum orang berkumis tebal itu memecahkan letak kekuatan ilmu perempuan itu, maka serangan Pandan Wangi-lah yang kemudian datang dengan cepat dan beruntun. Orang berkumis tebal itu memang menjadi bingung. Pedangnya telah membentur senjata lawannya sebelum kedua senjata itu bersentuhan menurut penglihatan matanya. Bahkan kemudian orang berkumis tebal itu tidak lagi dapat memperhitungkan dengan tepat, kapan ujung senjata lawannya itu menyentuh tubuhnya. Namun sebenarnyalah bahwa orang itu harus mengumpat sambil meloncat menjauhi lawannya, ketika ia merasa lambungnya tergores ujung pisau belati Pandan Wangi, meskipun menurut penglihatan matanya ujung pisau itu masih berjarak lebih dari sejengkal dari kulitnya. Pandan Wangi memang tidak segera memburu lawannya. Sementara itu lawannya masih saja dicengkam oleh perasaan heran dan bahkan gelisah. Luka di lambungnya itu bukan sekedar perasaannya saja. Ketika ia meraba dengan telapak tangannya, maka terasa cairan yang hangat melekat di telapak tangannya. Tanpa disadarinya, orang itu memandang lampu minyak di kejauhan. Ia masih merasa memiliki penglihatan yang tajam. Dalam keremangan cahaya lampu minyak yang berkeredipan itu ia masih merasa mampu melihat helai-helai pisau belati di tangan perempuan itu. Selangkah demi selangkah Pandan Wangi mendekati orang itu. Pandan Wangi sendiri juga sudah terluka di lengannya. Karena itu, maka jantung Pandan Wangi juga sudah menjadi panas. Tetapi lawannya itu masih belum yakin apa yang terjadi atas dirinya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Mungkin tangan perempuan itu bergerak sangat cepat, sehingga mataku terlambat menangkap gerak tangannya.” Dengan demikian, maka orang itu segera mempersiapkan dirinya. Ketika ia menggerakkan pedangnya, maka lembaran-lembaran pedang nampak berjajar, bahkan seperti kipas. Jika ayunan pedang itu berbalik, maka seakan-akan lembaran-lembaran pedang itu pun menjadi berlapis. Apalagi jika pedang itu kemudian diputar di sekitar tubuhnya. Namun Pandan Wangi semakin memahami dan kemudian memudahkannya untuk mengetahui letak pedang lawannya itu yang sebenarnya. Dengan demikian, maka Pandan Wangi mampu memperhitungkan kerapatan pertahanan lawannya itu, sehingga dengan cermat ia dapat memperhitungkan celah-celah pertahanan lawannya itu. Dengan demikian, maka orang berkumis tebal itu menjadi semakin bingung ketika ujung pisau belati perempuan itu sekali lagi menyambar tubuhnya. Seleret luka telah membujur di pundaknya Orang yang berkumis tebal yang merasa berilmu tinggi itu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi. Karena itu, maka ia berusaha untuk dengan sungguh-sungguh menilai kemampuan perempuan yang di matanya sangat cantik itu. Namun kemudian orang itu pun mengerti, bahwa perempuan itu memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Ia baru sadar kemudian, bahwa sentuhan senjata Pandan Wangi dan unsur kewadagannya, ternyata dapat mendahului sentuhan kawadagan itu sendiri. Dengan demikian, maka orang itu benar-benar menjadi cemas. Apalagi ketika ia menyadari bahwa kawan-kawannya sudah tidak mampu lagi melakukan perlawanan yang berarti. Karena itu, maka ia tidak mempunyai pilihan lain. Orang itu merasa lebih baik menghindar dari medan. Demikianlah, maka yang dilakukan oleh orang itu kemudian bukan lagi berusaha untuk dapat mengatasi ilmu dan kemampuan lawannya, tetapi justru satu kesempatan untuk melarikan diri. Karena itulah, maka ketika Pandan Wangi harus melompat mundur menghindari ujung senjatanya yang tajam di kedua sisi itu, maka orang berkumis tebal itu telah meloncat dan bahkan kemudian melarikan diri menuju ke regol halaman. Pandan Wangi tidak mengira bahwa lawannya akan melarikan diri. Karena itu, maka ia telah terlambat sekejap. Ketika ia menyadari bahwa lawannya melarikan diri, maka iapun berusaha untuk mengejar. Namun demikian ia keluar dari regol halaman, maka ia merasa kehilangan jejak. Yang dilihatnya hanyalah malam yang gelap. Dinding halaman dan beberapa pohon yang besar yang tumbuh di halaman-halaman di belakang dinding di seberang jalan. Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak berusaha menyusulnya. Penalarannya masih berjalan dengan wajar, sehingga ia masih dapat mengekang dirinya untuk tidak berlari ke dalam kegelapan di balik dinding halaman itu, karena ia tidak tahu ke arah mana lawannya melarikan diri, serta ia tidak mengetahui pula medan yang dihadapinya. Ketika Pandan Wangi melangkah memasuki kembali halaman rumah Ki Suracala, maka iapun sempat melihat orang lain lagi melarikan diri dengan meloncati dinding di sisi yang lain. Ia melihat Prastawa berusaha untuk mengejarnya. Tetapi Agung Sedayu berteriak memanggil, “Jangan kau kejar orang itu.” Prastawa memang berhenti. Sementara yang lain memang tidak mempunyai peluang untuk melakukannya, karena mereka yang masih bertempur tidak lagi mendapat perlawanan yang berarti. Pandan Wangi mengangguk-angguk kecil. Sebaiknya Prastawa memang tidak mengejarnya, karena lawannya itu memiliki ilmu yang lebih tinggi. Namun karena bayangan cambuk Agung Sedayu sajalah, maka orang itu menjadi berputus-asa sehingga merasa lebih baik melarikan diri, meskipun sebenarnya ia yakin akan dapat mengalahkan Prastawa. Sementara itu lawan Ki Argajaya pun merasa bahwa kawan-kawannya telah tidak mampu bertahan atau melarikan diri, sehingga perlawanannya tidak akan berarti apa-apa lagi. Dengan demikian, maka ketika terbuka kesempatan, maka iapun telah melarikan dirinya pula. Karena itu, maka lingkaran pertempuran di satu sisi itu pun telah berhenti. Lawan Agung Sedayu sendiri sudah tidak berbahaya, sementara ia merasa bahwa tidak akan dapat melarikan diri lagi. Sehingga karena itu, maka iapun telah memilih untuk menyerah. Semetara itu, Swandaru juga telah semakin mendesak lawannya. Luka-luka di tubuhnya telah menderanya untuk mengerahkan kemampuannya. Ledakan-lekadan cambuk Swandaru memang tidak lagi menggelepar memekakkan telinga. Tetapi sentuhan ujung cambuknya benar-benar telah mengoyak kulit lawannya. Pedang orang itu kemudian seakan-akan sudah tidak berarti lagi. Telapak tangannya yang membara justru telah terluka. Namun panas bara api telapak tangannya itu ternyata tidak mampu membakar ujung juntai cambuk Swandaru yang hanya sekejap menyentuh telapak tangannya itu. Tetapi saudara seperguruan Ki Wreksadana itu sama sekali tidak berpikir untuk menyerah atau melarikan diri. Sementara Ki Wreksadana masih bertempur, maka iapun masih merasa terikat oleh pertempuran itu. Apapun yang akan terjadi atas dirinya. Sementara itu, Swandaru masih juga memikirkan Glagah Putih yang bertempur di sudut halaman yang gelap. Jika lawannya itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana yang memiliki ilmu yang setingkat dengan lawan Swandaru, maka keadaan anak itu tentu dalam keadaan bahaya. Sementara itu, Swandaru sendiri masih harus juga berpikir tentang Pandan Wangi dan bahkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Apalagi Swandaru mengetahui bahwa bekal Prastawa masih kurang untuk menghadapi pertempuran melawan orang-orang berilmu tinggi. Karena itulah, maka Swandaru tidak menunggu terlalu lama, Iapun telah mengerahkan kemampuannya dengan hentakan-hentakan ujung cambuknya. Lawannya benar-benar mengalami kesulitan. Seleret luka, kemudian seleret luka berikutnya dan berikutnya, telah tergores di kulitnya. Bahkan kemudian luka-luka yang lebih besar telah menganga pula. Sehingga akhirnya, betapapun besar gejolak di dadanya untuk memberikan perlawanan, namun keadaan wadagnya sudah tidak mendukung lagi. Sementara itu, juntai cambuk Swandaru masih saja terayun-ayun dan menghentak-hentak. Akhirnya saudara seperguruan Ki Wreksadana yang memiliki ilmu yang tinggi itu tidak mampu lagi meneruskan perlawanannya. Keadaan wadagnya sama sekali sudah tidak mampu mendukung gejolak kemarahannya, sehingga orang itu pun kemudian tidak berdaya lagi. Apalagi ketika juntai cambuk Swandaru sempat membelit senjata orang itu. Dengan satu hentakan, maka senjata itu telah tercabut dari tangan orang itu. Satu lecutan yang dahsyat telah menghentakkan sekali lagi. Orang itu benar-benar tidak berdaya untuk menghindar atau melawan. Sehingga lecutan ujung cambuk itu telah menyambar dan setajam ujung pedang mengoyak dada saudara seperguruan Ki Wreksadana itu. Terdengar teriakan tertahan. Orang itu menggeliat kesakitan. Namun kemudian orang itu terhuyung-huyung jatuh terhempas di tanah sambil mengerang. Swandaru berdiri termangu-mangu. Tangannya yang memegang cambuk masih bergetar. Tetapi ketika ia melihat lawannya sudah tidak berdaya, maka Swandaru telah menahan diri untuk tidak mengangkat cambuknya lagi. Yang teringat olehnya kemudian adalah Glagah Putih. Ketika ia sempat berpaling dan melihat Ki Jayaraga masih bertahan melawan Ki Wreksadana, maka perhatian Swandaru pun kemudian tertuju kepada Glagah Putih. Dengan cepat Swandaru meloncat ke sudut halaman. Pada saat-saat terakhir ia tidak sempat melihat bayangan pertempuran antara Glagah Putih dengan lawannya di sudut kegelapan. Swandaru menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seseorang berdiri termangu-mangu dalam kegelapan, sementara samar-samar ia melihat lawannya terbaring di tanah. Kecemasan segera mencengkam jantungnya. Agaknya ia datang terlambat untuk menolong Glagah Putih. “Kakang Agung Sedayu telah melepaskan anak itu bertempur dengan orang yang memiliki ilmu jauh lebih tinggi daripadanya.“ gumam Swandaru sambil meloncat mendekati bayangan itu. Cambuk yang di tangannya telah berputar pula dengan cepatnya, sehingga anginnya telah menggetarkan sudut halaman itu. Tetapi Swandaru justru terkejut. Yang berdiri termangu-mangu itu adalah Glagah Putih, sementara lawannya menggeliat kesakitan di hadapannya. “Kau kalahkan lawanmu?“ bertanya Swandaru di luar sadarnya. Glagah Putih yang sudah mengetahui sifat dan watak Swandaru itu pun menjawab, “Nampaknya orang itu hanya ikut-ikutan saja Kakang.” “Apakah ia bukan saudara seperguruan Ki Wreksadana?“ bertanya Swandaru. “Tentu bukan Kakang. Ia tidak tahu bagaimana ia harus mempertahankan dirinya,“ jawab Glagah Putih. “Syukurlah. Aku sudah mencemaskanmu, jika lawanmu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana sebagaimana lawanku.” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menjawab, “Ternyata aku masih beruntung. Jika lawan kita tertukar saat kita akan mulai, maka aku kira aku tidak akan dapat pulang kembali ke Tanah Perdikan.” Swandaru mengangguk-angguk. Ia sempat mendekati orang yang terbaring diam itu. Namun orang itu memang masih bernafas. “Agaknya ia tidak mati. Aku memang tidak ingin membunuhnya,” berkata Glagah Putih kemudian. Swandaru mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Aku ingin melihat Kakang Agung Sedayu.” Tanpa menunggu jawaban, maka Swandaru itu pun segera meninggalkan Glagah Putih menuju ke sisi lain dari halaman itu. Namun ternyata Glagah Putih telah mengikutinya. Tetapi ternyata pertempuran itu pun sudah selesai. Orang-orang yang merasa berilmu tinggi itu sudah tidak melakukan perlawanan lagi. Sebagian dari mereka telah terluka. Yang lain menyerah, sedang beberapa orang melarikan diri. Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah jika semuanya telah selesai, selain Ki Jayaraga.” “Ya. Nampaknya memang demikian,“ jawab Agung Sedayu. Tetapi Glagah Putih yang tidak melihat Sekar Mirah dan Rara Wulan itu pun bertanya, “Dimana Mbokayu Sekar Mirah?” “Ia menyusul Rara Wulan di dalam,“ jawab Agung Sedayu, “pergilah ke ruang dalam untuk melihat mereka.” Glagah Putih tidak menunggu lagi. Iapun segera berlari untuk mencari Rara Wulan. Na mun disebelah pendapa ia tertegun sejenak. Ia melihat Ki Suratapa yang sedang merangkak menepi, sementara Ki Suracala dengan lemahnya duduk bersandar tangga pendapa. Agaknya mereka telah bertempur habis-habisan, sehingga kedua-duanya telah kehabisan tenaga. Sementara itu, Ki Jayaraga masih bertempur melawan Ki Wreksadana. Berkata Ki Jayaraga, “Sebaiknya kau menyempatkan diri untuk memperhatikan keseluruhan dari pertempuran ini. Kau tinggal seorang diri. Sementara itu persoalan yang sebenarnya bukan persoalan yang sangat mendasar.” Wajah Ki Wreksadana menjadi merah. Bukan karena ilmunya merambat dari telapak tangannya sampai ke wajahnya. Tetapi karena kemarahan yang membakar kepalanya. Dengan geram ia menjawab, “Jayaraga. Mungkin bagimu persoalan ini bukan persoalan yang mendasar, karena kau tidak lebih dari orang upahan. Tetapi bagiku persoalan ini adalah persoalan yang langsung menyangkut harga diriku.” “Aku bukan orang upahan, Premana. Ki Argajaya sekarang ada di sini. Bertanyalah kepadanya, apakah aku datang sebagai orang upahan untuk membebaskan Prastawa dari sebuah fitnah. Tetapi ketika aku berangkat, aku sama sekali tidak akan menduga bahwa aku akan bertemu dengan kau di sini.” “Cukup! Sebaiknya kau tidak usah turut campur. Aku memerlukan Kanthi. Ia harus menghadap anak perempuanku, istri Wiradadi. Ia harus minta maaf karena ia sudah merampok kesetiaan Wiradadi kepada istrinya.” “Apapun alasanmu, kau tidak akan dapat melakukannya. Kau tahu bahwa di sini ada beberapa orang yang berilmu tinggi. Mereka akan dapat dengan mudah menangkapmu.” “Aku tidak peduli. Jika kau dan mereka akan bekerja bersama melawan aku, maka aku sama sekali tidak berkeberatan.” “Dua orang pengawalmu sudah tidak berdaya. Bahkan mungkin mereka telah mati.” “Aku tidak peduli!“ Ki Wreksadana berteriak. “Kau harus perduli, karena hal itu akan menyangkut nasibmu sendiri,” berkata Ki Jayaraga. Namun Ki Wreksadana tidak menghiraukannya sama sekali. Bahkan Ki Wreksadana itu telah menghentakkan ilmu puncaknya. Bukan sekedar bara di telapak tangannya, tetapi Ki Wreksadana telah memusatkan nalar budaya untuk mengerahkan ilmu tertinggi yang dimilikinya. “Sudah bertahun-tahun aku mematangkan ilmuku. Tanganku bukan sekedar mampu mengungkapkan panasnya bara api dari perut gunung berapi, tetapi tanganku akan mampu menghancurkan ujud kewadaganmu menjadi debu. Jangankan tubuh tua-mu yang rapuh, tetapi dengan ilmuku Lebur Seketi, maka gunung pun akan runtuh, dan lautan akan menjadi kering.” Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Darimana kau sadap ilmu Lebu Seketi yang nggegirisi itu? Ilmu yang jarang ada duanya. Tetapi untuk menguasai ilmu itu sepenuhnya, kau memerlukan waktu puluhan tahun, kecuali orang-orang aneh seperti Angger Agung Sedayu jika saja ia mempelajarinya. Tetapi tanpa ilmu Lebur Seketi pun, kemampuannya hampir tidak terjajagi lagi.” Ki Wreksadana tertawa. Katanya, “Kau mulai menjadi ketakutan. Nah, bawa kawan-kawanmu kemari. Aku akan menghancurkan mereka dengan ilmu Lebur Seketi.” “Premana,” berkata Ki Jayaraga, “ilmu Lebur Seketi mempunyai watak, ilmu yang mengacu kepada kebenaran. Tanpa dasar kebenaran, maka ilmu Lebur Seketi tidak akan dapat memancar dengan dorongan kekuatannya yang utuh.” “Persetan,” geram Ki Wreksadana, “kau tahu apa tentang kebenaran? Juga dalam persoalan yang sedang aku hadapi sekarang dalam hubungannya dengan Kanthi?” “Aku sudah tahu seluruhnya. Tetapi justru karena itu, maka aku minta kau tidak perlu sampai pada puncak kemampuanmu. Persoalan yang sebenarnya tidak seimbang dangan ledakan kemarahanmu, sehingga merambah pada ilmu puncakmu yang justru berwatak putih. Ilmu itu akan dapat berpaling dan mencelakai dirimu sendiri.” “Aku tidak perlu sesorahmu. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Merskipun sekarang aku sendiri, tetapi aku akan membunuh orang-orang yang berusaha mencegah aku mengambil Kanthi.” “Premana. Apakah kau menganggap bahwa persoalan yang kau hadapi sekarang ini pantas diperjuangkan sampai mempertahankan nyawa? Persoalan itu dapat diselesaikan dengan cara yang lebih baik dari mempertaruhkan nyawa.” “Persoalannya tidak lagi sekedar Kanthi dan Wiradadi. Tetapi persoalannya sudah merambah ke harga diri dan kehormatan keluargaku dan namaku. Bagiku hal itu memang pantas dipertahankan dengan mempertaruhkan nyawa.” Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Swandaru, Agung Sedayu, Ki Argajaya dan yang lain telah mengerumuninya pula. Bahkan kemudian dari ruang dalam lewat pintu pringgitan telan muncul Glagah Putih dan Sekar Mirah. Sementara Rara Wulan masih berada di dalam untuk menunggui Kanthi yang masih ketakutan. Bahkan ibu dan saudara perempuannya masih juga dibayangi oleh ketakutan itu. Sedangkan Ki Suradipa masih berada di longkangan. Nafasnya hampir putus saat ia harus menghadapi Sekar Mirah, yang lebih banyak memancingnya berloncatan daripada bertempur. Pada saat nafasnya hampir putus, maka Rara Wulan yang sudah beristirahat bangkit untuk menghadapinya. Pada saat yang demikian, Ki Wreksadana benar-benar telah sampai pada keputusannya untuk menghancurkan lawannya dengan ilmunya yang tertinggi, Lebur Seketi. Ki Jayaraga memang menjadi heran, bahwa Ki Wreksadana mampu mendapat kesempatan untuk mewarisi ilmu Lebur Seketi. Salah satunya kemungkinan adalah bahwa orang itu telah menipu gurunya. Ki Wreksadana dapat saja bersikap seperti seorang yang berhati bersih saat ia menyadap ilmu itu. Atau pada saat itu Ki Wreksadana memang masih belum terlibat ke dalam tingkah laku yang meskipun bukan tindak kejahatan, tetapi perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya dilakukan. Meskipun demikian Ki Jayaraga tidak mau terjebak karena perhitungannya yang keliru. Jika ia menganggap Premana itu tidak mewarisi ilmu Lebur Seketi dengan tuntas, maka mungkin ia akan menyesal. Karena itu, Ki Jayaraga telah mempersiapkan dirinya. Ia sadar bahwa ilmunya Sigar Bumi masih harus diuji, apakah akan mampu mengimbangi ilmu Lebur Seketi. Jika keduanya telah berada di tataran puncak, maka Ki Jayaraga hanya dapat berdoa, semoga tubuhnya tidak dihancurkan oleh kekuatan ilmu Lebur Seketi itu. Dengan demikian, maka Ki Jayaraga telah memusatkan nalar budinya. Disiapkannya puncak-puncak ilmunya. Ditrapkannya daya tahan tubuhnya pada tataran tertinggi, sedangkan tenaga dalamnya telah diangkatnya ke permukaan. Pada saat itu, Ki Wreksadana pun telah benar-benar bersiap. Lambaran tenaga dalamnya serta segala macam kekuatan yang ada di dalam dirinya, ditrapkannya untuk mengatasi ilmu Lebur Seketi yang memang nggegirisi. Ketika Ki Wreksadana sudah sampai ke puncak kekuatan dan kemampuannya sehingga kedua tangannya telah bergetar, maka iapun tiba-tiba saja telah meloncat. Tangannya terayun dengan derasnya mengarah ke dahi Ki Jayaraga. Tetapi Ki Jayaraga pun telah bersiap dengan ilmunya Sigar Bumi. Ilmu yang telah ditekuni dan diyakininya. Lebih dari itu, Ki Jayaraga merasa bahwa ia tidak sedang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai-nilai dan tatanan kehidupan dalam pergaulan hidup sesamanya. Sekejap kemudian Ki Wreksadana itu meloncat sambil mengayunkan tangannya. Demikian yakin ia akan kekuatan ilmunya, Ki Wreksadana itu sama sekali tidak menghiraukan perlawanan Ki Jayaraga. Meskipun Ki Wreksadana itu melihat Ki Jayaraga menyilangkan tangannya untuk melindungi dahinya dan sekaligus untuk melontarkan kekuatan Aji Sigar Bumi, Ki Wreksadana sama sekali tidak merubah arah serangannya. Sejenak kemudian telah terjadi satu benturan ilmu yang sangat dahsyat. Meskipun tidak kasat mata dan tidak terdengar oleh telinga, namun benturan yang terjadi benar-benar merupakan benturan yang seakan-akan telah menggetarkan seisi halaman dan bahkan seisi padukuhan. Akibat dari benturan itu memang dahsyat sekali. Ki Jayaraga terlempar beberapa langkah surut. Bahkan kemudian keseimbangannya benar-benar telah goyah. Orang tua itu tidak mampu tetap berdiri tegak, sehingga karena itu maka Ki Jayaraga pun menjadi terhuyung-huyung. Namun ketika ia terjatuh dan hampir saja menimpa tangga pendapa, sehingga tulang-tulangnya akan dapat menjadi patah karenanya, Glagah Putih dengan cepat meloncat dan menahan tubuhnya. Meskipun daya dorongnya yang besar masih juga menggoyahkan keseimbangan Glagah Putih, tetapi Glagah Putih masih sempat menempatkan dirinya ketika ia jatuh menimpa tangga pendapa, sehingga Glagah Putih sendiri tidak mengalami sesuatu. Namun agaknya Ki Jayaraga yang belum lama sembuh dari luka-luka dalamnya ketika ia melawan Resi Belahan, maka bagian dalam tubuhnya ternyata telah terluka lagi. Namun Ki Wreksadana pun terlempar pula dan terbanting jatuh di tanah. Dadanya serasa telah hangus terbakar oleh benturan yang telah terjadi. Aji Lebur Seketi telah membentur Aji Sigar Bumi yang mapan dan tanggon. Tetapi ternyata bahwa tataran Aji Lebur Seketi Ki Wreksadana masih belum tuntas. Apalagi seperti yang dikatakan oleh Ki Jayaraga, bahwa Aji Lebur Seketi adalah kekuatan yang terungkap dari tenaga dasar yang mengacu kepada kebenaran. Karena itu, maka benturan itu seakan-akan telah menghancurkan isi dada Ki Wreksadana. Karena itu, demikian ia terhempas jatuh, maka Ki Wreksadana itu hanya dapat menggeliat. Selanjutnya, rasa-rasanya malam menjadi semakin pekat. Bahkan cahaya lampu di pendapa dan di regol pun seolah-olah telah menjadi padam. Namun ternyata bahwa daya tahan Ki Wreksadana demikian kuatnya, sehingga bagian dalam tubuh Ki Wreksadana tidak menjadi hancur karenanya. Tetapi benturan yang dahsyat itu telah membuatnya pingsan. Serentak beberapa orang pun telah mengerumuni Ki Jayaraga. Namun ada pula yang memperhatikan keadaan Ki Wreksadana. Dalam keadaan terluka dalam, Ki Jayaraga masih sempat minta Glagah Putih mengambil obat di dalam kantong ikat pinggangnya yang besar. “Ambil juga sebutir. Berikan kepada Ki Wreksadana jika ia masih bertahan hidup.” Glagah Putih mengangguk. Iapun kemudian minta Prastawa mengambil air. Setelah sebutir obat ditelannya, maka keadaan Ki Jayaraga menjadi lebih baik. Sementara itu, Ki Wreksadana pun mulai menjadi sadar. Namun ternyata bahwa ia masih saja mengerang, karena bagian dalam dadanya menjadi sangat kesakitan. Namun dalam pada itu, selagi beberapa orang masih mengerumuni Ki Jayaraga dan Ki Wreksadana, serta kemudian mengangkat mereka berdua naik ke pendapa, maka beberapa orang telah memasuki regol halaman rumah itu pula. Agung Sedayu-lah yang kemudian berdiri di tangga pendapa bersama Ki Argajaya untuk menyongsong orang-orang yang berdatangan. Tidak hanya satu dua, tetapi sekelompok orang bersenjata. Agung Sedayu memang menjadi tegang sejenak. Bahkan Ki Argajaya dan kemudian Prastawa telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Agung Sedayu itu pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Yang datang itu adalah Ki Demang Kleringan, beberapa orang berbahu serta anak-anak muda Kleringan. Ki Demang pun terkejut melihat Agung Sedayu yang berdiri di tangga. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau Ngger?” “Ya, Ki Demang,“ jawab Agung Sedayu. “Apa yang telah terjadi di sini?“ bertanya Ki Demang, “Aku telah mendapat laporan, bahwa terjadi pertempuran di halaman rumah ini. Tidak seorangpun yang tahu sebabnya. Tetangga-tetangga di sebelah-menyebelah hanya mendengar keributan. Mereka yang memberanikan diri mengintip dari sela-sela pintu regol melihat orang-orang bersenjata bertempur dengan sengitnya. Kerena itu maka mereka pun segera melaporkan hal itu kepadaku.” “Ceritanya panjang Ki Demang. Tetapi sebelumnya, apakah aku dapat minta tolong kepada Ki Demang?” “Minta tolong apa?“ bertanya Ki Demang. “Mengumpulkan orang-orang yang terluka untuk ditempatkan di pendapa ini.” Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia mengangguk-anguk sambil menjawab, “Baik, baik. Aku akan minta anak-anak melakukannya.” Sejenak kemudian, maka sekelompok orang yang mengikuti Ki Demang itu telah membantu mengumpulkan orang-orang yang telah terluka ke pendapa. Sementara itu, Agung Sedayu sendiri-lah yang membimbing Ki Suracala yang kehabisan tenaga itu naik, sementara Glagah Putih memapah Ki Suratapa, yang rasa-rasanya sudah tidak lagi dapat bangkit berdiri. Dari ruang dalam, Sekar Mirah telah memaksa Ki Suradipa untuk pergi ke pendapa pula, meskipun ia harus berjalan bergayut dinding. Beberapa saat kemudian, maka semua orang yang ada di halaman rumah itu telah berkumpul di pringgitan dan pendapa. Kepada Ki Demang Kleringan, Agung Sedayu telah memperkenalkan beberapa orang yang berada di pendapa itu dan masih belum dikenalnya. “Maaf Ki Demang,” berkata Swandaru, yang termasuk salah seorang yang diperkenalkan itu, “mungkin Ki Demang menganggap bahwa aku tidak tahu diri karena pakaianku. Tetapi ini bukan salahku. Orang itu-lah yang telah mengoyaknya dengan tangan apinya. Bahkan kulitku pun telah terluka bakar pula.” “O, tentu itu bukan salah Angger,“ jawab Ki Demang Kleringan. Swandaru tertawa. Katanya, “Tetapi kelak aku akan menuntut agar dibelikan baju dan kain panjang yang baru.” Ki Demang pun tertawa. Orang yang agak gemuk itu agaknya tidak merasakan sengatan luka-luka bakar pada kulitnya itu. Sementara itu, Ki Jayaraga yang terluka dalam masih merasa sangat lemah. Seperti saat ia membenturkan ilmunya melawan Resi Belahan, maka Ki Jayaraga tentu akan memerlukan beberapa hari untuk menyembuhkannya. Ternyata Ki Wreksadana yang dikenalnya bernama Premana itu telah mencapai tataran yang sangat tinggi pula. Apalagi dasar ilmunya adalah Aji Lebur Seketi. Beruntunglah bahwa orang itu masih belum mampu mengatasi ketahanan ilmu Ki Jayaraga. Jika saja Premana itu sudah sampai pada tataran tertinggi penguasaan Aji Lebur Seketi, serta mengetrapkannya dengan lambaran kebenaran dan kejernihan hati, maka keadaan Ki Jayaraga tentu akan menjadi lebih parah. Untuk beberapa saat orang-orang dari Tanah Perdikan itu masih berada di rumah Ki Suracala. Agung Sedayu-lah yang kemudian menyampaikan kepada Ki Demang Kleringan, apa yang sebenarnya telah terjadi di rumah itu. Perselisihan antara keluarga, namun yang kemudian justru telah menyangkut nama Prastawa, anak laki-laki Ki Argajaya. Ki Demang Kleringan mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bergumam, “Bagi kami, bahwa persoalannya menyangkut Tanah Perdikan Menoreh, ternyata telah memberikan keberuntungan.” “Kenapa?” Ki Argajaya terkejut. “Maaf Ki Argajaya. Barangkali aku terlalu mementingkan diri sendiri. Tetapi maksudku, tanpa Ki Argajaya dan yang lain-lain yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh, maka sudah tentu aku tidak akan dapat mengatasi persoalan, seandainya persoalan ini harus dipecahkan oleh para bebahu Kademangan Kleringan. Apalagi bahwa Ki Wreksadana adalah orang yang berilmu sangat tinggi.” Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku pun ternyata harus menggantungkan penyelesaian persoalan ini kepada Ki Jayaraga.” Ki Demang mengangguk-angguk. Namun sementara itu, persoalan yang sebenarnya masih harus diselesaikan dengan tuntas. Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Ki Suracala, maka iapun berkata, “Kita akan berbicara dengan Ki Suracala pula. Sementara itu, kita menunggu sampai Ki Wreksadana dapat kita ajak berbicara.” Ki Demang mengangguk-angguk. Kepada salah seorang bebahu, Ki Demang kemudian minta untuk memanggil orang-orang yang dianggap memiliki kemampuan untuk merawat dan mengobati orang-orang yang terluka. Sementara itu, Ki Wreksadana yang terluka dalam itu pun mulai menjadi tenang. Nampaknya pengaruh obat Ki Jayaraga yang diberikan kepadanya dapat mengurangi rasa sakit yang menghentak-hentak di dadanya. Meskipun demikian, rasa-rasanya tubuh Ki Wreksadana itu masih saja tidak berdaya. Bahkan ketika ia mencoba untuk menggerakkan tubuhnya, maka ia masih saja menyeringai menahan sakit. “Ki Demang,” berkata Swandaru kemudian, “bagaimanapun juga Ki Demang akan dimohon untuk dapat melindungi Ki Suracala. Saudara-saudara sepupunya sama sekali tidak berusaha membantunya memecahkan persoalan yang dihadapi oleh Ki Suracala karena keadaan anaknya itu. Tetapi bahkan mereka telah mencoba memerasnya untuk kepentingan diri sendiri. Betapa Ki Suratapa menjadi ketakutan terhadap Ki Wreksadana karena tingkah laku anaknya yang juga menantu Ki Wreksadana itu, sehingga ia sampai hati untuk mengorbankan Ki Suracala dan memfitnah Prastawa.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Itu memang menjadi kewajibanku Ngger. Tetapi kemampuan kami di kademangan ini sangat terbatas. Jika seseorang berilmu sangat tinggi memaksakan kehendaknya, maka kami akan berada dalam kesulitan.” “Ki Demang tidak usah merasa segan untuk menghubungi Tanah Perdikan Menoreh. Di sana ada beberapa orang yang mungkin dapat membantu Ki Demang. Sebagaimana Ki Demang lihat sekarang, Ki Wreksadana tidak mampu memaksakan kehendaknya meskipun ia berilmu tinggi. Juga beberapa orang lain yang diupah Ki Suratapa dan Ki Suradipa.” Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi bagi Kademangan Kleringan, persoalan itu adalah persoalan yang berat. Bahkan kenyataan yang dihadapinya, Ki Jayaraga yang berilmu sangat tinggi itu pun telah terluka pula. Dalam pada itu, masih nampak pada Ki Demang dan para bebahu Kademangan Kleringan, kecemasan bahwa di hari-hari mendatang Ki Wreksadana masih akan membuat perhitungan lagi, sehingga akan menimbulkan masalah yang gawat di Kademangan Kleringan. Namun agaknya Agung Sedayu tanggap akan hal itu. Karena itu, maka iapun berkata kepada Ki Demang, “Aku akan mencoba bertanya kepada Ki Jayaraga.” Ki Demang mengangguk-angguk, sementara yang lain pun termangu-mangu. Ki Jayaraga masih nampak sangat lemah. Namun Ki Jayaraga tidak mau membaringkan dirinya. Ia duduk bersila sambil mengatur pernafasannya. Sementara itu obat yang ditelannya telah membantunya meningkatkan daya tahannya. Ketika Ki Jayaraga itu melihat Agung Sedayu beringsut mendekatinya, maka Ki Jayaraga itu pun menarik nafas dalam-dalam. “Ki Jayaraga,“ desis Agung Sedayu, “kami ingin mendapatkan pertimbangan Ki Jayaraga. Apakah sebaiknya kami memastikan diri dengan minta agar Ki Wreksadana untuk berjanji tidak akan memaksakan kehendaknya lagi atas keluarga Ki Suracala, atau kita menunggu sampai saatnya Ki Wreksadana dapat diajak berbincang kelak?” Ki Jayaraga memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun katanya kemudian dengan suara yang lemah, “Cobalah. Ajaklah ia berbicara. Tetapi jangan terlalu banyak.” Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Ki Jayaraga. Aku akan berbicara dengan Ki Wreksadana.” Namun Agung Sedayu pun tidak berbicara lebih banyak lagi dengan Ki Jayaraga, yang nampaknya sedang berusaha mengatasi keadaannya. Ketika kemudian Agung Sedayu beringsut dan duduk di sebelah Ki Wreksadana berbaring, maka Agung Sedayu pun menyadari bahwa keadaan Ki Wreksadana itu cukup parah. Lebih parah dari Ki Jayaraga. Namun ternyata bahwa Ki Wreksadana itu benar-benar memiliki daya tahan yang tinggi. Ia tidak terbunuh sebagaimana Ki Carang Ampel, meskipun ia telah membentur ilmu tertinggi Ki Jayaraga. Namun Agung Sedayu terkejut. Justru sebelum ia bertanya sesuatu, Ki Wreksadana yang terluka itu berdesis, “Apakah kau Angger yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh?” “Ya, Ki Wreksadana,“ jawab Agung Sedayu. “Bagaimana keadaan Jayaraga?“ bertanya Ki Wreksadana pula. “Ki Jayaraga sudah menjadi berangsur baik,“ jawab Agung Sedayu. “Kenapa ia tidak membunuhku, tetapi justru memberikan obat itu kepadaku?” “Sudahlah, Ki Wreksadana. Jangan dipikirkan lagi. Kami memang tidak bermaksud membunuh siapapun,“ jawab Agung Sedayu. Ki Wreksadana menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Angger. Sampaikan kepada semua orang, aku mohon maaf. Aku telah melakukan satu kesalahan yang besar Apa yang dikatakan Jayaraga tentang diriku, yang disebutnya Premana, adalah benar. Tetapi apa yang terjadi sekarang, ternyata telah memaksa aku untuk menilai kembali tingkah lakuku. Juga dalam hubungannya dengan anak dan menantuku.” Pengakuan yang tiba-tiba itu memang mengejutkan. Ternyata hati Ki Wreksadana tidak sekelam yang diduganya. Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu pun berkata, “Masih ada kesempatan untuk menilai sikap dan tingkah laku Ki Wreksadana kemudian. Kami memang berharap bahwa setelah kejadian ini, tidak akan ada lagi kejadian-kejadian yang tidak diharapkan karena persoalan yang sebenarnya dapat dibatasi ini.“ Ki Wreksadana menarik nafas dalam-dalam. Namun bagian dalam dadanya masih terasa nyeri. “Aku mengerti Ngger. Persoalan ini adalah persoalan keluarga kami. Tetapi bukan maksudku menyeret Angger dan apalagi Ki Gede Menoreh untuk ikut terlibat dalam persoalan ini. Suratapa harus melibatkan orang lain ke dalam persoalan ini untuk mengurangi kesalahan anak laki-lakinya.” “Ki Wreksadana mengetahui hal itu?“ bertanya Agung Sedayu. Ki Wreksadana itu mengangguk. Wajahnya yang pucat itu berkeringat seperti orang yang baru saja mandi. Agung Sedayu tidak bertanya lebih banyak. Tetapi ia sudah mengetahui bahwa Ki Wreksadana akan membatasi persoalannya di lingkungan keluarganya. Yang sebenarnya menyeret Prastawa dalam persoalan ini memang Ki Suratapa dan Ki Suradipa. Agung Sedayu kemudian duduk kembali. Bersama-sama, yang lain termasuk Ki Demang Kleringan dan Ki Suracala yang masih sangat lemah karena kehabisan tenaga itu, mendengarkannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berdesis, “Syukurlah jika Ki Wreksadana dapat mengerti apa yang sebenarnya terjadi di sini.” “Ia hanya ingin menyelamatkan perasaan anak perempuannya,” berkata Ki Suracala selanjutnya dengan nafas yang masih terengah-engah, “tetapi saudara-saudara sepupuku sendiri-lah yang sebenarnya telah memancing persoalan sehingga merembet sampai ke Tanah Perdikan Menoreh.” “Kami memang merasa sangat tersinggung,“ sahut Ki Argajaya, “hampir saja aku memaksa anakku untuk memenuhi permintaan Ki Suracala.“ “Aku sudah berusaha mencegah fitnah itu, Ki Argajaya,” berkata Ki Suracaja, yang hubungannya memang sudah sangat akrab dengan Ki Argajaya, “tetapi aku tidak berdaya.” “Biarlah Ki Suratapa dan Ki Suradipa memikul tanggung jawab atas peristiwa ini. Ki Demang akan membuat penilaian kemudian. Juga berdasarkan atas pernyataan Ki Wreksadana sendiri,” sahut Agung Sedayu. Ki Demang mengangguk-angguk. Namun bahwa Ki Wreksadana bersedia membuat penilaian kembali atas persoalan yang terjadi itu, telah membuat Ki Demang menjadi agak tenang. Demikianlah, maka persoalan yang terjadi di rumah Ki Suracala itu telah diambil alih oleh Ki Demang dan para bebahu Kademangan Kleringan. Orang-orang upahan yang terluka itu pun akan berada di bawah pengawasan Ki Demang. Ki Wreksadana dan kedua orang saudara seperguruannya akan dirawat di rumah Ki Suracala itu sampai keadaan mereka membaik dan dapat kembali ke rumah mereka masing-masing. “Jika perlu beritahukan kami di Tanah Perdikan Menoreh.” “Baiklah Ngger,“ jawab Ki Demang, “kami akan mengawasi mereka sebaik-baiknya. Namun yang akan bertanggung jawab adalah Ki Suratapa. Jika ada di antara orang-orang upahannya yang tertangkap dan menyerah itu membuat ulah, maka segala sesuatunya akan kami kembalikan kepada Ki Suratapa. Sementara itu, bersedia atau tidak bersedia, Ki Suratapa dan Ki Suradipa akan kami bawa ke Kademangan.” “Bagus,” sahut Ki Suracala, “mereka harus berada di bawah pengawasan yang langsung.” Dengan demikian, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian telah minta diri. Ki Demang telah memerintahkan untuk menyiapkan sebuah pedati untuk membawa Ki Jayaraga yang terluka. Ki Jayaraga tidak bersedia untuk diantar kembali di keesokan harinya karena keadaannya. “Biarlah aku kembali bersama-sama dengan orang-orang yang bersama-sama berangkat dari Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Jayaraga. Namun Swandaru pun sempat pula berkata sambil tertawa, “Aku akan dapat ikut naik pedati itu. Pergelangan kakiku masih terasa sakit oleh tangan api saudara seperguruan Ki Wreksadana itu.” Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Perempuan-perempuan sajalah yang akan naik pedati bersama Ki Jayaraga.” Ki Demang pun kemudian bertanya, “Apakah aku harus menyiapkan dua atau tiga pedati?” “Ah, tidak,“ Ki Argajaya-lah yang menyahut. Namun agaknya ia masih akan memperingatkan, “Ki Demang masih juga harus menangani Wiradadi. Sumber dari persoalan ini.” Ki Demang mengerutkan keningnya, “Ya. Agaknya orang itu justru dilupakan. Tetapi aku akan menyelesaikannya sampai tuntas.” Dengan nada dalam Ki Argajaya masih berkata, “Tolong bantu Kanthi menemukan kembali dirinya sendiri.” Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Ia memang memerlukan bantuan. Biarlah Nyi Demang akan ikut menanganinya. Namun kedudukan Kanthi memang akan menjadi sulit di mata orang-orang padukuhan ini. Apapun sebabnya, tetapi ia akan tetap menjadi bahan pembicaraan orang. Aku tidak akan dapat membendung sikap kawan-kawan sebayanya jika mereka menjauhinya. Apalagi jika Wiradadi, karena sikap istri dan mertuanya, tidak akan dapat mengawini Kanthi yang sudah terlanjur mengandung itu.” Ki Argajaya mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan Kanthi. Tetapi bagaimana mungkin ia dapat mengorbankan Prastawa. Apalagi Prastawa sudah mempunyai pilihan sendiri. Sejenak kemudian, utusan Ki Argajaya yang justru telah disusul oleh Ki Argajaya itu sendiri, meninggalkan rumah Ki Suracala. Ki Jayaraga yang terluka itu telah naik pedati yang disediakan oleh Ki Demang. Rara Wulan yang belum lama mengenal Kanthi itu merasa berat juga untuk meninggalkannya. Apalagi karena Kanthi untuk beberapa lama berpegangan tangannya dan seolah-olah mau melepaskannya. Rara Wulan bagi Kanthi adalah seseorang yang telah menyelamatkannya. Apalagi Rara Wulan itu masih sebaya dengan Kanthi sendiri. Dalam keterlanjurannya, Kanthi sempat juga membayangkan, seandainya ia dapat menjadi seorang gadis seperti Rara Wulan yang mampu melindungi dirinya sendiri. Tetapi setiap kali Kanthi itu telah terlempar kembali ke dunianya. Ia tidak dapat lari dari kenyataan, bahwa ia memang sudah mengandung. Namun akhirnya Kanthi memang harus melepaskan Rara Wulan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun Rara Wulan yang matanya juga menjadi basah itu berkata, “Aku akan sering berkunjung kemari, Kanthi.” “Benar Rara? Jangan berbohong,” desis Kanthi yang menangis. “Tentu,“ jawab Rara Wulan, “Tanah Perdikan Menoreh tidak terlalu jauh dari kademangan ini.” Kanthi hanya dapat mengangguk-angguk. Ia memang harus melepaskan Rara Wulan meninggalkan rumahnya. Orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu pun kemudian menyusuri jalan kembali. Malam rasa-rasanya menjadi sangat gelap, meskipun di langit nampak bintang gemintang yang bergayutan. Swandaru yang ternyata memang agak timpang karena kakinya yang sakit, sambil tertawa berkata kepada sais pedati itu, “He, beristirahatlah. Biarlah aku yang mengendalikannya. Sejak kanak-kanak aku sudah belajar mengendalikan lembu-lembu penarik pedati. Itulah sebabnya aku membawa cambuk ke mana-mana.” Sais pedati itu pun tidak berkeberatan. Bahkan iapun telah meloncat turun dan membiarkan Swandaru naik serta memegang kendali pedati itu. Sekar Mirah dan Pandan Wangi tertawa serentak. Bahkan Sekar Mirah itu pun berkata, “Berbaringlah anak manis. Biarlah dicarikan selimut untuk menahan dingin.” Swandaru sendiri tertawa. Tetapi ia tetap saja duduk di belakang sepasang lembu yang menarik pedati itu. Bahkan Ki Jayaraga pun telah ikut tertawa pula, betapapun dadanya masih terasa nyeri. Dalam pada itu, sepeninggal orang-orang yang kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, maka Ki Demang dan pera bebahu Kademangan Kleringan telah mengambil alih persoalan yang menyangkut persoalan Kanthi. Kepada beberapa orang bebahu dan anak-anak muda yang menyertainya, maka Ki Demang telah memerintahkan membawa Ki Suratapa dan Ki Suradipa ke Kademangan. “Awasi dan jaga mereka dengan baik. Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu, dan lebih dari itu, mungkin orang-orang upahannya akan berusaha membebaskannya.” “Baiklah Ki Demang,“ jawab Ki Jagabaya yang menyertai Ki Demang ke rumah Ki Suracala itu. Sementara itu, tabib yang paling baik di Kademangan Kleringan itu pun masih saja sibuk, dibantu oleh beberapa orang yang juga memiliki kemampuan pengobatan. Dalam pada itu, Ki Wreksadana dan kedua orang saudara seperguruannya telah ditempatkan di sebuah bilik yang agak luas di gandok sebelah kanan. Ternyata dalam keadaan yang gawat itu, Ki Wreksadana sempat membuat penilaian tentang dirinya sendiri serta tindakannya, yang diambil untuk menjaga perasaan anak gadisnya yang terluka karena suaminya telah berhubungan dengan perempuan lain, yang justru saudara misan suaminya itu sendiri. Pertemuannya dengan Ki Jayaraga, serta sikap orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mampu menahan diri itu, telah mengguncang perasaannya. “Jayaraga benar,” berkata Ki Wreksadana di dalam hatinya, “aku tidak dapat mempergunakan kekuatan Aji Lebur Seketi dengan semena-mena. Ternyata aku tidak mampu mengatasi kemampuan ilmu Jayaraga.” Kesadaran yang datang itu telah membuat Ki Wreksadana menilai kembali dirinya sendiri. Ketika ia sempat memperhatikan kedua saudara seperguruannya yang terluka sangat parah, membuatnya semakin menyesal. Ia telah menyeret kedua orang itu ke dalam suatu bencana. Mungkin kedua orang itu tidak mampu untuk menerima kenyataan akan kekalahannya itu, sehingga mereka justru mendendam. “Aku harus berbicara kepada mereka, bahwa memang aku-lah yang harus bertanggung jawab,” berkata Ki Wreksadana kepada diri sendiri. Sementara itu, menjelang fajar, iring-iringan orang Tanah Perdikan Menoreh itu telah sampai ke padukuhan induk. Anak-anak muda yang meronda di padukuhan-padukuhan yang dilewati menjadi heran melihat iring-iringan yang berjalan di dini hari itu. Beberapa orang bahkan telah bertanya kepada mereka. Namun setiap kali Glagah Putih-lah yang menjawab, “Sekali-kali kami ingin meronda memutari Tanah Perdikan ini.” Seorang anak muda yang sempat bertanya saat iring-iringan itu berangkat, justru bertanya pula, “Apakah tidak ada persoalan lagi tentang perkemahan yang ditinggal para penghuninya itu?” Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Tidak. Tidak ada persoalan lagi.” Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Juga tidak tentang pedati yang ikut serta dalam iring-iringan itu. Di sisa malam itu, Ki Argajaya dan Prastawa langsung pulang ke rumah mereka, sementara yang lain akan singgah di rumah Agung Sedayu. Baru esok pagi mereka akan bertemu di rumah Ki Gede untuk memberikan laporan tentang persoalan yang mereka hadapi di Kademangan Kleringan. “Kami akan pulang ke rumah Ki Gede esok pagi saja,” berkata Swandaru kepada Ki Argajaya. “Malam ini aku akan beristirahat di rumah Kakang Agung Sedayu.” “Baiklah. Besok, saat matahari sepenggalah, kita bertemu di rumah Ki Gede,” berkata Argajaya. Demikianlah, menjelang fajar, orang-orang yang datang dari Kleringan itu telah beristirahat di rumah Agung Sedayu. Di pendapa, di bawah cahaya lampu minyak, Swandaru mengerutkan dahinya melihat luka bakar di lengan Glagah Putih. Melihat luka itu sama dengan luka di tubuhnya. “Apakah lawan anak itu juga saudara seperguruan Ki Wreksadana? “ pertanyaan itu timbul di hati Swandaru. Iapun berkata pula di dalam hatinya, “Tetapi apakah mungkin anak itu mampu melawan saudara seperguruan Ki Wreksadana?” Tetapi Swandaru merasa ragu untuk bertanya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang kemudian berbaring di pembaringannya sempat memberikan beberapa petunjuk untuk mengobati luka bakar di tubuh Swandaru. Agung Sedayu yang juga memiliki pengetahuan obat-obatan segera mengerti pesan itu. “Aku akan mencobanya, Ki Jayaraga. Mudah-mudahan luka Adi Swandaru segera sembuh,” desis Agung Sedayu. Setelah masing-masing membersihkan diri dan berganti pakaian, maka mereka pun tidak pergi ke pembaringan, tetapi mereka duduk-duduk di ruang dalam. Sekar Mirah dan Rara Wulan telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka. Sementara itu, Agung Sedayu pun telah sempat pula mengobati luka Swandaru sebagaimana dipesankan oleh Ki Jayaraga. Nyeri dan pedih pada luka-luka di tubuh Swandaru itu memang terasa berkurang setelah luka itu diolesi dengan obat yang telah dicairkan dengan air hangat. “Untunglah, bahwa Ki Jayaraga mampu mengimbangi kemampuan Ki Wreksadana,“ berkata Swandaru kemudian. Lalu katanya pula, “Sebenarnya aku memang agak mencemaskannya. Tetapi aku merasa segan untuk mengambil alih, karena agaknya Ki Wreksadana dan Ki Jayaraga sudah saling mengenal sebelumnya.” Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. “Ki Jayaraga memang seorang yang berilmu sangat tinggi,“ Pandan Wangi-lah yang menyahut. “Tetapi sesaat sebelum pertempuran berakhir, aku sudah mencemaskannya,“ sahut Swandaru. Lalu katanya, “Beruntung pula-lah Kakang Agung Sedayu yang mendapat lawan meskipun jumlahnya banyak, tetapi tidak lebih dari orang-orang upahan yang tidak tahu diri. Ketika aku mendengar ledakan cambuk Kakang Agung Sedayu mula-mula, aku terkejut dan menjadi cemas. Namun ternyata Kakang Agung Sedayu sekedar bermain-main. Ledakan berikutnya telah menunjukkan bahwa kemampuan Kakang Agung Sedayu telah memanjat lebih tinggi. Tetapi dalam pertempuan yang berada pada tataran yang lebih tinggi, Kakang Agung Sedayu masih juga terluka parah, sebagaimana terjadi beberapa waktu yang lalu.” Glagah Putih mulai menjadi gelisah. Meskipun ia sudah sering mendengar pendapat Swandaru seperti yang diucapkannya itu, namun telinganya masih juga terasa gatal. Namun Pandan Wangi-lah yang kemudian berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, “Apapun yang terjadi, aku merasa kasihan terhadap Kanthi.” “Ya,“ sahut Sekar Mirah, yang nampaknya tanggap akan maksud Pandan Wangi, “mungkin hari ini ia masih terhibur oleh sikap beberapa orang yang melindunginya. Tetapi esok ia akan menjadi sendiri lagi. Mungkin tidak ada lagi orang yang menakut-nakutinya, namun ia tidak dapat menghindari tatapan mata orang-orang di sekitarnya. Dan iapun akan terlempar lagi ke dalam kesendiriannya untuk mengatasi keadaannya.” “Mudah-mudahan tidak Mbokayu,“ sahut Rara Wulan, “harus ada orang yang bersedia membantu mengangkat bebannya. Ia sudah cukup menderita. Apalagi sikap Wiradadi yang sangat menyakitkan itu, bahkan dibantu oleh Ki Suratapa dan Ki Suradipa.” Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menyahut, “Ya. Ia sudah cukup menderita.” Rara Wulan-lah yang kemudian berkata, “Rasa-rasanya aku ingin menjenguknya.” “Memang ada baiknya kita menjenguk Kanthi, Rara,” sahut Sekar Mirah, “dua atau tiga hari lagi, kita pergi ke Kademangan Kleringan.” “Tetapi kita masih harus tetap berhati-hati,” berkata Pandan Wangi, “orang-orang upahan yang terlepas dari medan pada waktu itu, mungkin saja masih akan tetap mendendam. Bahkan mungkin pula saudara-saudara seperguruan Ki Wreksadana. Dapat saja mereka masih belum tahu perkembangan jiwa Ki Wreksadana, atau bahkan mereka tidak sependapat dengan Ki Wreksadana, sehingga mereka akan mengambil langkah sendiri tanpa menghiraukan sikap Ki Wreksadana, karena mereka merasa dijerumuskan ke dalam satu keadaan yang sangat menyakitkan hati.” Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Kita tentu tidak akan pergi sendiri.” Demikianlah, mereka masih saja berbincang-bincang sampai matahari memancarkan berkas-berkas sinarnya menembus dedaunan di halaman. Semalam suntuk mereka tidak tidur. Karena itu, maka mereka memang merasa letih. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Sekar Mirah, Rara Wulan dan Pandan Wangi telah menyiapkan makan pagi mereka. Sementara Swandaru telah membersihkan lagi dan mengobati luka-luka bakarnya, dibantu oleh Agung Sedayu. Di tempat lain, Glagah Putih juga sedang sibuk mengobati luka bakarnya. Sampai bersungut-sungut pembantu rumah itu membantu Glagah Putih mengoleskan obat di lukanya. “Kau terlalu banyak berkelahi,” berkata anak itu. “Aku tidak pernah berkelahi,“ jawab Glagah Putih, “yang aku lakukan adalah membela diri, atau membantu orang yang mengalami kesulitan karena perbuatan orang lain yang menyinggung rasa keadilanku.” “Apapun alasannya, kau telah berkelahi dan terluka,” berkata anak itu. “Yang penting justru alasannya kenapa perkelahian itu terjadi,” jawab Glagah Putih. Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian tangannya telah bergerak lagi mengoleskan obat yang sudah dicairkan pada luka-luka bakar di tubuh Glagah Putih. Namun kemudian, setelah Glagah Putih selesai mengobati luka-lukanya, maka iapun telah membersihkan ikat pinggangnya yang ternyata ternoda oleh percikan darah lawannya. Dalam pertempuran yang terjadi di halaman rumah Ki Suracala, Glagah Putih memang telah mempergunakan ikat pinggangnya untuk menghentikan perlawanan saudara seperguruan Ki Wreksadana. Ternyata tanpa mempergunakan kemampuan puncaknya, Glagah Putih mampu mengatasi permainan api saudara seperguruan Ki Wreksadana. Ketika matahari naik semakin tinggi, maka Agung Sedayu, dan Swandaru suami istri telah siap untuk pergi menghadap Ki Gede. Mereka akan bertemu dengan Ki Argajaya dan Prastawa di rumah Ki Gede itu, untuk bersama-sama melaporkan kunjungan mereka ke Kademangan Kleringan. Namun Agung Sedayu telah minta agar Glagah Putih dan Rara Wulan tinggal di rumah untuk menemani Ki Jayaraga yang terluka lagi, dan Wacana yang sudah menjadi semakin baik. Demikianlah, seperti direncanakan maka menjelang matahari sepenggalah, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri telah berangkat ke rumah Ki Gede. Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, maka ternyata Ki Gede sudah duduk di pendapa bersama Ki Argajaya dan Prastawa. Dalam pada itu, Wacana yang tinggal di rumah Agung Sedayu sudah dapat berjalan-jalan di halaman. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Wacana itu pun duduk di serambi ditemani oleh Glagah Putih, yang masih saja merasa letih setelah semalaman tidak tidur sama sekali, dan bahkan telah bertempur melawan saudara seperguruan Ki Wreksadana. Selama mereka berbincang tentang berbagai macam hal, maka akhirnya Wacana bertanya, apa yang telah terjadi di Kademangan Kleringan. Glagah Putih yang menganggap bahwa persoalannya telah selesai, telah menceritakan segala persoalan yang menyangkut Prastawa yang namanya telah dicemarkan. Sementara itu, Kanthi menjadi semakin menderita karena persoalan yang menyangkut dirinya, telah menjadi persoalan yang justru membengkak menyangkut nama orang yang tidak bersalah sama sekali. “Kenapa justru Prastawa yang dilibatkan dalam persoalan itu?“ bertanya Wacana. “Prastawa memang sudah saling mengenal dengan Kanthi. Hubungan mereka cukup akrab, sebagaimana hubungan Ki Argajaya dengan Ki Suracala, ayah Kanthi. Bahkan kedua orang tua itu pernah membicarakan kemungkinan untuk mempertemukan anak-anak mereka. Tetapi ternyata Prastawa telah mempunyai pilihan sendiri, sehingga niat itu tidak dapat diujudkan. Sementara itu Kanthi telah benar-benar terpikat oleh Prastawa.” Wacana mendengarkan cerita Glagah Putih itu dengan sungguh-sungguh. Sementara Glagah Putih telah menceritakan pula hadirnya Wiradadi di saat hati Kanthi menjadi kosong, setelah ia mengetahui bahwa Prastawa tidak mencintainya. “Wiradadi telah memanfaatkan saat-saat hati Kanthi terbanting hancur menghadapi kenyataan sikap Prastawa,“ desis Glagah Putih. Wacana menarik nafas panjang. Cerita tentang Kanthi itu sangat menarik perhatiannya. Dengan nada berat Wacana itu berkata, “Kasihan gadis itu. Ia harus menanggung luka hati yang berkepanjangan. Bahkan tanpa ada seseorang yang membantunya, maka ia akan merasa dirinya tidak berharga sepanjang hidupnya.” “Bukan hanya Kanthi sendiri,“ desis Glagah Putih, “anak yang akan lahir itu pun akan mengalami nasib yang buruk.” “Harus ada orang yang bersedia menolongnya,“ desis Wacana. “Maksudmu?“ bertanya Glagah Putih. “Harus ada orang yang menariknya dari pusaran kehinaan yang akan membelitnya seumur hidupnya,” berkata Wacana. Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia mengerti maksud Wacana. Tetapi tentu sulit untuk mendapatkan seseorang yang bersedia menolongnya dengan tuntas. Keduanya pun kemudian terdiam untuk sesaat. Wacana nampak merenungi dedaunan yang bergerak disentuh angin yang lembut. Sehelai-sehelai daun yang kuning terlepas dari pegangan tangkainya yang melemah. Dalam pada itu di rumah Ki Gede, Ki Argajaya telah melaporkan peristiwa yang terjadi di Kademangan Kleringan. Ki Argajaya pun telah memberitahukan bahwa segala sesuatunya telah diambil alih oleh Ki Demang. Namun sudah tentu dalam keadaan yang rumit, Ki Demang memerlukan kesediaan Tanah Perdikan Menoreh untuk membantunya. “Keadaan yang rumit yang bagaimana yang kau maksudkan?“ bertanya Ki Gede. “Jika orang-orang berilmu tinggi itu bergerak,“ jawab Ki Argajaya. Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Ya. Jika terjadi demikian, maka Kademangan Kleringan memang memerlukan bantuan. Tetapi sudah tentu bahwa kita akan membantu sesuai dengan kemampuan yang ada pada kita.” Demikianlah, bagaimanapun juga Tanah Perdikan Menoreh tidak dapat melepaskan persoalan itu sepenuhnya. Meskipun mula-mula Tanah Perdikan itu hanya terseret oleh fitnah orang yang tidak bertanggung jawab atas tingkah lakunya, namun persoalannya benar-benar telah menusuk menikam para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian, maka Ki Gede masih berpesan agar mereka tetap bersiaga jika setiap saat Kademangan Kleringan memerlukan bantuan mereka. Namun dalam pada itu, seperti juga pembicaraan antara Glagah Putih dan Wacana, maka Ki Gede pun merasa kasihan kepada Kanthi, yang telah menjadi korban dari kekecewaannya sendiri yang sangat mendalam karena sikap Prastawa, sehingga gadis itu telah terlempar ke dalam dunia yang tidak dikenalnya. Kanthi kemudian telah terlepas dari pribadinya dan jatuh ke dalam mulut seekor buaya yang sangat rakus. Lewat tengah hari, maka Ki Argajaya pun telah minta diri, sementara Prastawa akan tetap berada di rumah Ki Gede. “Ia sudah dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan tenang,” berkata Ki Argajaya. Ketika kemudian Agung sedayu dan Sekar Mirah juga minta diri, maka Ki Gede masih juga menahan mereka untuk makan siang lebih dahulu. Demikianlah, persoalan yang menyangkut Prastawa itu pada dasarnya sudah dapat dianggap selesai, sehingga Prastawa tidak lagi merasa selalu dibayangi oleh keinginan ayahnya. Prastawa telah merasa bebas untuk menentukan pilihannya sendiri atas seorang gadis yang akan menjadi sisihannya kelak. Jalan yang sudah dirintisnya agaknya sudah menjadi semakin datar. Meskipun demikian, Prastawa juga sulit untuk begitu saja melupakan Kanthi, justru karena Prastawa merasa kasihan pula kepadanya. Prastawa memang merasa bersalah, bahwa ia telah mematahkan kuncup yang mulai bersemi di hati gadis itu. Tetapi keterbatasan sifat manusianya yang masih selalu memanjakan kepentingan diri sendiri tidak mampu dilawannya. Di perjalanan pulang, Agung Sedayu dan Sekar Mirah juga menyinggung hubungan antara Glagah Putih dan Rara Wulan. Keduanya menyadari bahwa seandainya ada satu cara, maka lebih baik keduanya tidak tinggal di bawah satu atap. “Mungkin untuk beberapa lama masih belum ada masalah. Tetapi jika ada satu saja orang yang mempertanyakannya, maka semua tetangga tentu akan mempertanyakan pula. Mereka pula yang akan mereka-reka jawabnya, sehingga persoalannya semakin lama akan menjadi semakin berkembang,” berkata Sekar Mirah. Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang ada baiknya keduanya tidak berada di satu rumah. Tetapi kita memerlukan waktu untuk mencari jawabnya.” Sekar Mirah mengangguk. Memang mereka tidak dapat memisahkan keduanya dengan serta-merta sebelum menemukan cara yang paling baik. Meskipun Agung Sedayu dan Sekar Mirah percaya bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan mampu menempatkan diri, tetapi kadang-kadang orang lain selalu merasa berhak untuk mencampurinya. Sementara itu, dalam hubungan di antara sesama, mereka tidak akan dapat menganggap bahwa sikap orang lain itu tidak perlu dihiraukan. Karena bagaimanapun juga mereka berada di satu lingkungan dengan orang lain itu dalam tatanan kehidupan. Agung Sedayu dan Sekar Mirah itu pun kemudian sepakat, meskipun tidak terlalu tergesa-gesa, tetapi mereka harus mencari jalan keluar agar Glagah Putih dan Rara Wulan dapat tinggal di rumah yang terpisah. Bagi Prastawa, maka jalan yang terbentang di hadapannya memang terasa menjadi lapang. Bahkan Ki Argajaya telah minta kepadanya agar segala sesuatunya segera diselesaikan, karena Prastawa sudah sepantasnya untuk berumah tangga. Bukan hanya Ki Argajaya, tetapi Ki Gede dan bahkan Pandan Wangi yang masih berada di Tanah Perdikan Menoreh menganjurkan agar Prastawa tidak menunda-nunda lagi niatnya. Bahkan Swandaru itu pun berkata kepadanya, “Mumpung aku masih tinggal beberapa hari di sini. Jika kau perlukan, aku dan Mbokayumu Pandan Wangi akan bersedia menjadi utusan. Tentu saja dalam suasana yang berbeda dari saat kami pergi ke rumah Ki Suracala.” Prastawa tersenyum sambil menunduk. Tetapi ia menjawab, “Pada saatnya aku akan mohon Kakang Swandaru berdua untuk pergi melamar.” “Jangan menunggu aku kembali ke Sangkal Putung, Supaya aku tidak usah hilir mudik,“ jawab Swandaru. Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Kami memerlukan persiapan, Kakang.” Swandaru tertawa. Katanya, “Apa yang harus dipersiapkan? Umurmu sudah cukup. Barangkali gadis itu juga sudah dewasa. Landasan hidup berumah tangga sudah cukup pula. Kedudukan, kau sudah punya. Apalagi?” Prastawa mengagguk-angguk. Dengan ragu ia berdesis, “Kami harus membuat persiapan jiwani. Perkawinan bukan saja loncatan dalam bentuk lahiriah dari kehidupan seorang anak muda dan seorang gadis yang kemudian menjadi suami istri. Tetapi, menurut Paman Argapati, perkawinan memerlukan kesiapan jiwani yang matang sehingga akan ada keselarasan hidup.” Swandaru dan Pandan Wangi tertawa. Dengan nada tinggi Pandan Wangi berkata, “Kau sudah pintar Prastawa.” “Sudah aku katakan, menurut Ki Gede.” Ki Gede juga tertawa. Katanya, “Benar. Aku pernah mengatakannya. Aku harap bahwa kau sekarang telah matang sebagaimana aku maksudkan. Juga bakal istrimu. Bukankah kau sudah saling mengenal untuk waktu yang lama?” “Ya, Paman,“ jawab Prastawa, “tetapi kami harus berbicara lebih jauh. Selama ini aku masih saja dibayangi oleh kemauan Ayah yang agak lain dari kemauanku.” “Tetapi bukankah sekarang sudah tidak lagi?“ bertanya Swandaru. “Tetapi kepastian itu baru saja aku dapatkan, Kakang. Meskipun demikian, aku akan mencobanya. Jika kesempatan itu terbuka, maka aku akan memberitahukan kepada Kakang dan Paman.” “Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa, Prastawa. Bertindaklah sewajarnya saja, agar justru tidak menimbulkan persoalan,” berkata Ki Gele. “Ya Paman. Mudah-mudahan setelah persoalan di Kleringan itu selesai, maka segalanya akan dapat berjalan dengan rancak.” Namun dorongan-dorongan itu telah mendesak agar Prastawa segera melangkah lebih jauh. Memang sudah waktunya bagi keluarga Prastawa untuk datang melamar gadis itu. Gadis yang justru termasuk penghuni Tanah Perdikan Menoreh, meskipun terhitung masih belum terlalu lama. Baru beberapa tahun gadis itu bersama keluarganya pindah dari Mangir. Tetapi kakek dan nenek gadis itu memang berasal dan tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Karena kakek dan neneknya sudah menjadi tua, sedangkan tidak ada anak yang lain kecuali orang tua gadis itu, maka keluarga gadis itu diminta untuk pindah ke Tanah Perdikan Menoreh. Sawah dan pategalan yang terhitung luas memang harus ada yang mengurusnya. Tetapi hubungan Prastawa dengan gadis yang terhitung pendatang itu telah mengecewakan beberapa orang gadis Tanah Perdikan yang lain. Seperti Kanthi, maka ada beberapa orang gadis yang merasa kehilangan. Bahkan seorang di antaranya, yang merasa bahwa ia mempunyai harapan seperti juga Kanthi, menjadi sakit karenanya. Tetapi gadis itu mampu mengatasi gejolak perasaannya, sehingga ia tidak terjerumus dalam kesulitan sebagaimana Kanthi. Prastawa memang seorang anak muda yang banyak mendapat perhatian dari gadis-gadis. Mungkin karena ujudnya, tetapi mungkin juga karena sikap dan kedudukannya, atau karena ia adalah kemenakan Ki Gede Menoreh. Karena desakan-desakan itulah, maka di hari berikutnya Prastawa telah pergi menemui gadis itu. Seorang gadis yang sedang tumbuh dewasa. Gadis yang memang cantik sebagaimana Kanthi. Tetapi gadis dari Mangir iru nampak lebih ceria. Ia memandang langit dengan senyum di bibirnya. Ketika langit menjadi kelabu dan senja turun, maka warna-warna ungu di bibir mega membuatnya tersenyum pula. Demikian juga jika malam yang gelap turun. Bintang-bintang di langit atau kunang-kunang di sawah telah membuatnya tersenyum juga. Hatinya yang gembira membuat hidupnya menjadi tegar. Senyum yang tidak pernah lepas dari bibirnya itulah yang telah mendesak Prastawa lebih dekat dengan gadis itu daripada Kanthi. Meskipun Prastawa sama sekali tidak berniat untuk menyakiti hati Kanthi, namun akhirnya demikianlah yang terjadi. Berkuda Prastawa menyusuri jalan-jalan padukuhan menuju ke regol rumah gadis itu. Sudah berpuluh kali ia datang ke rumah itu. Ia selalu disambut dengan senyum ceria oleh Anggreni, gadis yang telah memikat hati Prastawa itu. Bahkan kedua orang tua gadis itu pun selalu menyambutnya dengan ramah. Nampaknya kedua orang tua Anggreni memang tidak berkeberatan sama sekali atas hubungan anaknya dengan Prastawa. Di muka pintu regol yang sedikit terbuka Prastawa menghentikan kudanya, kemudian iapun turun. Sejenak Prastawa termangu-mangu, namun kemudian iapun menuntun kudanya memasuki halaman rumah yang tidak terlalu luas, namun nampak bersih dan terawat dengan baik. Seperti biasanya Prastawa mengikat kudanya pada patok yang tersedia di sebelah pendapa. Kemudian melangkah ke pintu seketheng. Tetapi sebelum Prastawa mengetuk pintu, ia mendengar pintu pringgitan terbuka. Seorang gadis muncul dari pintu pringgitan. Ketika Prastawa berpaling, dilihatnya seleret senyum di bibir Anggreni. “Marilah Kakang. Naiklah,“ Anggreni mempersilahkan. Prastawa mengerutkan keningnya. Anggreni memang tersenyum seperti biasanya. Tetapi nampak sesuatu yang lain dari biasanya. Mata Anggreni tidak bersinar seperti yang biasa dilihatnya. Tetapi Prastawa tidak tergesa-gesa bertanya. Iapun kemudian naik ke pendapa dan segera duduk di pringgitan. “Darimana saja kau Kakang?“ bertanya Anggreni. “Dari rumah Paman Argapati, Anggreni,“ jawab Prastawa yang beringsut setapak. Namun Prastawa semakin menangkap satu suasana yang lain pada gadis itu. Untuk menghilangkan kesan itu, maka Prastawa pun bertanya, “Apakah ayah dan ibumu ada di rumah?” Anggreni mengangguk sambil menjawab, “Ya. Keduanya ada di dalam. Apakah Kakang akan menemui Ayah?” “Tidak,“ jawab Prastawa, “aku hanya merasakan suasana yang lengang di rumah ini.” “Ibu baru masak. Ayah baru saja pulang dari sawah, membuka pematang, menaikkan air untuk mengairi padi yang baru mulai tumbuh.” “Apakah tidak ada orang lain yang melakukannya, sehingga ayahmu sendiri yang membuka pematang?“ bertanya Prastawa. “Bukankah biasanya juga Ayah sendiri yang pergi ke sawah? Hanya untuk pekerjaan yang terlalu berat, Ayah minta orang lain membantunya. Itu pun Ayah juga ikut mengerjakannya,“ jawab Anggreni sambil mengerutkan dahinya. Prastawa mengangguk-angguk. Ia masih bertanya tentang sawah yang baru saja ditanami. Prastawa tahu bahwa sawah kakek Anggreni memang terhitung luas. Demikian juga pategalannya. Dan sawah yang luas itu kemudian telah diserahkan kepada orang tua Anggreni, setelah kakek dan neneknya merasa tidak mampu lagi mengurusnya, sementara ayah Anggreni adalah anak tunggal dari kakek dan neneknya itu. Tetapi perbedaan sikap Anggreni justru semakin terasa. Biasanya Anggreni menjawab pertanyaan-pertanyaan Prastawa dengan cerita yang panjang, diselingi suara tertawanya yang tertahan. Tetapi senyumnya memang tidak pernah pudar dari bibirnya. Tetapi saat itu, meskipun Anggreni masih juga tersenyum, namun senyumnya tidak merekah seperti biasanya. Tetapi Prastawa masih belum menanyakan sebabnya. Prastawa masih berusaha untuk meyakinkan, apakah tanggapannya atas sikap Anggreni itu benar. Namun nampaknya Anggreni sendiri tidak dapat menahan diri terlalu lama. Sebenarnyalah memang ada sesuatu yang menggelitik perasaannya. Dengan sedikit ragu, Anggreni itu pun bertanya, “Kakang, dalam beberapa hari ini Kakang tidak datang kemari?” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, Anggreni. Tugasku agak banyak. Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi dari Sangkal Putung datang pula mengunjungi Paman Argapati, sehingga aku harus ikut menemuinya dan menemani mereka dalam beberapa hal.“ Anggreni mengangguk-angguk. Tetapi kemudian iapun bertanya, “Apakah Kakang sibuk hanya karena ada tamu dari Sangkal Putung?” Prastawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah maksudmu Anggreni?” “Kakang. Aku mendengar kicau burung di semilirnya angin dari barat. Kakimu terantuk ketika kau berjalan-jalan ke seberang pegunungan.” Jantung Prastawa berdesir. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Aku tidak tahu maksudmu, Anggreni. Katakan dengan jelas, apa yang sebenarnya kau maksudkan?” “Kakang. Aku mendengar cerita hubunganmu dengan seorang gadis Kleringan yang bernama Kanthi,” berkata Anggreni kemudian. Jantung Prastawa terasa berdenyut semakin cepat. Namun Prastawa masih berusaha menguasai perasaannya. Bahkan kemudian iapun bertanya, “Apa yang kau dengar tentang gadis yang bernama Kanthi itu? Siapa pula yang telah menyampaikan kabar itu kepadamu?” “Kakang, jika hal ini aku sampaikan kepadamu, karena aku ingin mendengar langsung dari Kakang. Aku sadar bahwa aku tidak boleh mempercayai setiap kabar yang aku dengar, sebelum aku mendapat penjelasan serta keterangan yang lebih pasti,” berkata Anggreni. Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Ternyata persoalan yang terjadi di Kleringan itu sudah sampai ke telinga Anggreni. Untunglah bahwa Anggreni cukup dewasa menanggapi berita itu. Meskipun nampak kegelisahan membayang di wajahnya, tetapi gadis itu masih sempat mengendalikan perasaannya dengan penalarannya. Dengan nada rendah Prastawa kemudian bertanya, “Apa yang telah kau dengar tentang gadis Kleringan itu Anggreni? Aku ingin mengetahui sejauh mana berita itu menjalar dari mulut ke mulut. Apakah kau ingat, kapan kau mendengar berita itu, dan barangkali dari siapa?” “Aku sudah mendengar berita ini empat hari yang lalu. Tetapi sejak berita ini aku dengar, kau baru hari ini datang Kakang. Karena itu, aku tidak segera dapat menyampaikannya kepadamu.” Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Dari siapa kau mendengarnya?” “Dari Ibu,“ jawab Anggreni. Prastawa benar-benar terkejut. Di luar sadarnya ia mengulangi, “Dari Ibu? Tetapi tentu ada orang yang menyampaikannya kepada ibumu?” Anggreni mengangguk. Katanya, “Ya. Memang ada orang yang menyampaikannya kepada Ibu.” “Nah, aku sekarang ingin mendengarnya.” “Seorang perempuan yang tidak Ibu kenal menjumpainya di pasar. Seakan-akan dengan tidak sengaja perempuan itu bercerita, bahwa kemenakan Ki Gede Menoreh telah menodai seorang gadis Kleringan. Namun persoalannya menjadi berkepanjangan karena kemenakan Ki Gede tidak mau bertanggung jawab.” Prastawa mengangguk-angguk. Betapapun jantungnya bergejolak, tetapi ia berusaha untuk menguasai perasaannya. “Anggreni, jika demikian, aku perlu berbicara dengan ibu, dan barangkali juga ayahmu. Aku ingin menjelaskan persoalan ini agar tidak terjadi salah paham,” berkata Prastawa kemudian. Anggreni menarik nafas panjang. Namun ia sependapat, bahwa karena persoalan ini didengarnya dari ibunya, maka ibunya tentu juga perlu mendengar penjelasan Prastawa, karena bagaimanapun juga ayah dan ibunya sudah mengetahui hubungannya dengan kemenakan Ki Gede Menoreh itu. Karena itu, maka Anggreni itu pun kemudian berkata, “Baiklah, Kakang. Aku akan memanggil Ayah dan Ibu.” Prastawa menjadi berdebar-debar. Ia berharap bahwa penjelasannya dapat meyakinkan kedua orang tua Anggreni. Jika tidak, maka persoalannya akan dapat menjadi gawat. Beberapa saat kemudian, ayah dan ibu Anggreni memang keluar dari pintu pringgitan. Namun wajah mereka memang tidak secerah hari-hari sebelumnya. Dengan demikian, maka Prastawa sudah menduga bahwa mereka tentu mendengar cerita yang buram dari Kleringan dalam hubungannya dengan Kanthi. Demikian Ayah Anggreni itu duduk, maka iapun langsung berkata, “Kami memang memerlukan penjelasan Ngger.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baik Paman. Aku memang ingin memberikan penjelasan. Anggreni telah memberitahukan kepadaku, bahwa Paman dan Bibi telah mendengar cerita dari Kademangan Kleringan tentang hubunganku dengan seorang gadis Kleringan yang bernama Kanthi.” “Ya. Bibimu sendiri telah mendengarnya. Seorang yang sedang berbelanja tanpa disengaja telah bercerita tentang tetangganya yang mempunyai seorang anak gadis yang bernama Kanthi. Gadis itu mengandung karena hubungannya dengan Angger Prastawa. Tetapi Angger Prastawa tidak mau bertanggung jawab, karena Angger Prastawa sudah menentukan pilihannya. Seorang gadis Tanah Perdikan Menoreh.” Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Paman, aku ingin menjelaskan tentang hal ini. Persoalan ini sudah diselesaikan tiga hari yang lalu. Sehari setelah bibi mendengar cerita itu dari seorang yang seakan-akan tidak sengaja itu.” “Maksud Angger? Bagaimana bentuk penyelesaian itu? Maaf Ngger. Kami ingin mengetahuinya, karena Angger mempunyai hubungan dengan anakku. Apakah penyelesaian itu berarti bahwa Angger harus menikahinya, atau dengan syarat telah meninggalkan gadis itu menjadi layu dan runtuh sendiri dari tangkainya, atau Angger telah menemukan seseorang yang bersedia menikahinya dengan imbalan tertentu?” “Tidak, Paman. Karena sebenarnya aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan kehamilan gadis itu.” “Angger. Angger adalah kemanakan seseorang pemimpin yang disegani bukan saja di Tanah Perdikan ini, tetapi juga di lingkungan sekitarnya. Apakah Ki Gede yang mengambil keputusan bahwa Angger tidak bersalah, kemudian keputusan Ki Gede itu menjadi sah dan berlaku tanpa dapat diganggu-gugat?” Prastawa memang tersinggung. Tetapi ia berhadapan dengan ayah Anggreni. Karena itu, maka ia harus menahan dirinya. Dengan dada yang terasa mulai pepat, Prastawa bertanya, “Apakah Paman dan Bibi mempercayai cerita orang yang seolah-olah tidak sengaja itu?” “Kenapa seolah-olah?“ bertanya ibu Anggreni. “Justru karena orang itu tahu bahwa ia berbicara dengan Bibi. Dengan ibu Anggreni.” Dahi ibu Anggreni itu berkerut. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kenapa jika ia mengetahui bahwa ia berbicara dengan aku, dengan ibu Anggreni?” “Dengan demikian orang itu yakin, bahwa akan terjadi persoalan di sini, di rumah ini. Orang itu tentu berharap bahwa keluarga Anggreni akan terpengaruh.” “Apakah keuntungan orang itu?“ bertanya ibu Anggreni. “Jika orang itu sengaja dikirim dari Kleringan, maka tujuannya tentu jelas,“ jawab Prastawa. Ibu Anggreni menarik nafas dalam-dalam. Namun ayah Anggreni-lah yang bertanya, “Jadi kau menduga bahwa orang itu dikirim oleh keluarga gadis yang dikatakan hamil itu?” “Menurut penalarannya memang demikian. Tetapi ternyata tidak. Gadis itu sendiri serta orang tuanya tidak pernah berniat memfitnah aku. Tetapi justru orang lain,“ jawab Prastawa. Kedua orang tua Anggreni itu pun nampak manjadi bingung. Demikian pula Anggreni sendiri. Namun dalam pada itu, maka Prastawa pun segera menceritakan apa yang telah terjadi di Kleringan. Justru sehari setelah berita fitnah itu sampai ke telinga keluarga Anggreni. Dengan demikian maka fitnah yang direncanakan dengan baik itu telah melengkapi fitnah dan ancaman Ki Suratapa dan Ki Suradipa. “Jadi Angger benar-benar tidak ada sangkut pautnya dengan kehamilan gadis itu?” Prastawa menggeleng. Katanya, “Jika masih ada keragu-raguan, maka biarlah aku mempertemukan Anggreni dan Kanthi, atau ayah dan ibunya.” “Tidak Kakang,“ Anggreni dengan serta merta menyahut, “jika aku bersedia melakukannya, maka aku telah menambah derita yang sedang dialaminya. Aku akan menambah luka yang menganga di hatinya. Gadis itu sudah cukup menderita.” Prastawa tidak segera menyahut. Di luar sadarnya, ia membayangkan kembali penderitaan yang dialami oleh Kanthi yang telah salah melangkah. Tetapi Prastawa itu tidak dapat menolongnya jika ia tidak bersedia mengorbankan dirinya sendiri, serta mengorbankan pula perasaan Anggreni yang mungkin akan dapat terjerumus seperti Kanthi itu pula. Sesaat suasana menjadi hening. Ayah, ibu, serta Anggreni sendiri tengah merenungi peristiwa yang terjadi di Kademangan Kleringan. Agaknya keluarga Ki Suratapa dan Ki Suradipa itu telah menempuh segala cara untuk menjebak Prastawa. Dalam keheningan itu, kemudian terdengar suara ayah Anggreni dengan nada berat, “Aku minta maaf Ngger, bahwa aku sudah berprasangka buruk.” “Tidak hanya Paman dan Bibi yang sudah berprasangka buruk terhadapku,“ jawab Prastawa, “bahkan ayah dan keluargaku sendiri pun telah berprasangka buruk. Bahkan Ayah hampir saja menjatuhkan hukuman atasku karena fitnah itu. Untunglah bahwa Kanthi sendiri bersikap jujur. Jika Kanthi ikut memfitnahku, maka habislah kesempatanku untuk mengharapkan satu masa depan yang cerah.” Ayah dan ibu Anggreni itu mengangguk-angguk, sementara Anggreni justru merenung. “Nah, sudahlah Ngger,” berkata ayah Anggreni kemudian, “sekali lagi aku minta maaf. Kami sekeluarga hampir saja termakan oleh fitnah itu.“ “Kita akan melupakannya Paman. Aku pun berusaha untuk melupakan pengalaman pahit itu,“ jawab Prastawa. Dengan demikian, maka ayah dan ibu Anggreni itu pun mempersilahkan Prastawa untuk duduk bersama Anggreni. “Aku akan menyelesaikan pekerjaanku, Angger,” berkata ayah Anggreni itu. Sepeninggal ayah dan ibunya, maka Anggreni itu pun berdesis, “Kasihan gadis itu Kakang.” “Ya. Tetapi aku tidak dapat berbuat sesuatu,“ jawab Prastawa dengan dahi yang berkerut. “Aku merasa ikut bersalah,” berkata Anggreni kemudian. “Kenapa kau merasa ikut bersalah?“ bertanya Prastawa. “Aku merasa seakan-akan aku telah merampasmu dari gadis itu,“ jawab Anggreni. “Kau boleh saja merasa seakan-akan telah melakukannya. Karena seakan-akan adalah tidak mengandung arti satu kenyataan,” sahut Prastawa. Anggreni itu menarik nafas dalam-dalam. Ia juga pernah mendengar tentang seorang gadis yang jatuh sakit ketika ia menyadari bahwa Prastawa tidak mencintainya. Yang lain menjadi gadis perenung untuk beberapa lama. Namun Kanthi benar-benar menjadi berputus asa. Tetapi keputus-asaannya itu telah menyeretnya ke dalam kesulitan yang lebih parah. “Tetapi apakah sudah sewajarnya kita menyalahkan diri sendiri? Jika demikian, setiap langkah kita telah membuat kesalahan. Dengan demikian maka kita akan merasa hidup di dalam pengapnya bayangan kesalahan-kesalahan itu, sehingga kita akan tenggelam tanpa dapat bangkit lagi,” berkata Prastawa kemudian. Anggreni mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sikap Prastawa itu. Sehingga dengan demikian, maka ia tidak akan selalu dibayangi oleh perasaan takut salah untuk mengambil keputusan. Dengan demikian, maka segalanya menjadi jelas bagi Anggreni. Prastawa memang bukan orang yang terlibat langsung dalam persoalan gadis Kleringan itu. Namun karena pembicaraan itu, Prastawa yang ingin berbicara lebih jauh tentang hubungan mereka, terpaksa menunda niatnya. Suasananya agaknya kurang memungkinkan jika ia bertanya kepada Anggreni apakah orang tuanya atau utusannya dapat dalam waktu dekat datang untuk dengan resmi mengajukan lamaran, serta membicarakan hari-hari perkawinan mereka. Tetapi setelah penjelasan yang diberikan Prastawa itu, maka hubungan Anggreni dan Prastawa selanjutnya telah menjadi pulih kembali. Wajah Anggreni kembali selalu nampak ceria oleh senyum yang selalu menghiasi bibirnya. Namun dalam pada itu, keadaan Kanthi justru sebaliknya. Meskipun Ki Demang Kleringan telah berhasil menyelesaikan persoalan yang menyangkut keluarga Kanthi, keluarga Ki Suratapa dan keluarga Ki Wreksadana, apalagi karena Ki Wreksadana nampaknya menyadari keterlanjuran mereka, namun keadaan Kanthi sendiri masih belum terselesaikan. Ki Wreksadana dan kedua orang saudara seperguruannya yang sudah menjadi sedikit membaik telah meninggalkan rumah Ki Suracala. Kedua saudara seperguruan Ki Wreksadana pun ternyata dapat menahan diri, setelah Ki Wreksadana memberikan penjelasan kepada mereka. Bahkan Ki Wreksadana itu telah menyatakan kesediaannya untuk menyelesaikan persoalan Wiradadi. Namun bagaimanapun juga, masih tidak terlalu memuaskan bagi keluarga Ki Suracala. Apalagi ketika Kanthi sendiri menyatakan bahwa ia tidak mau lagi berhubungan dengan Wiradadi, apapun yang akan terjadi atas dirinya. Dengan demikian, maka yang tinggal di Kleringan adalah keluarga Kanthi yang disaput oleh keprihatinan. Sementara itu dari hari ke hari, perubahan yang terjadi atas tubuh Kanthi pun menjadi semakin jelas. Keluarga Ki Suracala tidak akan lagi mampu menyembunyikan rahasia tentang anak gadisnya. Sementara Kanthi sendiri sudah tidak pernah lagi keluar dari halaman rumahnya. Suasana yang suram itu berlangsung dari hari ke hari tanpa melihat secerah sinar pun yang akan dapat menerangi hari-hari yang datang kemudian. Namun ternyata bahwa Rara Wulan tidak mengingkari janjinya. Ia telah mengajak Glagah Putih untuk melihat keadaan Kanthi. Ketika hal itu disampaikan kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu memang menjadi ragu-ragu. Jika masih ada dendam tersangkut di Kademangan Kleringan, maka keduanya akan dapat menemui kesulitan. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah menyampaikan hal itu kepada Ki Jayaraga, yang telah berangsur baik kembali. “Jika Angger Rara Wulan dan Glagah Putih bersedia menunggu dua tiga hari lagi, aku akan mengantarkan mereka,“ jawab Ki Jayaraga. “Apakah Ki Jayaraga merasa sudah pulih kembali?“ bertanya Agung Sedayu. “Dua tiga hari lagi, aku benar-benar telah pulih. Sejak kemarin aku sudah mulai berada di sanggar. Rasa-rasanya keadaanku sudah menjadi baik kembali. Bahkan rasa-rasanya segala sesuatunya sudah pulih seperti sediakala.” “Syukurlah,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “tetapi jika Ki Jayaraga masih ingin beristirahat, biarlah orang lain mengantarnya. Keadaan tentu sudah berubah.” “Dalam dua tiga hari lagi, aku benar-benar sudah baik,“ jawab Ki Jayaraga. Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah minta kepada Glagah Putih dan Rara Wulan untuk menunda kepergian mereka sampai dua atau tiga hari lagi. Ketika Glagah Putih menyampaikan hal itu kepada Rara Wulan, maka Rara Wulan itu pun berkata, “Rasa-rasanya aku sudah ingin meloncat sekarang juga.” “Tetapi ada baiknya kita mendengarkan petunjuk orang-orang tua, Rara.” “Kenapa kita harus menungu Ki Jayaraga? Bukankah tidak akan ada gangguan di perjalanan?“ bertanya Rara Wulan. “Orang-orang tua biasanya terlalu berhati-hati. Tetapi jika kita tidak mau mendengarkan mereka, jika terjadi sesuatu maka kesalahan kita akan menjadi ganda.” Rara Wulan tidak dapat memaksakan kehendaknya. Bagaimanapun juga ia memang harus menghormati pendapat Agung Sedayu. Karena itu maka katanya, “Kita menunda kepergian kita tiga hari. Tetapi tidak akan diperpanjang lagi. Rasa-rasanya aku ingin segera menemui Kanthi. Apalagi aku sudah berjanji. Kanthi akan dapat menganggap aku mengingkari janji itu.” Yang tiga hari itu rasa-rasanya lama sekali bagi Rara Wulan. Sementara itu dalam waktu tiga hari, Ki Jayaraga meyakinkan dirinya, bahwa ia benar-benar telah menjadi pulih kembali, sehingga iapun telah siap untuk pergi ke Kademangan Kleringan di keesokan harinya. Dalam pada itu, malam itu Prastawa telah berbicara dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Hari itu ia sudah berbicara dengan Anggreni, bahwa Anggreni sendiri sudah siap untuk menerima lamaran keluarga Prastawa. “Bagaimana dengan kedua orang tuanya?“ bertanya Swandaru. “Anggreni akan menyampaikannya kepada ayah dan ibunya, bahwa dalam waktu dekat akan datang utusan dari Ayah untuk menghadap ayah dan ibunya itu.” Swandaru dan Pandan Wangi mengangguk-angguk. Dengan senyum di bibirnya Swandaru berkata, “Jika demikian, aku akan menunda rencanaku untuk kembali ke Sangkal Putung. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang mendesak.” “Aku memang akan minta Kakang untuk bersabar,” berkata Prastawa kemudian. “Tetapi aku minta Paman segera mengambil keputusan, kapan aku harus pergi melamar. Jangan terlalu lama. Jika tiba-tiba ada tugas memanggil sehingga aku harus pulang, maka aku dan Mbokayumu tentu juga merasa kecewa.” “Baiklah Kakang. Aku akan berbicara dengan Ayah nanti. Besok pagi aku akan menghadap Paman Argapati, dan sudah tentu aku minta Kakang dan Mbokayu ikut berbicara pula,“ jawab Prastawa. “Kali ini kami akan benar-benar melamar,” berkata Swandaru, “tentu saja dengan harapan tidak terjadi keributan seperti di Kleringan.” “Tentu tidak Kakang,“ jawab Prastawa, “segala pihak telah menyetujui. Agaknya juga tidak ada pihak lain yang akan dapat menjadi hambatan setelah persoalan di Kleringan itu diselesaikan, meskipun dengan cara yang tidak diharapkan.” Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Nah, segeralah minta keputusan Paman Argajaya. Bagi kami, semakin cepat tentu semakin baik.” Di rumah Agung Sedayu, Wacana yang sudah menjadi semakin baik itu duduk di serambi. Udara memang agak panas di dalam. Glagah Putih duduk menemaninya. Di serambi memang terasa angin bertiup perlahan menyapu kulit wajah kedua orang anak muda itu. Lampu minyak di pendapa tampak menggeliat mengguncang bayangan tiang-tiang yang berdiri tegak membeku. Dalam heningnya malam yang semakin dalam, Wacana bertanya, “Apakah kau jadi akan pergi ke Kleringan?” “Ya,“ jawab Glagah Putih, “mengantar Rara Wulan yang sudah berjanji untuk mengunjungi Kanthi.” “Kapan?“ bertanya Wacana. “Sebenarnya kami sudah akan pergi. Tetapi Ki Jayaraga minta kami menunda sampai tiga hari.” “Tiga hari sejak kapan?“ bertanya Wacana kemudian. “Sejak kemarin lusa. Jadi besok adalah hari penundaan yang terakhir. Dengan demikian, maka besok lusa kami akan pergi.” Wacana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok lusa keadaanku tentu sudah baik pula.” Glagah Putih mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Maksudmu?” Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu ia berkata, “Sebenarnya aku juga ingin berjalan-jalan agar keadaanku segera menjadi pulih kembali. Jika aku hanya berada di rumah atau di halaman ini saja, maka tenagaku akan lambat sekali dapat tumbuh kembali.” “Ya. Aku sependapat. Tetapi tentu dari sedikit. Kau tidak dapat dengan serta-merta menempuh perjalanan ke Kleringan.” “Tetapi bukankah Kleringan tidak tarlalu jauh?” “Jika kau tidak dalam keadaan seperti sekarang, tentu Kleringan dapat kau tempuh dalam beberapa saat saja. Kita hanya sedikit meloncat bukit. Tetapi kau harus mengingat keadaanmu.” Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Aku terlambat bangkit. Jika sejak beberapa hari yang lalu aku mulai berjalan-jalan setiap pagi dan sore, maka sekarang aku tentu sudah sehat kembali. Ki Jayaraga sudah mengalami luka di dalam sampai dua kali. Sekarang Ki Jayaraga sudah sembuh pula.” “Keadaanmu berbeda dengan keadaan Ki Jayaraga, Wacana. Selebihnya, lukamu memang lebih parah dari luka Ki Jayaraga, yang memiliki dasar ketahanan tubuh yang luar biasa, yang agaknya sudah ditempa berpuluh tahun sejalan dengan umurnya.” Wacana mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi kau tidak terlambat, Wacana. Aku lihat kau setiap kali sudah berjalan-jalan di halaman. Wajahmu juga sudah tidak nampak pucat, sementara anggota tubuhmu mulai bergerak dengan wajar. Kau juga tidak nampak terlalu kurus seperti beberapa hari yang lalu.” Wacana mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku juga sudah merasa jauh lebih baik.” “Tetapi belum cukup baik untuk berjalan ke Kleringan,“ sahut Glagah Putih dengan serta-merta. Wacana masih mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya dengan nada dalam, “Aku masih juga merasa kasihan kepada Kanthi.” “O,“ Glagah Putih mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Rara Wulan juga tidak pernah dapat melupakannya. Karena itu maka ia berkeras untuk pergi ke Kleringan.” “Apalagi nampaknya masih belum terbayang satu penyelesaian yang tuntas,“ desis Wacana. “Ya. Tetapi entahlah sekarang. Mudah-mudahan ada cara untuk menyelamatkan hari depannya,“ jawab Glagah Putih. “Sekali ia tergelincir,” desis Wacana, “seharusnya belum berarti pintu masa depannya diselarak tanpa dapat dibuka sama sekali.” Glagah Putih tidak segera menjawab. Tetapi kepalanya terangguk-angguk kecil. Untuk beberapa saat keduanya pun terdiam. Masing-masing dengan angan-angannya. Namun keduanya masih saja memikirkan tentang keadaan Kanthi yang diayun-diayunkan oleh nasibnya yang belum menentu. Namun dalam pada itu, ketika malam menjadi semakin dalam, maka Glagah Putih pun berkata, “Wacana. Kau masih harus banyak beristirahat. Hari sudah larut malam. Tidurlah. Agaknya angin malam yang terlalu banyak masih harus kau hindari.” Wacana mengangguk-angguk. “Di dalam, udara terasa terlalu panas.” “Mungkin sekarang sudah tidak lagi,“ jawab Glagah Putih. Wacana mengangguk-angguk. Kemudian iapun bangkit berdiri sambil berkata, “Baiklah. Aku akan tidur.” Dalam pada itu Glagah Putih pun telah bangkit pula. Ketika Wacana masuk ke ruang dalam, maka Glagah Putih pun telah melingkar lewat seketheng. Ia sudah mengira bahwa anak yang membantu di rumah itu tentu sudah bersiap-siap pergi ke sungai. Namun agaknya anak yang baru bangun dari tidurnya itu masih mengantuk. Sambil menggosok matanya, iapun menguap lebar-lebar. “He,“ sapa Glagah Putih, “jangan pergi ke sungai sambil tidur.” Anak itu berpaling. Di luar sadarnya ia berkata, “Apakah kau juga akan pergi ke sungai?” “Baiklah,“ jawab Glagah Putih, “kali ini aku ikut pergi ke sungai.” Anak itu mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Bawa icir itu. Aku membawa cangkul dan kepis.” Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun menjawab, “Hamba, Sang Pangeran.” Tetapi anak yang sudah mulai melangkah itu pun berhenti. Bahkan kemudian ia memutar tubuhnya menghadap Glagah Putih. Namun sebelum anak itu berkata sesuatu, Glagah Putih telah mendahului, “Ayolah. Jangan terlalu malam.” Anak yang sudah akan membuka mulutnya itu urung mengatakan sesuatu. Tetapi ia melangkah sambil memanggul cangkul dan menjinjing kepis. Glagah Putih tersenyum sambil berjalan mengikutinya. Ketika mereka hampir sampai di sungai, maka dua kawannya pun sedang turun pula sambil membawa cangkul, icir dan kepis. Glagah Putih berjalan beberapa langkah di belakang ketiga orang anak itu. Namun ia mendengar anak-anak itu berbincang di antara mereka. “Anak itu keras kepala,” berkata salah seorang dari kedua orang anak itu. “Bukankah kita tidak banyak berkepentingan dengan anak itu, sehingga kita dapat menjauhinya?” berkata anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. “Tetapi anak itu selalu saja mengganggu,“ jawab kawannya. “Kita jauhi saja anak itu,“ jawab anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. Glagah Putih justru terkejut mendengar jawab anak itu. Selama ini anak yang tinggal bersamanya itu kadang-kadang sulit dikendalikan. Ia termasuk anak yang sering berkelahi. Namun tiba-tiba ia mendengar jawaban yang tidak diduganya. “Mudah-mudahan pribadinya berkembang semakin baik,” desis Glagah Putih, yang kemudian seakan-akan berkata kepada diri sendiri, “jika kelak ia ternyata mampu menahan dirinya dalam pergaulannya dengan kawan-kawannya, aku akan mengajarinya ilmu bela diri lebih banyak lagi.” Sementara itu kawannya pun berkata pula, “Jika ia turun ke sungai, maka ia tentu akan menimbulkan persoalan lagi.” “Kita beritahukan saja kepada Pinang. Bukankah anak itu tamu keluarga Pinang? Biarlah Pinang sedikit mengekangnya,” berkata anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu. “Agaknya Pinang mengalami kesulitan. Apalagi anak itu nampaknya sudah terbiasa dibiarkan berbuat apa saja. Mungkin ia termasuk anak manja. Kakaknya juga sangat memanjakannya. Menurut Pinang, jika Pinang berusaha mencegah kenakalannya, kakaknya justru membantunya dan menyalahkan Pinang.” “Maksudmu, kakak Pinang atau kakak anak itu?” “Kakak anak itu. Bukankah ia sekeluarga menjadi tamu Pinang untuk beberapa hari?” “Untuk apa ia berada di rumah Pinang sampai beberapa hari?” “Entahlah,“ jawab kawannya, “menurut Pinang, nampaknya saudara-saudara ayahnya sedang sibuk membagi warisan.” Anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu mengangguk-angguk. Namun kemudian mereka tidak memperpanjang pembicaraan mereka, karena mereka sudah berada di tepian. Karena itu maka mereka pun telah pergi ke pliridan mereka masing-masing. Ketika Glagah Putih yang membawa icir itu kemudian memasangnya sementara anak itu menutup pintu pliridan, maka Glagah Putih sempat bertanya, “Kenapa anak itu dikatakan nakal?” “Ia sering mengganggu anak-anak yang sedang bermain. Bahkan kadang-kadang menyakiti, sehingga anak-anak yang lebih kecil sering menangis ketakutan.” “Apakah anak-anak yang lebih besar tidak mencegahnya?” bertanya Glagah Putih. Anak itu tidak menjawab. Ia sibuk mengayunkan cangkulnya menutup pintu air yang masuk ke dalam pliridannya. Baru kemudian ia menjawab, “Aku tidak pernah bermain bersamanya sejak ia datang ke rumah Pinang. Aku juga belum pernah melihat kakaknya yang selalu membantunya. Agaknya anak-anak yang lebih besar segan mencampurinya justru karena kakaknya.” “Seberapa besar kakaknya itu?“ bertanya Glagah Putih pula. Anak itu meletakkan cangkulnya. Sambil bertolak pinggang ia menjawab, “Bukankah aku belum pernah melihatnya.” “O, maaf,” Glagah Putih pun tersenyum melihat anak yang bertolak pinggang itu. Namun demikian anak itu pun menyelesaikan pekerjaannya, sementara Glagah Putih juga sudah selesai memasang icir. Dengan demikian maka anak itu pun segera menggiring ikan dari mulut pliridannya yang sudah tertutup menuju ke tempat icir dipasang di bagian bawah. Namun pekerjaan itu ternyata telah terganggu. Mereka mendengar suara ribut di bagian atas tikungan sungai itu. Agaknya suara itu antara lain adalah suara kedua orang kawannya yang turun bersama-samanya tadi. “Apa yang terjadi?“ bertanya Glagah Putih. “Bagaimana aku tahu? Kita bersama-sama ada di sini,“ jawab anak itu. Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, anak itu pun kemudian berkata, “Aku ingin melihat apa yang terjadi di sebelah tikungan.” Tanpa menunggu lagi, anak itu pun segera berlari meninggalkan pliridannya. Sementara itu, ia masih belum selesai menggiring ikan di pliridannya yang airnya tinggal sedikit itu. Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian telah melangkah ke tikungan pula. Glagah Putih menjadi cemas bahwa anak-anak itu terlibat dalam perselisihan. Demikian Glagah Putih sampai di tikungan, ia memang melihat beberapa orang yang sedang ribut. Seorang anak yang gemuk sedang mengumpati kedua orang anak yang sedang menutup pliridan. “Kenapa aku tidak boleh mengambil ikan di sungai? Apa ini sungai milikmu?“ bertanya anak yang gemuk itu. “Tetapi ini pliridanku,“ jawab salah seorang dari kedua orang anak yang sedang menutup pliridan itu, “kami membuatnya dengan susah payah. Kami membukanya di sore hari dan sekarang kami yang berhak menutup dan mengambil ikannya.” “Aku tidak peduli,“ jawab anak yang gemuk itu, “aku mengambil ikan di sungai. Semua orang boleh mengambilnya.” “Tetapi pliridan ini miliknya, Wikan. Di sini ada semacam kesepakatan, bahwa ikan yang ada di pliridan seseorang, adalah hak dari mereka yang membuat pliridan itu,“ seorang anak yang sedikit lebih besar mencoba menjelaskan. Ternyata anak itu adalah Pinang. “Omong kosong,” berkata anak yang gemuk yang disebut Wikan itu, “dimana-mana tentu akan diakui bahwa ikan di sungai itu milik siapa saja yang dapat menangkapnya.” “Benar,“ jawab Pinang, “pliridan adalah alat untuk menangkap ikan. Karena itu, ikan yang sudah terperangkap di pliridan adalah hak mereka yang mempunyai alat tersebut. Sebagaimana seseorang yang menjala ikan. Maka ikan yang terjerat jalanya adalah hak orang itu.” “Tidak sama. Pliridan seperti ini justru melanggar hak orang banyak. Kenapa ia membuat pematang di tepian dan kemudian berusaha membendung agar air sungai ini mengalir ke dalamnya?“ jawab Wikan. “Mungkin kesepakatan ini tidak sama dengan kesepakatan di tempat tinggalmu. Tetapi karena sungai ini ada di sini, maka yang berlaku di sini adalah kesepakatan di Tanah Perdikan Menoreh ini,” berkata Pinang. “Aku tidak mengakui kesepakatan itu, “jawab Wikan, “aku akan mengambil ikan di sungai ini.” “Jangan Wikan,” cegah Pinang. Namun tiba-tiba seorang anak muda yang berdiri di tanggul sungai itu berkata, “Biarkan anak-anak itu menyelesaikan persoalan mereka sendiri, Pinang.” Pinang berpaling. Dilihatnya anak muda yang berdiri bertolak pinggang itu. “Tetapi Wikan telah melanggar kesepakatan yang berlaku di sini, Wasis,“ jawab Pinang. “Justru Wikan bukan anak dari Tanah Perdikan ini, ia tidak terikat pada kesepakatan yang berlaku di sini,” berkata Wasis yang berdiri di atas tanggul itu. “Menurut pendapatku, itu justru terbalik. Karena sekarang Wikan berada di sini, ia harus menurut kesepakatan yang berlaku di sini,” jawab Pinang. “Sudahlah Pinang, kau tidak usah berpihak. Biarlah Wikan menyelesaikan persoalannya dengan anak-anak itu. Bukankah kau justru diminta Wikan untuk mengantarnya melihat-lihat sungai ini di malam hari?“ berkata Wasis. “Ya, justru di siang hari Wikan melihat beberapa pliridan dan bertanya tentang pliridan itu,“ jawab Pinang. “Naik sajalah Pinang. Biarkan Wikan berbuat sesuatu dengan kehendaknya.” “Juga jika sikapnya bertentangan dengan kesepakatan orang banyak?“ bertanya Pinang. Wasis termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Wikan mempunyai sikap sendiri terhadap kesepakatan itu.” “Jadi aku harus membiarkan saja apa yang akan terjadi?“ bertanya Pinang. “Ya,“ jawab Wasis. “Baiklah. Jika demikian, aku tidak akan ikut campur,” berkata Pinang sambil bergeser menjauh. “Nah, sekarang kalian mau apa?“ tiba-tiba Wikan bertanya kepada anak-anak itu. Kedua orang anak yang sedang menutup pliridan itu termangu-mangu. Mereka mengetahui bahwa Wasis itu selalu turut campur jika terjadi persoalan antara adiknya dengan anak-anak Tanah Perdikan. Anak-anak itu juga masih merasa segan, justru karena Wikan bagi mereka adalah tamu yang pantas mendapat perlakuan yang baik. Anak-anak itu juga segan terhadap Pinang, yang bagi anak-anak kawan sepermainannya dianggap anak yang ramah dan suka membantu kawan-kawannya yang sedang dalam kesulitan. Untuk beberapa saat kedua orang itu masih saja termangu-mangu. Sementara itu Wikan berkata, “Kalian jangan mencoba menghalangi aku lagi. Aku akan mencari ikan di sungai ini. Salah kalian, kenapa kalian membuat pliridan di sini, sementara sungai itu adalah milik semua orang.” Namun tiba-tiba saja anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu-lah yang menjawab, “Tidak. Kau tidak boleh mencari ikan di dalam sebuah pliridan. Apalagi pliridan yang sedang ditutup. Aku sekarang juga menutup pliridan. Dan kau juga tidak boleh mencari ikan di dalam pliridanku itu.” Anak yang gemuk itu berpaling. Wajahnya menegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa kau ikut campur?“ bertanya anak yang gemuk itu. “Aku anak padukuhan induk Tanah Perdikan ini. Aku tahu benar kesepakatan yang berlaku di sini. Tidak seorangpun boleh melanggarnya. Juga seorang tamu. Karena itu, urungkan niatmu mencari ikan di dalam pliridan yang sudah tertutup itu.” “Siapa kau?” bentak anak yang gemuk itu. “Sudah aku katakan. Aku salah seorang anak padukuhan induk ini. Siapapun aku, sikapku akan sama dengan sikap anak-anak yang lain.” “Kau berani melarang aku?“ bertanya anak yang gemuk itu. Anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu justru melangkah mendekat. Namun Glagah Putih sempat berdesis, “Berbicaralah dengan baik.” Anak itu berpalingpun tidak. Semakin lama ia menjadi semakin dekat dengan anak yang gemuk itu. Meskipun anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu agak lebih kecil dan lebih muda dari anak yang gemuk itu, namun ia sama sekali tidak merasa ragu untuk mendekatinya sambil berkata, “Tinggalkan pliridan kawanku ini. Jika kau memaksa untuk mengambil ikan dari pliridan yang sudah ditutup ini, maka aku akan memaksamu pergi.” Wajah Wikan itu menjadi tegang. Dipandanginya anak yang menegurnya itu dengan tajamnya. Kemudian iapun bersikap untuk berkelahi sambil berkata, “Tidak ada orang yang berani melawanku. Jika kau paksa aku berkelahi, maka aku akan mematahkan tanganmu.” Glagah Putih menjadi tegang. Anak yang dapat menasehati kawan-kawannya itu ternyata tidak dapat mengekang dirinya ketika rasa keadilannya tersinggung. Bahkan kemudian ia tidak menunggu lebih lama lagi. Demikian anak yang gemuk itu bersikap, maka iapun segera menyerangnya. Wikan terkejut. Tetapi ia terlambat. Kedua tangan lawannya yang kecil itu telah memukul wajahnya berganti-ganti, sehingga Wikan yang gemuk itu terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian kemarahannya telah membakar kepalanya, sehingga sambil berteriak keras-keras ia berlari menyerang dengan tangan yang mengembang. Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perkelahian itu sudah terjadi. Ketika ia melihat serangan anak yang gemuk itu, Glagah Putih pun menahan nafasnya. Anak itu tentu memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga ia lebih senang bergulat daripada berkelahi pada satu jarak tertentu. Namun anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu ternyata tidak membiarkan dirinya dicengkam kedua tangan lawannya. Ia tidak ingin berkelahi tanpa jarak. Anak yang sedikit lebih tua daripadanya itu tentu memiliki kekuatan yang lebih besar. Apalagi tubuhnya yang gemuk itu memberikan kesan bahwa ia akan dapat memilin tubuh lawannya sehingga tidak dapat bergerak lagi. Karena itu, maka anak itu pun berusaha berkelahi pada jarak tertentu. Ketika Wikan menyerang dengan tangan yang mengembang siap untuk menerkam pinggangnya dan menekannya sehingga tidak dapat bernafas, maka dengan tangkasnya anak itu pun telah meloncat menyerang. Dengan cepat ia melenting menyamping. Kakinya terjulur lurus langsung menghantam dada. Anak yang gemuk itu terkejut. Sekali lagi ia terdorong surut beberapa langkah. Namun sebelum ia sempat memperbaiki keadaannya, maka sekali lagi lawannya meluncur dengan derasnya. Sekali lagi kakinya terjulur menghantam dadanya. Ternyata Wikan tidak mampu mempertahankan keseimbangannya lagi. Iapun kemudian telah terlempar jatuh terlentang. Dengan agak susah karena tubuhnya yang gemuk, Wikan berusaha untuk bangkit. Sementara itu lawannya yang lebih kecil itu ternyata masih mampu menahan diri, sehingga ia tidak menyerangnya saat Wikan mempersiapkan dirinya. Dengan wajah yang merah menyala Wikan itu berkata lantang, “Anak yang tidak tahu diri. Kau telah menyerang aku dengan tiba-tiba sebelum aku bersiap. Tetapi kau jangan bermimpi dapat mengulanginya lagi.” Namun demikian mulutnya terkatup, anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu telah meloncat menyerang. Ia tidak mempergunakan kakinya. Tetapi ia meloncat mendekati anak yang gemuk itu. Dengan pangkal telapak tangannya ia menyerang dagu Wikan. Dengan cepat dan tiba-tiba, sehingga Wikan tidak sempat mengelak dan tidak pula sempat menangkis. Kepala Wikan terangkat. Kesempatan itu dipergunakan oleh lawannya yang kecil itu untuk menyerang perutnya. Sambil melangkah maju, tangannya yang sebelah telah memukul perut anak yang gemuk itu. Pukulan anak itu terhitung keras. Karena itu, maka Wikan pun mengaduh sambil menunduk. Namun lawannya tidak melepaskan kesempatan itu. Tangannya sekali lagi terayun dengan derasnya. Namun pada saat-saat terakhir tangannya itu telah berubah arah. Ia tidak memukul tengkuk anak yang gemuk itu. Tetapi ia hanya memukul pundaknya saja. Tetapi pukulan itu sangat kerasnya, sehingga mendorong Wikan jatuh tertelungkup di atas pasir tepian. Wajahnya tersuruk ke dalam pasir, sehingga butir-butir pasir telah masuk ke dalam matanya dan juga ke dalam mulutnya. Lawannya yang melihat Wikan terjerembab tidak menyerangnya lagi. Ia justru telah melangkah surut. Sekali lagi dengan susah payah anak gemuk itu bangkit. Matanya memang terasa pedih, sementara mulutnya bagaikan disumbat dengan pasir. Karena itu, maka terhuyung-huyung ia justru melangkah ke air. Dengan serta-merta ia menyurukkan kepalanya ke dalam aliran air di bagian tepi sungai itu. Namun ketika wajahnya sudah menjadi bersih lagi, anak itu seakan-akan tidak mengenal jera. Ketika ia kemudian berdiri tegak, maka iapun kemudian telah melangkah mendekati lawannya sambil menggeram, “Anak iblis kau. Aku patahkan lehermu jika sekali lagi kau berani menyerang.” Lawannya yang telah menyerangnya dan mengenainya beberapa kali itu mengerutkan dahinya. Beberapa kali ia berhasil mengenai. Tetapi anak yang gemuk itu seakan-akan tidak mengalami apa-apa. Bahkan kakaknya yang berdiri di tanggul berkata, “Jangan ragu-ragu. Buat anak itu menjadi jera.” Wikan itu berpaling, kemudian katanya, “Baik Kakang. Aku akan memilin lehernya sampai patah.” Anak yang tinggal bersama Glagah Putih itu termangu-mangu sejenak. Ia sudah sering berkelahi, serba sedikit ia pernah belajar dari Glagah Putih bagaimana ia harus membela dirinya. Karena itu, maka iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara anak yang gemuk itu melangkah semakin dekat. Glagah Pudh memang menjadi berdebar-debar. Wikan yang gemuk itu agaknya memiliki kekuatan yang besar ditimbang dengan umurnya. Bahkan juga daya tahannya. Namun justru karena itu, ia ingin melihat apa yang dapat dilakukan anak yang tinggal bersamanya itu. Anak itu memang menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar bahwa anak yang gemuk itu sulit dikalahkan. Namun ia yakin bahwa ia akan dapat melakukannya. Sementara itu, ia masih tetap berusaha untuk tidak dapat ditangkap oleh anak yang gemuk itu. Ketika Wikan yang gemuk itu menjadi semakin dekat, maka anak itu pun segera bergeser setapak menyamping. Ia sudah bersiap sepenuhnya menghadapinya. Namun Wikan nampaknya juga menjadi semakin berhati-hati. Ketika Wikan menjadi semakin dekat, maka lawannya yang lebih kecil itu pun telah bersiap untuk meloncat. Namun ketika Wikan itu mengembangkan tangannya, maka lawannya itu justru meloncat ke samping. Demikian Wikan berputar, dengan sigap lawannya itu meloncat menyerang. Tetapi serangan yang agak tergesa-gesa itu tidak mengguncang keseimbangan Wikan. Bahkan Wikan masih saja melangkah maju. Dengan tergesa-gesa lawannya yang kecil itu telah mengayunkan tangannya mengarah ke dada. Untuk memberi tekanan pada pukulannya, maka anak itu telah mempergunakan berat badannya pula. Tetapi ternyata Wikan yang benar-benar sudah bersiap itu tidak melepaskan kesempatan itu. Demikian lawannya mendekat dan memukul dadanya, maka tangannya pun telah ikut terdekap pula. Ketika Wikan menekan lawannya ke dadanya, maka rasa-rasanya anak itu tidak lagi dapat bernafas. Glagah Putih yang menyaksikan perkelahian itu menjadi berdebar-debar. Ia sadar bahwa Wikan memiliki kekuatan yang lebih besar dari lawannya yang lebih kecil itu. Sementara itu Wasis, kakaknya yang berdiri di tanggul berteriak, “Jangan lepaskan lagi! Ia harus menjadi jera. Jika kakaknya atau pamannya membantunya, biarlah aku yang menyelesaikannya.” Wikan tidak menjawab. Tetapi ia menjadi semakin mantap. Tangannya semakin keras menekan lawannya yang lebih kecil dan lebih muda itu sehingga nafasnya menjadi sesak. Anak itu berusaha untuk meronta. Tetapi tangan Wikan justru menjadi semakin mencekam. Rasa-rasanya tidak ada jalan lain untuk melepaskan diri. Namun anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu tidak menyerah. Dengan mengerahkan segenap kekuatannya ia masih tetap berusaha. Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia memang melihat anak itu dalam kesulitan. Tetapi ia tidak dapat langsung membantunya. Anak itu akan dapat menjadi marah kepadanya meskipun ia benar-benar dalam kesulitan. Selain itu, maka persoalannya akan dapat menjadi berkepanjangan. Justru Wasis tentu akan ikut campur. Karena itu, maka Glagah Putih masih menunggu beberapa saat. Jika anak itu memang tidak dapat mengatasinya, maka apa boleh buat. Mungkin ia harus merebutnya dan membawanya lari. Ia sendiri segan untuk berkelahi, karena Glagah Putih tentu merasa tidak sepantasnya. Namun dalam pada itu, anak itu benar-benar tidak mau menyerah. Dengan lututnya ia justru mencoba menyerang bagian bawah perut lawannya seberapa jauh dapat dilakukan. Agaknya serangan-serangannya itu memang berpengaruh. Namun Wikan justru menjadi semakin marah. Ia menekan lawannya yang lebih kecil itu semakin keras, sehingga nafas anak itu menjadi semakin sesak. Tetapi pada saat-saat terakhir, ketika rasa-rasanya nafasnya hampir terputus, maka ia tidak saja menyerang dengan lututnya. Karena tangannya ikut terdekap oleh tangan Wikan yang kuat, dengan tidak disangka-sangka anak itu telah membenturkan dahinya ke wajah Wikan. Beberapa kali dahi anak itu mengenai hidung Wikan. Demikian kerasnya sehingga Wikan harus menyeringai kesakitan. Justru pada saat yang demikian, maka anak itu telah menekuk kakinya pada lututnya, sehingga lututnya itu menekan perut Wikan yang gemuk itu. Wikan-lah yang kemudian mengalami kesulitan untuk tetap menyekap lawannya yang kecil itu. Beberapa kali dahinya masih tetap membentur wajah Wikan, justru semakin lama rasa-rasanya semakin menyakitkan. Sedangkan anak yang telah berhasil menekuk lututnya dengan tiba-tiba itu rasa-rasanya semakin menekan perutnya. Dalam keadaan yang demikian, maka sekapan tangan Wikan menjadi sedikit longgar. Kesempatan itulah yang dipergunakan oleh anak itu. Dengan mengerahkan segenap tenaganya, maka anak itu pun meronta. Demikian tiba-tiba, sehingga tangan kanannya dapat menyusup lepas dari dekapan. Dengan sekuat tenaga, maka pangkal telapak tangannya telah menekan dagu Wikan, sementara lututnya berusaha menekan semakin keras. Hentakan itu mengejutkannya. Dan kesempatan berikutnya telah dipergunakan anak itu sebaik-baiknya. Dengan sekuat tenaga maka ia berhasil melepaskan diri dari tangan Wikan yang kuat itu. Wikan menggeram marah. Tetapi ternyata hidungnya sudah mulai berdarah. Meskipun lawannya yang kecil itu juga merasa pening karena beberapa kali ia membenturkan dahinya pada wajah lawannya, namun anak itu masih tetap mampu menguasai dan mengendalikan dirinya. Demikian anak itu lepas dari dekapan Wikan, maka dengan serta-merta anak itu pun siap menyerang. Wikan yang tidak mau melepaskan lawannya, berusaha untuk menangkapnya lagi. Namun ketika ia berlari memburu lawannya dengan tangannya yang mengembang, maka lawannya itu telah menjatuhkan diri. Wikan justru jatuh terjerembab karena kakinya terantuk kaki lawannya, sedangkan lawannya yang kecil itu berguling menjauhinya. Dengan cepat anak itu bangkit berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Kedua orang kawannya yang mempunyai pliridan itu berdiri mematung. Sementara itu Pinang justru berpihak kepadanya. Ia ingin melihat Wikan itu kesakitan dan menjadi jera. Namun Pinang itu menjadi berdebar-debar ketika ia teringat kepada Wasis yang berdiri di atas tanggul. Wasis itu tentu akan ikut campur jika ia melihat adiknya mengalami kesakitan. Namun Pinang pun kemudian menarik nafas panjang ketika ia melihat Glagah Putih berdiri di tikungan. “Bagi Glagah Putih, Wasis tentu tidak lebih berbahaya dari seekor cacing,” berkata Pinang di dalam hatinya, karena ia sudah mendengar serba sedikit tentang Glagah Putih. Meskipun ia tidak tahu pasti, tetapi setiap orang mengatakan bahwa Glagah Putih adalah seorang yang berilmu tinggi. Bahkan ia telah ikut serta dalam pertempuran-pertempuran di antara orang-orang yang memiliki kelebihan dari sesamanya. Sementara itu anak yang tinggal bersama Agung Sedayu itu telah menjadi sangat marah, bahkan hampir saja nafasnya telah putus karena dekapan lawannya. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk membuat Wikan benar-benar menjadi jera. Dalam pada itu, Wikan memang bergerak lebih lamban. Ketika ia berusaha bangkit berdiri, lawannya yang bertubuh lebih kecil dan umurnya yang lebih muda itu telah bersiap sepenuhnya untuk menghadapinya. bersambung Posted in Buku 291 - 300 ♦ Seri III Tagged Agung Sedayu, Glagah Putih, Ki Argajaya, Ki Argapati Ki Gede Menoreh / Arya Teja, Ki Jayaraga, Pandan Wangi, Prastawa, Rara Wulan, Sekar Mirah, Sukra, Swandaru, Wacana

APIDI BUKIT MENOREH EPS 393 SIDANTI masih saja diam mematung, dengan tanpa memandanginya Pandan Wangi mengulangi, “Marilah Kakang. Bilikmu telah tersedia. Aku juga telah menyediakan pakaian dan

BeliApi di Bukit Menoreh I dan II (jilid 1-200) di Boekoe Djakarta. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Download Tokopedia App. Tentang Tokopedia Mitra Tokopedia Mulai Berjualan Promo Tokopedia Care. Kategori. Masuk Daftar. apple watch se

Apidi bukit Menoreh oleh: Mintardja, S.H Terbitan: (1993) Api di Bukit Menoreh oleh: Mintardja Terbitan: (2001) Api bukit menoreh I : jalan simpang oleh: MINTARDJA, S.H Terbitan: (1992) Api di bukit Manoreh oleh: Mintardja Terbitan: (1997) Opsi Pencarian BeliApi Di Bukit Menoreh Online terdekat di Jawa Timur berkualitas dengan harga murah terbaru 2021 di Tokopedia! Pembayaran mudah, pengiriman cepat & bisa cicil 0% Api Di Bukit Menoreh Kota Jawa Timur; Filter. Kategori. Buku. Novel & Sastra. Komik. Sosial Politik. Lainnya. Fashion Pria. Atasan Pria. Lokasi. DKI Jakarta. Jabodetabek.

Namunyang cukup berbeda adalah pertempuran di Api di Bukit Menoreh tidak selalu pertempuran klasik antara baik dan jahat. Pada perang antara Pajang dan Mataram, meskipun ada beberapa tokoh jahat namun perang itu terkesan "sopan", karena Mataram yang masih menghormati Pajang. Juga perang antara Mataram dan Madiun, yang juga perang

APIDI BUKIT MENOREH EPS 329 Seharusnya kau datang bersama Adi Swandaru untuk menunjukkan rasa terima kasihmu dan rakyat Sangkal Putung. Bahwa puteri Ki Demang itu sudah dibebaskan. Dada Agung .
  • c28zc3uvjt.pages.dev/602
  • c28zc3uvjt.pages.dev/272
  • c28zc3uvjt.pages.dev/231
  • c28zc3uvjt.pages.dev/87
  • c28zc3uvjt.pages.dev/842
  • c28zc3uvjt.pages.dev/507
  • c28zc3uvjt.pages.dev/856
  • c28zc3uvjt.pages.dev/952
  • c28zc3uvjt.pages.dev/548
  • c28zc3uvjt.pages.dev/269
  • c28zc3uvjt.pages.dev/587
  • c28zc3uvjt.pages.dev/810
  • c28zc3uvjt.pages.dev/211
  • c28zc3uvjt.pages.dev/363
  • c28zc3uvjt.pages.dev/986
  • api di bukit menoreh 290